8. Undangan Makan Malam

1038 Kata
Ting tong ting tong Gelia baru saja menyapukan sentuhan terakhir make-up pada wajahnya, ketika bel pintu berdenting dengan nyaring beberapa kali. “Ck, jam berapa sih kenapa dia sudah datang saja," gerutu Gelia karena merasa waktu satu jam sangat mepet sekali. Untuk mandi saja bisa menghabiskan waktu tiga puluh menit sendiri. Belum juga make-up yang harus dia lakukan dengan kilat. Gelia lekas beranjak. Menyambar tas tangan yang tadi dia letakkan di atas ranjang untuk menyimpan ponsel dan dompetnya. Buru-buru keluar dari dalam kamar karena Gaston seolah menerornya dengan tidak memberikan kesempatan baginya bernapas sedikit saja. “Iya sebentar. Nggak sabaran banget sih jadi orang,” omel Gelia sembari membenarkan baju yang dia kenakan. Ada sedikit kurang nyaman ketika malam ini Gelia memaksakan diri untuk berdandan yang tidak seberapa seksi karena yang akan dia temui adalah keluarga suaminya. Jangan sampai ada omongan tidak sedap tentang dirinya dan sebisa mungkin Gelia harus terlihat sopan meski pun pernikahannya dengan Gaston sangat tidak dia inginkan. Ceklek. Pintu ia buka disertai dengan dumelan yang keluar dari mulut Gelia. Namun, semua ocehan Gelia tertahan kala ekor matanya menangkap keberadaan lelaki yang berdiri di hadapannya. Mulutnya menganga, hanya karena kedua netranya harus terkontaminasi penampakan d**a bidang yang berbalut kemeja pas badan. Belum lagi aroma parfum yang tercium di hidungnya, sangat menggoda iman. Wanita itu mendongak ragu-ragu. Mengatupkan mulut sembari menelan ludah kesusahan. Mendadak gugup hanya karena penampilan Gaston yang malam ini kelewat rapi untuk sekedar makan malam bareng keluarga besar. Kemeja lengan panjang yang digulung hingga sebatas tengah siku. Menampakkan otot-otot tangan yang menyembul keluar. Gelia saja sempat merinding hanya karena melihat bulu-bulu yang tumbuh di kedua tangan Gaston. Pria berbulu yang terlihat begitu hot dan seksi. Idaman wanita sepertinya. "Sudah siap, kan?" tanya yang Gaston lontarkan, menyadarkan Gelia akan keterpesonaannya. "I-iya," jawab Gelia yang bisa-bisanya mendadak gugup menghadapi Gaston. "Aku tahu jika aku tampan dan menggairahkan. Tidak ada larangan juga untuk kamu terpesona. Tapi ... jangan sekarang karena kita sudah ditungguin banyak orang. Ayo berangkat!" Seringai jahil menggoda Gelia, justru ditanggapi dengan wajah memerah antara kesal, malu sekaligus marah. Gaston selalu saja berhasil mengaduk-aduk emosi Gelia. Gaston melangkah menuju mobilnya. Gelia pun mengikuti setelah sebelumya mengunci pintu. Untuk sesaat perempuan itu terpaku, karena lagi-lagi Gaston bersikap diluar kendali Gelia. Pria itu membukakan pintu mobil untuknya. Hal sederhana tapi bermakna. Siapa yang tidak baper diperlakukan manis seperti ini. Itulah Gaston. Sikapnya memang susah ditebak. Sebentar menyebalkan, tapi setelahnya menggemaskan secara bersamaan. Dengan semangat Gelia melenggang mendekat, lalu masuk ke dalam mobil. Tak lupa mengucapkan, "Terima kasih." "Sama-sama." Jarang-jarang Gelia mengekspresikan dirinya dengan mengucap terima kasih atas hal yang sebenarnya biasa saja. Ekor mata Gelia mengikuti pergerakan tubuh Gaston yang mengitari depan mobil, lalu masuk dan duduk di sebelahnya. Lagi-lagi dalam jarak sedekat ini, aroma parfum Gaston menggelitik indera penciuman Gelia. Sial! Kenapa juga Gaston harus terlihat tampan malam ini. Jika dibandingkan dengan Gery, sebenarnya Gaston tidak kalah tampan. Gaston pun memiliki tubuh yang lebih besar dan tinggi dari Gery. Hanya saja, sampai detik ini, Gelia belum merasakan getaran-getar perasaan cinta. Hanya sedikit rasa menginginkan saja. Ingin menyentuh atau mungkin mencium bibir seksi berwarna merah menggoda. Gelia geleng-gelengkan kepalanya. Pikirannya memang selalu m***m acapkali berdekatan dengan pria tampan. Tapi satu hal yang perlu diketahui dari sosok Gelia. Sikapnya memang sedikit bi_nal, tapi jika sudah diseriusi, maka dia pasti akan ketakutan. Pun halnya dengan ciuman. Bisa dikatakan dia sering melakukannya. Tapi jika lawannya mulai nakal, maka Gelia pasti akan langsung dilanda kepanikan. Bersama Gery pun dia juga sebebas itu menjalani hubungan. Kecuali satu. Berhubungan badan. "Nanti jika kamu ditanya yang macam-macam ... jawab saja iya atau tidak. Tidak perlu menjawab panjang lebar apalagi bercerita tentang kita. Berpura-pura saja bahwa pernikahan kita baik-baik saja. Paham kamu?" Gelia menolehkan kepalanya. "Memangnya kenapa dengan keluarga kamu? Apa mereka tidak bersikap baik selama ini?" "Nanti kamu juga tahu sendiri. Intinya ... jangan banyak bicara jika tidak ingin terjebak dengan ucapan kamu sendiri." Gelia tak mengerti. Tapi dia juga tidak mau banyak bertanya karena sepertinya Gaston sendiri enggan bercerita tentang keluarganya. Biarlah nanti Gaston sendiri yang menanggapi andai ada pihak keluarga yang melontarkan tanya, karena keberadaannya saat ini hanya untuk menemani sang suami. ••• Mobil mewah yang Gaston dan Gelia kendarai, berhenti tepat di halaman luas rumah dua lantai bergaya eropa. Salah satu jenis rumah mewah yang berada di kawasan elit tentunya. Gelia baru tahu jika keluarga Gaston sekaya ini. Ia pikir Pak Gunawan Tanuwijaya yang merupakan sahabat ayahnya hanyalah pengusaha biasa. Tidak tahunya adalah orang kaya raya. "Ayo, turun!" "Iya!" Dengan malas Gelia menjawab. "Kamu tidak lupa dengan pesanku tadi, kan?" "Iya ... iya. Bawel, ih!" Saat keduanya sudah keluar dari dalam mobil, tiba-tiba Gaston meraih tangannya membuat Gelia terkesiap. Mendongak menatap Gaston yang sama sekali tidak melihatnya. Pandangan mata Gaston justru tertuju pada arah depan. Tepat pada pintu yang langsung terbuka memunculkan seorang wanita paruh baya berseragam pelayan. "Biar seperti ini. Agar mereka tahu bahwa pernikahan kita baik-baik saja. Jangan lupa senyum." "Iya!" Gaston menggenggam tangan Gelia semakin erat saat langkah kaki mereka berhasil menapaki undakan menuju pintu. Wanita berbaju pelayan tadi membungkukkan badannya seraya menyapa, "Selamat malam, Tuan muda. Anda sudah ditunggu oleh Tuan besar di dalam." "Terima kasih, Bik." Gelia tersenyum sekilas pada pelayan tadi. Dalam benak Gelia mulai muncul pertanyaan akan sebutan Tuan Muda yang ditujukan untuk Gaston. "Gas! Ini rumah Om Gun?" tanya Gelia lirih dengan kepala memutar ke kiri dan ke kanan mengangumi interior desain rumah mewah ini. Sungguh, bagai mimpi dia bisa menjadi seorang menantu dari keluarga kaya raya. "Iya. Jangan banyak bicara apalagi ketika kamu sedang terkejut dengan apa yang baru kamu tahu. Aku yakin jika hanya untuk bersandiwara saja tidak akan sulit buatmu." "Cih, enak saja kamu memerintahku. Asal kamu tahu saja. Semua yang aku lakukan untuk kamu ini tidak gratis." Sekalian saja Gelia memoroti Gaston. Daripada jadi simpanan Pak Ginanjar. Sudah tua, banyak istrinya. Masih mending Gaston ke mana-mana. Sepertinya tidak ada ruginya dia menikah dengan Gaston jika bisa menghasilkan uang untuk mencukupi gaya hidupnya. "Sebutkan saja berapa yang kamu mau. Aku akan memberikan secara cuma-cuma. Anggap saja sebagai nafkah dari suami pada istrinya." Gelia mencebik, "Dih, sombongnya!" "Asal kamu tahu, Gelia. Suami kamu ini kaya raya." Keduanya langsung bungkam, saat sosok Gunawan Tanuwijaya muncul menyambut kedatangan mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN