5. Pesona Gelia Di Hadapan Pria Setengah Tua

1026 Kata
“Gel, Pak Ginanjar ngeliatin elu sejak tadi,” ucap Galuh saat keduanya sudah turun dari panggung dan kembali duduk. Gelia melirik takut-takut, dan matanya memejam untuk sesaat ketika tatapan m***m dari seorang pria lima puluh tahunan memang tertuju padanya. “Sialan! Ngapain sih pria messum itu pakai ngelihatin kayak gitu,” gerutu Gelia yang mendadak merinding membayangkan tatapan pria bernama Ginanjar yang seolah menguliti tubuhnya. Jujur, meski dia pecinta uang, tapi Gelia masih waras untuk tidak tertarik menjalin hubungan dengan p****************g. Oh, tidak. Harga diri Gelia cukup tinggi untuk mencari pasangan. Jika sekelas CEO muda kaya raya saja masih bisa dia dapatkan, untuk apa harus menjatuhkan diri pada pria tua mata keranjang. “Lumayan kali, Gel, kalau elu mau diajakin kencan sama Pak Ginanjar. Tarif sejamnya bisa buat hidup seminggu ke depan.” “Gue mah ogah. Elu aja gih sono samperin.” “Elah, Gel. Gue juga tahu yang diinginkan Pak Ginanjar elu dan bukan gue. Dan itu bukan lagi menjadi rahasia karena Pak Ginanjar selalu terang-terangan kasih perhatian ke elu.” Gelia kembali bergidik membayangkan jika apa yang Galuh katakan memang benar adanya. Pria tua itu memang tidak segan-segan mencari perhatiannya bahkan di tempat umum sekali pun Sialnya, Gelia selalu saja susah menghindar karena Pak Ginanjar selalu ada di sekitarnya. Sebagai seorang pengusaha besar dan juga menjadi salah satu pejabat yang kerap diundang menghadiri acara-acara seperti fashion show kali ini, intensitas pertemuan Gelia dengan sosok Ginanjar memang bisa dikatakan cukup sering. Dan di setiap kesempatan lelaki itu pasti selalu melancarkan aksi rayuan. “Tapi gue ogah berurusan dengan pria seperti itu. Karir gue bisa ancur kalau sampai istri-istrinya ngelabarak ketahuan gue morotin duit suaminya, mending gue cari mangsa yang lainnya. Sekelas Gery Ganesha lah minimal. Dan gue yakin masih ada lelaki seperti itu yang mau sama gue.” Gelia cukup percaya diri jika itu menyangkut dengan penampilan. Secara dirinya sangat cantik dan satu hal yang masih menjadi kebanggaannya hingga kini. Keperawanan. Di tengah gempuran pergaulan bebas di dunia modeling yang dia geluti, nyatanya hingga detik ini Gelia masih bisa mempertahankan sesuatu yang menurut rekan-rekannya bukanlah yang istimewa. Tapi bagi Gelia, pantang baginya menyerahkan keperawanan hanya untuk lelaki yang tidak ada masa depan menikahinya. Selain itu ancaman keluarga yang lebih membuatnya takut untuk tidak lagi diakui sebagai anak jika sampai dia berbuat hal yang diluar batas. Ingat jika ayahnya adalah seorang Haji yang disegani. Setidaknya Gelia harus menjaga diri. “Bener juga. Ya udah lah kita pulang saja. Elu mau ke mana dulu setelah ini?” Gelia melihat pada arloji yang sudah menunjukkan pukul lima sore lewat. Benar-benar tidak terasa jika waktu berjalan secepat ini. “Pulang aja lah. Mau nyalon udah keburu malam. Capek gue.” “Ya udah yuk pulang saja.” Baru juga keduanya beranjak berdiri dan hendak meninggalkan lokasi acara, tiba-tiba seorang lelaki menghadang langkahnya. Mata Gelia terbelalak dengan Galuh yang sudah menyikut perutnya. Memberikan kode jika lelaki yang tadi mereka bicarakan, kini sudah ada di hadapan mereka. “Selamat sore, Gelia.” Gelia memaksakan senyuman. “Sore Pak Ginanjar.” “Wah, Gelia hebat sekali tadi. Saya sampai takjub dengan penampilan Gelia di panggung. Kamu sungguh cantik luar baisa. Dan saya pastikan akan mengambil gaun rancangan Glory butik." “Terima kasih banyak, Pak. Eum ... maaf kami permisi.” Ginanjar menghadang langkah dua orang perempuan cantik itu. “Eh, mau ke mana? Kenapa buru-buru. Kita belum ngobrol-ngobrol loh!" "Kami mau pulang , Pak. Capek," jawab Gelia dengan berani. “Masih sore juga kenapa sudah pulang. Bagaimana kalau kita ngopi atau makan malam bareng dulu.” Tawaran Ginanjar sangat tidak menarik minat Gelia. Perempuan itu melirik pada Galuh. Mencari cara agar bisa lepas dari pria tua itu. “Eum ... aduh mungkin lain waktu ya, Pak Ginanjar. Karena hari ini kita buru-buru ada kerjaan lain.” Sampai-sampai Galuh lupa jika tadi mereka beralasan akan pulang. Sekarang malah berkata ada pekerjaan. “Ah kerjaan apa? Atau begini saja jika perlu saya sendiri yang akan minta waktu kalian pada Glen. Gimana?” Glen adalah manajer di agensi tempat Gelia dan Galuh bernaung saat ini. “Aduh Pak sekali lagi kami minta maaf. Kami sudah ada janji.” Dan sepertinya, semesta sedang berpihak kepadanya ketika kedua netra Galuh menangkap keberadaan seseorang yang sudah dia kenal. Ia pun menyenggol Gelia. Lalu berbisik, “Gel itu bukannya Gery?” Mendengar nama Gery, jantung Gelia berdebar-debar. Dia sungguh masih sangat mencintai dan menginginkan pria itu, sehingga apapun yang berhubungan dengan seorang Gery Ganesha akan langung membuat Gelia bersemangat. Dan benar saja apa yang Galuh katakan. Sosok Gery memang sedang berjalan dalam jarak beberapa meter darinya dan dengan lantang Gelia malah berteriak. “Gery, Sayang!" Karena kerasnya panggilan itu, telinga Gery sialnya juga mendengar dan refleks menoleh pada arah sumber suara. Senyuman Gelia mengembang dengan tangan melambai-lambai. Merasa mendapat alasan untuk bisa lepas dari sosok Ginanjar, Gelia lekas berpamitan. “Pak Ginanjar. Saya mohon maaf, pacar saya sudah menjemput. Mari Pak saya duluan." Melupakan Galuh, Gelia langsung ngacir begitu saja membuat Galuh membulatkan matanya. “Gel, tungguin!" Menganggukkan kepala disertai dengan senyum untuk Ginanjar sebelum wanita itu mengejar Gelia yang kini sudah berdiri di hadapan Gery dengan napas tersengal. Seperti baru saja lepas dari kejaran setan. Gelia begitu saja bergelayut manja di lengan Gery Ganesha. ”Untung saja tadi ada kamu, Ger. Jika tidak entahlah akan jadi seperti apa. Heran aku sama lelaki tua modelan Ginanjar. Kenapa maksa banget ngajakin jalan." Galuh pun sama ngos-ngosan seperti Gelia. Menyapa Gery selayaknya teman lama yang baru bertemu lagi. "Hai, Ger. Tahu saja kita lagi di sini." Gary mencoba melepas lengannya dari cekalan tangan Gelia seraya berdecak. "Kamu ngapain sih. Lepas nggak! Lagian siapa juga yang mau cari kalian. Saya ke sini mau jemput istri saya.” Gelia mengerucutkan bibirnya tidak suka. “Elah kamu ini, Ger. Apa sih hebatnya Gea daripada aku.” “Dilihat dari mana pun juga Gea tetap yang terbaik dan jauh di atas kamu. Jadi minggir ... saya mau lewat.” “Bukan Gelia namanya jika melepaskan Gery begitu saja. Melirik pada Ginanjar yang masih memperhatikannya dengan tatapan yang entah apa. Gelia memilih menyelamatkan diri dengan mengekori Gery yang berjalan lebih dulu meninggalkannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN