Tangisan Andhini

1527 Kata
Waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Andhini terjaga seperti biasanya, berjalan menuju kamar mandi dan mulai membersihkan dirinya dengan air hangat. Beruntung di setiap kamar di rumah itu sudah disiapkan mesih penghangat air, jadi Andhini tidak perlu khawatir kedinginan setiap melakukan mandi wajib. Andhini mulai membersihkan satu persatu dari bagian tubuhnya, hingga tidak lama Andhini pun selesai dengan semua ritual mandinya. Andhini sudah mengenakan handuk piyama, lalu menatap wajahnya lewat cermin westafel di dalam kamar mandi. Wajah itu terlihat cukup pucat. Bahkan bibir yang biasanya berwarna pink alami, kini terlihat sedikit ke abu-abuan. Andhini sakit? Ya, wanita itu tengah menahan rasa sakit yang sudah satu tahun ia idap dan beberapa waktu belakangan rasa sakit itu mulai semakin menjadi ia rasakan. Andhini tidak pernah mengatakannya kepada siapa pun, tidak kepada suaminya tercinta, maupun kepada anak-anaknya. Andhini menahan semuanya sendiri, mengupayakan pengobatan sendiri dan menjalani semuanya sendiri. Ia tidak ingin membuat siapa pun mengkhawatirkannya. Puas menatap wajahnya di bali cermin, Andhini pun segera mensucikan dirinya dengan air wudu. Hampir setiap malam wanita itu bermunajat dan mengkerdilkan dirinya di hadpaan Tuhan-nya. Semua Andhini lakukan karena sadar akan kodratnya sebagai hamba dan tidak ada siapa pun dan kekuatan apa pun di muka bumi ini yang mampu menolongnya selain Allah Ta’ala—Tuhan-nya. Selesai mengambil wudu, Andhini pun keluar dari kamar mandi. Mengeringkan tubuhnya dengan handuk dan rambutnya dengan hair dryer walau tidak kering sempurna tapi setidaknya rambutnya tidak akan membasahi pakaiannya. Andhini segera mengenakan kembali piyama tidur yang bersih setelah memastikan tubuhnya kering. Wanita itu kemudian mulai membentang sajadah dan melaksanakan shalat malam sebanyak empat rakaat. Andhini memang terbiasa melaksanakan shalat malam sebanyak empat rakaat, bahkan terkadang bisa lebih banyak jika kondisinya memungkinkan. Wanita itu terus bermunajat, membaca surah terpanjang yang bisa ia baca hingga ia pun menyelesaikan empat rakaatnya dan mulai membentang tangan ke atas langit. Andhini mengadukan semuanya kepada Tuhan-nya. Hanya Allah satu-satu Dzat yang bisa mengerti Andhini. Dzat yang bisa membantunya dan mengeluarkan Andhini dari terpaan hidup jika Allah mau. Di tengah doa-doa terbaiknya, Andhini menangis dan terisak seraya memegangi perutnya yang tiba-tiba saja terasa nyeri. Andhini teringat akan dosa masa lalunya. Keterlenaan akan kenikmatan dunia yang sudah membawanya ke titik penyesalan. Andhini menangis meminta ampun, rasanya tidak sanggup jika dirinya dibenamkan ke dalam neraka. Namun ia juga tidak yakin jika amal ibadah serta taubat yang ia lakukan mampu menghindari dirinya dari azab itu walau hanya sebentar saja. Ampuni hamba ya Allah ... Ampuni hamba yang hina ini ... Sungguh, hamba tidak akan sanggup berada di neraka-Mu. Jangankan berada di sana, mencium asapnya pun hamba tidak akan sanggup. Jika rasa sakit ini dapat menggurkan semua dosa masa lalu hamba, maka hamba ikhlas ya Allah ... hamba iklhas .... Andhini terus menangis hingga ia pun mendengar pergerakan dari atas ranjang. Reinald sepertinya terjaga. Andhini dengan cepat menyeka air matanya dengan tisu yang sudah ia siapkan di sampingnya. Andhini memang selalu menyiapkan benda itu karena setiap ia bermunajat, maka wanita itu tidak akan mampu membendung air mata dan sesak di dalam dadanya. “Sayang, kamu menangis?” tanya Reinald menoleh ke arah istrinya. Saat ini posisi Andhini membelakangi Reinald. Andhini memutar tubuhnya, “Mas ... Mas sudah bangun?” “Andhini, kamu menangis?” Bukannya menjawab pertanyaan istrinya, Reinald malah balik bertanya. “Biasalah, Mas. Aku kalau sudah berhadapan dengan Allah, sulit untuk tidak menangis. Rasanya diri ini sangat kerdil di hadapan Allah, Mas. Banyak dosa dan banyak khilafnya.” Andhini perlahan melepas mukenanya, melipat dengan baik dan meletakkan mukena itu di sandaran kursi. Setelah merapikan kembali peralatan shalatnya, Andhini kembali naik ke atas ranjang. “Sayang, kamu tidak ada masalah’kan?” Reinald curiga dengan raut wajah Andhini. “Masalah? Masalah apa?” Andhini menggeleng seraya tersenyum. “Kenapa wajahmu pucat begini? Bibirmu juga terlihat abu-abu. Apa ada yang kamu sembunyikan dari aku, Sayang?” Reinald memerhatikan wajah cantik istrinya. “Owh, ini ... Ini nggak apa-apa, Mas. Kebetulan beberapa hari yang lalu aku mencoba jenis perawatan baru di salon langganan aku. Katanya biar bibirnya semakin cantik dan merona dikasih treatment tapi untuk sementara efeknya memang seperti ini.” Andhini berbohong. Ia lupa memakai liptin khusus yang memang tahan air dan tahan usapan yang biasa ia gunakan selama ini untuk menutupi bibir pucatnya. “Sayang, kamu ngapain sih pakai treatment-treatment aneh seperti itu? Kamu tahu, kamu itu sudah cantik apa adanya dan aku cinta kamu apa adanya. Bahkan jika wajahmu sudah dipenuhi keriput sekali pun, aku akan tetap cinta. Bagiku, kamu adalah wanita tercantik du dunia ini. Dari dulu, bahkan dari Andhini kecilku berusia lima tahun, hingga kini dan selamanya.” Reinald memasukkan tubuh Andhini ke dalam dekapannya. Andhini merasa sangat nyaman dalam d**a bidang suaminya. d**a yang memang tidak se sixpack dulu tapi tetap hangat baginya. “Andhini, berjanjilah kalau kamu tidak akan melakukan hal-hal aneh lagi. Aku tidak pernah membatasimu menggunakan uang untuk apa pun. Kamu boleh melakukan apa pun atau membeli apa pun yang kamu sukai dan membuatmu nyaman, tapi kalau tujuannya untuk mempercantik dan menarik perhatianku, rasanya tidak perlu. Silahkan kalu melakukan perawatan tubuh dan wajah, tapi sewajarnya saja, Sayang. Jangan sampai melakukan hal yang membahayakan kamu. Bagiku, kamu sudah cantik, bahkan sangat cantik.” “Iya, Mas. Maafkan aku.” Andhini semakin membenamkan kepalanya ke dalam pelukan suaminya. Air mata itu pun mengalir tanpa bisa dicegah. Ia tidak siap jika harus meninggalkan suami yang begitu ia cintai itu. Bahkan ia sudah mencintai Reinald jauh sebelum menikah dengan pria itu. “Tidurlah lagi, Sayang. Aku juga akan tahajjud sebentar. Sayang kalau Allah sudah membangunkan kita di jam segini, tapi malah kita sia-siakan. Waktu terbaik untuk berkeluh kesah adalah sepertiga malam ini dan orang-orang yang terjaga di jam segini, sebenarnya diberikan nikmat oleh Allah. Hanya saja, banyak dari kita yang tidak menyadarinya dan menyia-nyiakannya begitu saja.” Andhini melepaskan tubuhnya dari dekapan Reinald, “Iya, Mas. Sebaiknya kamu shalat malam dulu. Aku mau lanjut tidur dulu sebelum nanti azan subuh menggema.” Reinald tersenyum. Sebelum turun dari ranjang, pria tampan berwajah oriental itu mengecup lembut puncak kepala Andhini. Sebuah kecupan yang mampu membuat jiwa Andhini melambung sangat jauh. Reinald pun turun dari ranjang dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Andhini sendiri mulai merebahkan tubuhnya ke atas ranjang, mengusap air matanya dan berusaha untuk memejamkan mata. *** Pagi pun menjelang. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh. Andhini, Reinald, Rea, Deden dan juga Asri sudah duduk di kursi makan. Deden dan Asri sendiri sudah bersiap untuk tebang ke pulau dewata Bali atas desakan Reinald agar putrinya itu dapat menikmati bulan madu pertama bersama suaminya. Andre sendiri sudah kembali ke asrama polisi sehari setelah acara pernikahan Asri dan Deden usai. “Teh Asri jadi ke Bali?” tanya Rea di sela-sela sarapan mereka. “Jadi, kalau nggak jadi kasihan tiketnya. Papa sudah belikan tiket pesawat pulang pergi sampai ke penginapannya juga,” jawab Asri, lalu menyendok makanannya. “Jangan lupa, nanti kalau pulang belikan Rea oleh-oleh ya ....” “Rea memangnya mau oleh-oleh apa?” tanya Asri lagi. “Oleh apa ya? Ma, bagusnya Rea minta oleh-oleh apa sama teh Asri?” Rea mukannya menentukan pilihannya sendiri, malah meminta saran dari ibunya. “Memangnya Rea maunya apa?” Andhini balik bertanya. “Nggak tahu.” Dengan polosnya, Rea mengangkat ke dua bahunya karena ia memang tidak tahu harus meminta oleh-oleh apa dari Asri sebab ia sudah punya segalanya. “Kalau nggak tahu ngapaian minta oleh-oleh?” tanya Andhini lagi. “Pengen minta aja, tapi nggak tahu mau minta apa.” Tiba-tiba saja Reinald mendekatkan bibirnya ke telinga putri bungsunya itu, lalu membisikkan sesuatu. “Ih, papa ini mintanya aneh-aneh saja,” ucap Rea dengan kening mengernyit. Ia geli dengan apa yang dibisikkan oleh ayahnya. “Memangnya papa habis bisikan apa, Dek?” tanya Asri menatap adik bungsunya. “Kata papa, nanti teteh dan aa pulangnya bawa oleh-oleh keponakan baru. Memangnya di sana ada yang jual keponakan baru? Tapi’kan Dimas masih kecil juga, kasihan kalau mesti beli keponakan lagi. Mending tunggu Dimas agak gedean dikit lagi.” Semua yang ada di sana terkekeh mendengar pernyataan polos si kecil Rea. Rea pikir bayi itu memang bisa dibeli kapan saja. “Nanti teteh akan belikan baju sama tas aja. Baju sama tas Bali, Rea belum punya’kan?” Rea langsung menggeleng, “Iya deh, nanti biar Rea pamerin sama teman-temannya Rea.” Semua yang ada di ruang makan itu tersenyum melihat senyum manis yang khas dari Rea. Wajah bening dan cantik sempurna. Bahkan dari semua anak-anak Andhini dan Reinald baik dari bawaan pasangan mereka sebelumnya atau dari darah daging mereka, Rea’lah yang memiliki wajah paling bersinar, cantik dan semampai. “Teteh nggak ngajak Dimas’kan ke Balinya?” tanya Rea lagi. “Memangnya kenapa?” Rea langsung menggeleng, “Nggak boleh, Dimas nggak boleh ikut dibawa. Kalau Dimas dibawa, nanti akunya kesepian di rumah nggak ada teman.” “Terun nanti kalau Dimas minta s**u, bagaimana? Rea memangnya bisa nyusuin Dimas?” “Bisa dong, stok s**u Dimas’kan banyak. Tinggal Rea panasin pakaia alatnya, terus tuang ke botol, kasih deh.” Rea memang pernah melihat Andhini dan pengasuh Dimas melakukan hal itu hingga ia tahu apa nyang harus ia lakukan jika kaponakan kecilnya itu kehausan. Asri menghela napas. Jawaban Rea memang sangat cerdas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN