Kali ini pandangan Rea tertuju pada Deden. Ia memerhatikan kakak iparnya yang sedari tadi memang hanya diam saja.
“Aa Deden kok diam-diam saja? Aa Deden lagi sakit gigi ya? Gimana mau ke Bali kalau lagi sakit gigi? Mending bawa ke dokter dulu, obatin dulu sakit giginya baru ke Bali.”
Sontak saja semua yang ada di ruangan itu terkekeh mendengar pernyataan di kecil Rea. Rea yang tidak mengerti kenapa semua orang tertawa, hanya bisa mengernyit.
“Kenapa sih semua pada ketawa? Memangnya ada yang lucu? Apanya yang lucu?”
“Nggak ada yang lucu, Sayang ... Yang ada itu, kamu ternyata selain pintar, juga jago ngelawaknya.”
“Siapa yang ngelawak? Memangnya Rea salah bicara? Kali aja aa Deden memang lagi sakit gigi. Ih, nanti kalau dibiarin bisa nggak nyaman lo. Mending sebelum ke Bali, aa pergi berobat dulu.”
Deni terkekeh mendengar celotehan adik iparnya. Deni bukannya sakit gigi, tapi masih banyak rasa segan di diri pria itu ketika berada di rumah besar dengan status sebagai menantu. Dulu ia pernah tinggal di sana, tapi statusnya sebagai sopir. Namun kali ini beda, ia berada satu meja makan bersama keuarga besar Reinald Anggara dan menjadi anggota keluarga yang cukup spesial.
“Rea Sayang ... Aa itu nggak sakit gigi, tapi aa itu sedang menikmati gurauannya Rea. Lagian, aa memang tidak terbiasa mengobrol selama makan.”
“Kok gitu?”
“Karena selama ini aa tinggal sendiri, jadi aa masih agak asing dengan lingkungan ramai seperti ini.”
“Jadi aa nggak suka kalau rame-ramen kayak gini ya?”
“Agak asing bukan berarti tidak suka, Sayang. Tapi aa belum terbiasa saja. Maklum, aa’kan yatim piatu. Mana aa nggak punya sodara lagi di sini. Jadi ya, aa terbiasa sendiri.”
“Jadi aa suka berada di sini?”
“Suka’lah, Sayang ... Aa jadi punya keluarga. Punya mama, papa dan punya adik cantik kayak Rea ini.”
“Rea memang cantik. Bahkan Rea anak mama dan papa paling cantik jika dibanding teh Asri dan teh Aulia. Iya’kan, Ma?” Re tersenyum menggemaskan ke arah Andhini.
Andhini tersenyum lalu mencium puncak kepala putri bungsunya itu.
“Ya iyala masih cantik, Rea’kan masih kecil. Coba nanti kalau udah remaja, udah ada jerawatnya, pasti udah nggak cantik lagi.” Asri menggoda adik bungsunya.
“Mama ... teh Asri jahat.” Rea merajuk mengadu pada ibunya.
Asri malah terkekeh melihat tingkah lucu Rea.
“Sudah ... Sudah ... Sebaiknya makan lagi saja. Rea’kan mau sekolah dan papa juga mau ke kantor. Teh Asri dan aa Deden mau ke bandara. Jadi sebaiknya habiskan dulu sarapannya.” Reinald berupaya menengahi keributan di pagi itu.
“Cantik, maafin teteh ya ... Iya deh, teteh akui kalau Rea itu memang anak mama dan papa yang paling cantik. Lihat deh, kulitnya bening, hidungnya mancung, bibirnya merah alami, kalau sudah dewasa pasti sangat cantik.” Asri berusaha membujuk Rea.
Rea bukannya tersenyum malah memonyongkan bibirnya ke arah Asri.
“Eh, jangan ngambek dong. Mau dibeliin tas dan baju khas Bali nggak?”
Mood Rea seketika berubah mendengar tas dan baju khas Bali. Bocah manis itu seketika tersenyum dan mengangguk gembira.
“Nah gitu dong ... Kalau Rea tersenyum, Rea semakin cantik. Ya sudah, teteh mau lihat Dimas dulu sebentar. Sebelum ke bandara, teteh mau pastikan kalau Dimas nggak rewel.”
“Ngga usah, Teh. Kalau nanti teteh lihatin, Dimasnya bisa ngambek. Teteh dan aa pergi saja, Dimas pasti aman kok.”
“Yakin Dimas akan aman?”
“Yakin, kalau perlu, Rea akan minta izin sama sekolah selama teteh dan aa pergi ke Bali. Bolehkan, Ma?” Rea mengalihkan pandangannya ke arah Andhini.
Andhini langsung saja menggeleng, “Rea harus sekolah, Sayang ... Dimas ada mama kok yang jaga. Ada mbak juga’kan?”
Rea kembali mencebik, “Kasihan sekali, padahal Rea inginnya izin aja.”
Reinald yang sudah sangat gemas kepada anak bungsunya itu, langsung menggendong Rea. Beruntung bocah itu sudah menyelesaikan sarapannya.
“Dari pada nona muda kerjaannya ngobrol terus, sebaiknya sekarang papa antar ke skolah saja.” Reinald menghujani Rea dengan ciuman sayang.
Rea yang diperlakukan demikian tertawa terbahak-bahak karena Reinald menciumi bagian leher dan ketiaknya hingga membuat Rea menjadi geli.
Andhini tentu saja terharu melihat semua itu. Berat rasanya bagi Andhini untuk melepaskan semuanya begitu saja, tidak kuasa bagi Andhini melepaskan kehangatan keluarga itu.
Tidak, aku harus yakin kalau aku bisa sembuh. Ya Allah, izinkan aku bisa melihat Rea tumbuh dan kembang dengan sempurna. Izinkan aku melihat Rea dewasa dan menikah. Izinkan aku ya Allah ....
Andhini dengan susah payah menahan luapan air matanya. Wanita itu pun berpaling dan tidak ingin lagi melihat kegembiraan Rea dan ayahnya. Asri melihat semua itu, begitu juga dengan Deni.
“Kang, mama kok aneh ya?” tanya Asri pada suaminya.
“Iya, seperti ada yang disembunyikan? Dulu wajtu akang kerja di sini, nggak pernah akang lihat mama kayak gitu? Apa mama ada masalah ya?”
“Entahlah ... Tapi kalau masalah sama papa sepertinya nggak mungkin karena yang aku tahu mama dan papa selama ini sangat romantis dan baik-baik saja.”
“Sudahlah, Dek. Kita doakan saja agar mama dan papa baik-baik saja. Oiya, kita lihat Dimas dulu ke atas sebelum kita berangkat ke bandara.”
Asri mengangguk lalu berjalan menuju lantai dua di mana kamarnya berada. Sementara Andhini masuk ke dalam kamarnya, berjalan menuju meja rias dan menatap wajahnya di depan cermin. Wajah yang memang masih cantik menurut ukuran usianya, tapi terlihat banyak beban. Andai saja Andhini tidak menutupinya dengan skincare atau bedak, maka akan terlihat wajah pucat.
Sepasang mata cantik itu pun tidak mampu membendung air matanya. Perjuangan kehidupan yang panjang, membuat Andhini rasanya belum ikhlas untuk melepas semuanya. Apa lagi Aulia kini hidup jauh di sana, dan tidak bisa sepenuhnya merasakan dekapan dirinya. Bertahun-tahun ia terpisah dengan Aulia dan kini kembali terpisah jauh karena Aulia harus ikut suaminya.
Seketika Andhini pun tersadar. Ia tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan. Kesedihan hanya akan membuatnya semakin lemah dan kesehatannya menurun. Ia harus tetap semangat dan yakin untuk sehat. Hilangkan semua pikiran buruk, apa lagi pikiran pergi secepatnya ke pangkuan Tuhan.
Tidak, aku tidak boleh memikirkan semua itu. Aku harus tetap kuat dan sehat. Anak-anakku masih butuh aku, cucuku juga butuh aku. Aku juga tidak sanggup meninggalkan mas Rei. Ya Allah, ampuni segala dosa hamba, hamba yang sudah mengotori kesucian cinta dulunya. Andhini kembali membatin.
Puas menangis, Andhini pun mengusap wajahnya lalu kembali memoles wajah itu dengan bedak tipis agar tidak terlihat pucat. Andhini pun keluar dari kamar dan menyusul Reinald ke ruang keluarga karena Rea sudah siap pergi ke sekolah bersama ayahnya.
“Sayang, kamu dari mana saja?” tanya Reinald yang langsung menghadiahkan sebuah kecupan manis di kening Andhini.
“Aku dari kamar, Mas. Tadi aku habis BAK. Oiya, kamu sudah mau berangkat?”
“Iya, rencananya mau berangkat, bareng sama Dimas dan Deni saja. Biar mas saja yang mengantar mereka ke Bandara dari pada harus naik taksi online.”
“Apa kamu nanti tidak akan terlambat ke kantornya?”
“Nanti aku akan hubungi stafku minta izin terlambat sedikit. Kamu nggak apa-apa tinggal sama Dimas?”
“Ya nggak apa-apa la, Mas. Lagi pula Dimas juga ada pengasuhnya. Aku hanya lihatin saja.”
Reinald tersenyum lalu membelai pipi Andhini, “Sayang, kamu baik-baik saja’kan?”
Andhini tersentak mendengar pertanyaan itu, “Kenapa kamu bertanya seperti itu, Mas?”
“Entahlah ... Aku merasa kalau semua tidak baik-baik saja. Tapi aku percaya kalau Andhiniku tidak akan pernah menyembunyikan apa pun dariku. Oiya, itu Asri dan Dimas sudah turun. Kami berangkat dulu, kamu hati-hati di rumah. Kalau ada apa-apa, segera hubungi mas.”
“Iya, Mas.” Andhini langsung menyambar tangan kanan suaminya dan mengecup punggung tangan itu dengan takzim.
“Ma, titip Dimas ya ... Semoga Dimas nggak ngerepotin mama dan mbaknya.” Asri memberikan Dimas pada ibunya.
Andhini mengambil alih tubuh Dimas, “Iya, Sayang ... Kalian bersenang-senang saja di sana. Jangan khawatirkan Dimas, Dimas akan aman di sni. Nikmatilah bulan madu kalian dengan baik di sana.”
“Terima kasih, Ma. Asri pergi dulu ....” Asri memeluk dan mencium Andhini. Tante yang kini sudah menjadi ibunya.
“Ma, saya bawa Asri dulu ya ....” Kali ini Deni yang memohon pamit pada Andhini.
“Iya, Deni. Bersenang-senanglah di sana. Jangan khawatirkan apa pun di sini.”
“Terima kasih, Ma.”
Andhini mengangguk. Wanita itu pun ikut berjalan menuju halaman rumah melepas suami dan anak-anaknya pergi ke tujuan masing-masing. Melambai tangan serta memberikan doa terbaik untuk mereka semua. Sementara Dimas masih dalam gendongannya.