Hai, teman-teman pembaca…
Kali ini kita akan memasuki bab yang ter-cringe dari cerita ini. Bahwa kejadian berikutnya akan memasuki fase Pencabutan Keputusan Bersalah. Minimal siapkan kopi dan camilan. Cerita ini akan memenuhi fantasi dan pengetahuanmu soal definisi keadilan yang tidak pernah final.
***
Sebelum matahari tampak pada hari Jumat itu, sebuah iringan pendek kendaraan berangkat meninggalkan kota dan mengarah ke timur. Kendaraan terdepan adalah van Eijun yang telah dimodifikasi, dengan Misaki Osikawa sebagai pengemudi dan Kazuya di jok penumpang di sebelahnya. Eijun duduk di kursi favoritnya, menikmati kopi, membaca surat kabar dan secara umum tidak menghiraukan Martha Tristin yang meneguk banyak kopi dan sibuk menulis, dia berusaha untuk tetap terjaga. Di belakang mereka adalah Subara milik Ivan, yang sedang mengemudi dengan Harry di sampingnya. Harry mencengkeram tongkatnya dan menatap ke dalam kegelapan. Di belakang Subaru itu menyusul truk pengangkut bermuatan tiga sampai empat ton dengan Kento Himura di belakang roda kemudi. Para penumpangnya ialah dua orang pengawal pribadi yang bekerja putus-sambung selama beberapa hari terakhir ini untuk melindungi kantor hukum Eijun dan rumahnya. Truk tersebut milik Himura, dan di dalamnya ada sekop, senter, dan peralatan-peralatan lain. Di belakang truk itu ada sebuah van lagi, putih dan tidak berlogo, milik salah satu stasiun TV di Kanto dan dikendarai oleh direktur berita bernama Enishi. Bersama Enishi ada juga seorang juru kamera yang dipanggil Sinichi.
Keempat kendaraan itu telah berkumpul di jalanan mobil panjang di rumah Eijun pada jam lima pagi, dan berhasil melintas di jalanan samping dan kembali lagi ke jalan raya secara diam-diam, lalu melaju pergi tanpa terdeteksi. Kanto hukum Eijun menerima begitu banyak telepon dan surel, sehingga Eijun yakin ada orang tertentu yang penasaran tentang apa yang mungkin dilakukannya hari Jumat.
Dia hanya sempat tidur selama lima jam, itu pun karena bantuan sebutir pil. Dia sudah sangat lelah, namun masih begitu banyak yang harus dia kerjakan dan segera dia selesaikan. Usai meninggalkan Lamb dan Alvin, dan melihat jenazah Furuya sejenak, dia mengajak para pengikutnya untuk pulang ke rumah; Mio berhasil menyajikan cukup banyak makanan untuk memberi makan semua orang. Ivan dan Harry tidur di sofa ruang bawah tanah, sedang seorang pelayan mencuci dan menyetrika pakaian mereka.
Semua orang merasa lelah, namun tidak satu orang pun yang mengalami kesulitan untuk melompat bangun dari ranjang.
Kazuya tengah menelepon, lebih banyak mendengarkan daripada berbicara, dan saat pembicaraan itu selesai, dia mengumumkan, “Itu tadi orangku di stasiun radio. Ada sekitar empat puluh penangkapan, dua lusi korban luka-luka, namun syukurnya, tidak ada satu pun korban jiwa. Mereka telah menutup hampir sebagian besar pusat kota, dan situasi terlihat begitu tenang untuk saat ini. Begitu banyak kebakaran yang tak terhitung jumlahnya. Lima truk pemadam kebakaran dirikim dari penjuru kota lain. Paling tidak ada mobil polisi yang dilempari bom Molotov yang sudah menjadi senjata pilihan. Mereka membakar kotak reporter di lapangan futbol dan tempat itu masih terbakar hingga saat ini. Kebanyakan kebakaran menimpa gedung kosong. Belum ada rumah. Menurut gosip yang beredar, Gubernur akan mengirimkan lebih banyak tentara. Namun masih belum ada konfirmasi mengenai itu.
“Dan apa yang terjadi jika kita menemukan mayat dari gadis itu?” tanya Tristin.
Eijun menggeleng dan berpikir sebentar. “Kalau begitu, yang semalam itu hanya pemanasan.”
Mereka telah memperdebatkan pelbagai macam kombinasi dan regulasi untuk perjalanan itu. Untuk memastikan supaya Harry tidak melarikan diri, Eijun sebenarnya ingin pembunuh itu diamankan di mobilnya, di bawah pengawasan super ketat Misaki Osikawa dan Kento Himura. Namun dia tidak sanggup membayangkan dirinya harus dikurung di tempat sekecil itu hingga beberapa jam bersama Harry. Ivan bersikeras akan menyetir Subarunya, terutama karena dia bertekad untu sampai di Fukui Jumat sore itu, bersama atau tanpa Harry. Ivan bersikeras akan menyetir Subarunya, terutama karena dia bertekad untuk sampai di Fukui Jumat sore itu, bersama atau tanpa Harry. Seperti Eijun, dia tidak punya hasrat untuk duduk di dekat Harry, namun karena sudah pernah melakukannya sekali, dia meyakinkan Eijun kalau dia bisa melakukannya sekali lagi.
Kento Himura mengusulkan supaya mereka melemparkan Harry di jok belakang kabin truknya dan mengawasinya dengan pistol. Di antara tim Eijun terdapat semacam kemauan untuk membalas dendam, dan jika Harry benar-benar memimpin mereka untuk menemukan mayat gadis itu, Kento Himura dan Misaki Osikawa dengang gampang bisa diyakinkan untuk membawa Harry ke suatu tempat di balik pepohonan dan membebaskannya dari penderitaan. Ivan merasakan hal ini, dan mereka menghormati kehadirannya. Tidak akan ada kekerasan.
Keterlibatan Enishi rumit. Eijun tidak mempercayai reporter mana pun, titik. Namun jika mereka menemukan apa yang mereka cari, hal itu harus direkam secara layak, dan oleh seseorang dari luar bironya. Tentu saja Enishi dengan begitu semangat ikut serta, namun dia telah dipaksa menyetujui selembar daftar berisi persyaratan tegas yang pada dasarnya menghalangi dirinya untuk melaporkan apa saja hingga diperintahkan oleh Robert Eijun. Jika dia melanggar, dia dan Sinichi, si juru kamera, hampir dapat dipastikan akan menerima hajaran atau tembakan, atau bahkan keduanya. Enishi dan Sinichi paham kalau setiap taruhan itu besar dan setiap peraturan harus ditaati. Oleh karena Enishi adalah direktur berita di stasiun itu, dia sanggup menyelinap keluar tanpa meninggalkan petunjuk satu pun di kantor.
“Sekarang apakah kita bisa bicara?” tanya Tristin. Mereka telah berada di jalanan selama setengah jam, dan warna oranye mulai memancar di langit.
“Tidak.” Eijun menjawab singkat.
“Sudah hampir dua belas jam sejak kematiannya, apa yang masih kau pikirkan?”
“Aku lelah luar biasa, Tristin. Otakku tidak sanggup bekerja lagi. Tidak ada pikiran apa pun.”
“Apa yang kau pikirkan saat melihat jenazahnya?”
“Dunia ini sakit saat kita membunuh orang karena kita beranggapan kalau kita memiliki hak untuk membunuh mereka. Menurutku dia terlihat sangat keren, pemuda tampan yang terbaring tidur, tidak ada luka yang terlihat di sekujur tubuhnya, tidak ada tanda-tanda perlawanan. Disuntik mati seperti anjing tua oleh sekumpulan orang fanatik dan t***l yang terlalu malas dan terlalu bodoh untuk menyadari apa yang mereka lakukan. Kau tahu apa yang benar-benar sedang aku pikirkan, Tristin?”
“Apa?”
“Aku beritahu kau. Aku sedang memikirkan Okinawa, musim panasnya yang sejuk, tidak ada kelembapan, tidak ada eksekusi. Sebuah tempat beradab Pondok di tepi danau. Aku dapat belajar menyekop salu. Jika aku menjual semuanya dan menutup biroku, mungkin aku bisa mendapatkan seratus juta yen bersih. Aku akan pensiun ke Okibawa dan menulis buku.”
“Tentang apa?”
“Belum ada gagasan.”
“Tidak akan ada orang yang percaya, Eijun. Kau tidak akan pernah pergi. Kau mungkin akan mengambil cuti panjang, menenangkan dari, tapi dengan segera kau akan menemukan kasus baru, menjadi terobsesi dan mengajukan sebuah gagasan hukum, atau mungkin sepuluh. Kau akan melakukan itu hingga kau berumur delapan puluh, hingga mereka terpaksa menggotongmu keluar dari kantor dengan menggunakan brankar.”
“Usiaku tidak akan mencapai delapan puluh. Aku lima puluh dua sekarang, dan aku merasa sangat loyo.”
“Kau masih akan menggugat orang-orang ketika kau berusia delapan puluh.”
“Aku tidak tahu.”
“Aku tahu, aku tahu di mana hatimu.”
“Saat ini hatiku sangat hancur, dan aku siap menyerah. Pengacara dengan setengah jam terbang saja bisa menyelamatkan Furuya.”
“Dan apa yang berbeda denganmu?”
Eijun mengangkat kedua tangannya dan mengatakan, “Tidak untuk saat ini, Tristin. Tolonglah.”
Di mobil di belakang mereka, kalimat pertama yang diucapkan ialah saat Harry mengatakan, “Apa kau benar-benar menyaksikan eksekusi itu?”
Ivan meneguk kopi dan menunggu sejenak. “Ya, benar. Itu tidak direncanakan; terjadi begitu saja pada detik terakhir. Aku tidak ingin menyaksikannya.”
“Apa kau berharap tidak menyaksikannya?”
“Itu pertanyaan yang sangat bagus, Harry.”
“Terima kasih.”
“Di satu sisi aku memang berharap aku tidak perlu menyaksikan kematian seseorang, terutama seseorang yang mengaku dirinya tidak bersalah.”
“Dia memang tidak bersalah.”
“Aku berusaha berdoa bersamanya, namun dia menolak. Menurutnya dia tidak percaya Tuhan, meskipun dulu ya. Sebagai pendeta, benar-benar sulit buatku menghadapi seseorang yang menghadapi kematian dan tidak percaya pada Tuhan atau Yesus atau surga. Aku sudah cukup sering berdiri di tepi ranjang rumah sakit dan menyaksikan anggota jemaatku meninggal, dan rasanya selalu menghibur mengetahui kalau jiwa mereka akan terbang menuju tempat yang lebih baik. Tidak begitu halnya dengan Furuya.
“Atau aku.”
“Di sisi lain, aku melihat sesuatu di bilik kematian itu yang semestinya dilihat semua orang. Mengapa menyembunyikan apa yang kita lakukan.”
“Jadi, kau mau melihatnya lagi?”
“Aku tidak mengatakan itu, Harry.” Itu pertanyaan yang tidak sanggup dijawab Ivan. Dia telah berjuang keras dengan eksekusi pertamnya; dia tidak mampu membayangkan yang selanjutnya. Baru berselang beberapa jam, detik-detik sebelum dia akhirnya tertidur, bayangan Furuya yang terikat di ranjang kematian terlintas di benaknya, dan Ivan membayangkan proses eksekusi itu sekali lagi pelan-pelan. Dia teringat menatap tubuh bagian atas Furuya saat mengembang sedikit, lalu mengempis. Mengembang, lalu mengempis. Naik, dan turun, hampir idak kentara. Dan setelah itu berhenti. Ivan baru menyaksikan seorang manusia menghembuskan napasnya untuk yang terakhir kali. Dia tahu bayangan itu tidak akan pernah hilang.
Langit mencerah di ufuk timur. Mereka melintas memasuki Oklahoma.
Harry Kazuya mengatakan, “Aku rasa itu perjalanan terakhirku ke sana.”
Ivan tidak mampu memikirkan tanggapannya.
***
Helikopter Gubernur akan mendarat jam sembilan pagi. Berhubung media telah menerima banyak informasi pendahuluan dan sedang menunggu dengan waswas, terjadilah perdebatan yang cukup serius antara Gubernur, Waka Shohei dan Chiba Fukushi tentang kelengkapan pendaratan. En route, mereka akhirnya setuju untuk mendarat di halaman parkir di samping lapangan futbol. Media diberitahu dan segera menuju SMA Kanto untuk mendapatkan perkembangan berita terkini. Kotak reporter itu rusak, parah, gosong, dan berasap. Pasukan pemadam kebakaran masih di lokasi, membersihkan puing-puing. Saat Iwata Takanori muncul dari dalam helikopternya, dia disambut oleh polisi, para kolonel dari Pasukan Nasional, beberapa pejabat terpilih dan para pasukan pemadam kebakaran yang kelelahan. Dia menjabat tangan mereka dengan hangat, seolah-olah mereka ialah pasukan baru saja kembali dari peperangan. Shohei dan Chiba dengan sigap mengamati keadaan di sekeliling, dan mereka mengorganisir pertemuan pers itu sedemikian rupa sehingga latar belakangnya ialah lapangan futbol, dan yang paling penting yaitu kotak wartawan yang terbakar itu. Guberu mengenakan jins, sepatu bot koboi, tanpa dasi, dan tubuh bagian atasnya dibalut jaket tipis—cerminan pekerja sejati.
Kesan wajah yang serius dengan semangat menggebu, dia menghadap kamera dan para reporter itu. Dia mengutuk setiap tindakan kekerasan dan kerusuhan itu. Dia berjanji untuk melindungi penduduk Kanto. Dia mengumumkan kalau dia telah memanggil lebih banyak lagi para tentara dan akan memobilisir seluruh Pasukan Nasional, jika mereka diperlukan. Dia membicarakan keadilan, gaya khas Kanto. Dia menyindir sedikit ketika menghimbau para pemimpin kulit hitam supaya mengendalikan para perusuh itu. Dia tidak menyinggung sedikit pun tentang perusuh kulit putih. Dia mencecar dan mengomel, saat selesai, dia langsung menjauhi mikrofon tanpa menerima pertanyaan satu pun. Baik dia, Shohei, maupun Chiba ingin segera menangani masalah Harry Kazuya.
Selama satu jam dia berputar-putar mengelilingi Kanto dengan mobil patroli, berhenti untuk minum kopi bersama para polisi dan tentara, berbincang dengan para penduduk, dan melakukan sedikit analisa. Dengan kesan wajah serius, dan sedih atas puing-puing Gereja Baptis Pertama, dan sedang semua itu berlangsung kamera terus menyorot mereka, merekam segalanya demi kejayaan ketika itu, namun juga secara fungsional untuk kegiatan kampanye di masa depan.
***
Usai lima jam, iring-iringan itu akhirnya berhenti di sebuah toko salah satu pedesaan di Shibuya. Setelah memanfaatkan kamar kecil dan meneguk kopi lebih banyak lagi, mereka mengarah ke utara. Saat ini Subaru Ivan memimpin di depan, sementara kendaraan yang lain mengekor.
Harry begitu jelas terlihat gugup, cedutannya lebih kerap muncul, jemarinya mengetuk tongkat. “Kita telah dekat dengan tikungan itu,” katanya. “Ada di sebelah kiri.” Dia menunjukkan salah satu jalan. Mereka menikung ke kiri kaki bukit, di samping sebuah pompa bensin. “Ini kelihatannya benar,” Harry terus berbicara, jelas-jelas terdengar gugup dari suaranya ketika dia menunjukkan tempat yang akan mereka semua tuju. Mereka berkendara di jalanan pedesaan dengan jembatan di atas sungai kecil, tikungan tajam, dan bukit yang curam. Kebanyakan tempat tinggal berupa trailer dengan satu sampai dua rumah berdinding bata dari tahun lima puluhan.
“Kelihatannya ini benar,” katanya sekali lagi.
“Dan kau tinggal di sekitar sini dulu, Harry?”
“Ya, di sini.” Dia mengangguk sambil mulai menggosok pelipisnya. Tolonglah, pikir Ivan, jangan sampai kejang-kejang lagi di saat seperti ini. Tolong, jangan dulu untuk saat ini. Mereka berhenti di sebuah persimpangan di tengah daerah pemukiman kecil. “Teruslah mengemudi,” kata Harry. Mereka melalui pusat perbelanjaan yang terdiri atas sebuah toko bahan pangan, salon kecantikan, dan penyewaan video. Halaman parkirnya penuh kerikil. “Ya, ini benar sepertinya.”
Ivan memiliki begitu banyak pertanyaan, namun dia tidak terlalu banyak bicara. Apakah Bella Stefa masih hidup saat kau berkendara kemari, Harry? Atau pada saat itu kau sudah mencabut nyawanya? Apa yang sedang kau pikirkan ketika itu, Harry, saat kau berkendara di sini sembilan tahun lalu dengan gadis malang itu, yang terikat, tersumpal oleh lebam dan sangat ketakutan sesudah kau perkosa sepanjang akhir pekan?
Mereka menikung ke kiri, memasuki jalanan lain yang ada trotoarnya, namun kini lebih sempt, dan berkendara sekitar satu setengah kilometer sebelum melewati sebuah bangunan tempat tinggal. “Pak Tua Yanaka punya toko di sini,” ujar Harry. “Aku rasa toko itu telah lenyap saat ini. Usianya saja sudah sembilan puluh tahun ketika aku masih kecil dulu.” Mereka berhenti di sebuah rambu tanda berhenti di depan Pasar Desa Yanaka.
“Aku pernah merampok satu kali tempat itu,” kata Harry. “Usiaku belum ada sepuluh tahun saat itu. Aku merangkak melewati jendela. Aku sangat benci pak tua sialan itu. Tetaplah mengemudi.”
Ivan menurutinya dan tidak mengatakan apa-apa.
“Ini berkerikil terakhir kali aku ke sini,” katanya sambil melihat jalanan seolah-olah mengingat sebuah kenangan manis dari masa kecilnya.
“Kapan itu?” tanya Ivan.
“Aku tidak tahu, Pendeta. Kunjungan terakhirku untuk melihat Bella.”s
Dasar biadab, pikir Ivan. Jalanan itu memiliki tikungan tajam, begitu tajam hingga terkadang Ivan berpikir mereka akan berputar dan menemui diri mereka sendiri. Kedua van dan pick-up itu mengekor rapat di belakang. “Carilah sebuah sungai kecil dengan jembatan kayu,” kata Harry. “Ini kelihatannya benar.” Seratus meter sesudah jembatan itu, Harry mengatakan, “Sekarang pelan-pelan.”
“Kecepatan kita hanya lima belas kilometer per jam, Harry.”
Harry sedang memandang ke sebelah kiri, tempat di mana semuanya semak-semak tebal dan rumput liar menggarisi alanan. “Ada jalanan berkerikil di sini, di suatu tempat,” katanya. “Lebih pelan lagi.” Iring-iringan kendaraan itu nyaris sambung-menyambung.
Di dalam van, Eijun mengatakan, “Ayolah, Harry, dasar kau b******n licik. Jangan sesekali kau mempermainkan kami.”
Ivan menikung ke kiri, memasuki jalanan berkerikil yang teduh oleh pepohonan ek dan elm yang saling bersilangan di atas. Jalanan itu sempit dan gelap seperti terowongan. “Ini dia,” ucap Harry, lega, untuk saat itu. “Jalanan ini sejajar dengan sungai, untuk sementara. Ada area perkemahan di bawah sana, di sebelah kanan, atau paling tidak dulu ada.” Ivan memeriksa odometernya. Mereka sudah masuk hampir sejauh dua kilometer ke dalam jalanan yang nyaris gelap itu, dengan kali yang terkadang muncul. Tidak ada lalu lintas, tidak ada ruangan untuk lalu lintas, dan tidak ada tanda kehidupan manusia di mana pun di sekitar situ. Area perkemahan tersebut hanya pelataran terbuka yang mampu menampung segelintir tenda dan mobil, dan kelihatannya telah terlupakan.
Rumput-rumput liarnya setinggi lutut. Dua meja piknik dari kayunya pecah dan terguling miring. “Kami berkemah di sini ketika aku masih kecil dulu,” kata Harry.
Ivan hampir merasa iba kepadanya. Harry tengah berusaha mengingat sesuatu yang menyenangkan dan normal dari masa kecilnya yang mengenaskan.
“Aku rasa kita harus berhenti di sini,” kata Harry. “Aku akan menjelaskan.”
Keempat kendaraan itu berhenti dan semua orang berkumpul di depan Subaru. Harry menggunakan tongkatnya sebagai penunjuk dan mengatakan, “Ada jalanan tanah yang menanjak ke bukit itu. Kalian tidak bisa melihatnya dari sini, namun jalanan itu ada, atau paling tidak dulu ada. Cuma satu truk yang bisa naik ke sana. Kendaraan lain harus tinggal di sini.”
“Seberapa jauh naiknya?” tanya Eijun.
“Aku tidak memeriksa odometer waktu itu, namun aku rasa sekitar empat ratus meter.”
“Dan apa yang akan kami temukan setibanya kami di sana, Harry?” tanya Eijun.
Eijun bertumpu pada tongkatnya dan mengamati rerumputan liar di kakinya. “Di sanalah letak kuburan itu. Di sana kau akan menemukan Bella.”
“Ceritakan tentang kuburan itu,” desak Eijun.
“Dia dikubur di dalam kotak logam, kotak besar untuk menyimpan peralatan yang aku ambil dari konstruksi tempatku bekerja. Bagian atas kotak itu terkubur sekitar enam puluh senti di bawah tanah. Saat ini telah sembilan tahun, jadi tanah pasti tebal dengan tumbuhan. Sulit untuk mencari lokasinya dengan tepat. Namun aku rasa, kiranya aku bisa mengira tempat itu. Saat ini, sesudah berada di sini, aku kembali teringat.
Mereka membahas soal logistik dan memutuskan kalau Kazuya, Martha Tristin, Enishi, dan Sinichim san salah satu pengawal pribadi itu (bersenjata) akan tinggal di area perkemahan. Sisanya menaiki truk Himura dan menangani bukit itu sambil membawa kamera video.
“Satu hal yang terakhir,” sahut Harry. “Bertahun-tahun silam, lahan ini dikenal sebagai Gunung Takao, dimiliki oleh keluarga Takao, orang-orang yang terkenal tangguh. Mereka tidak menyukai para pemburu dan pelanggar lahan, dan terkenal suka mengejar orang-orang yang berkemah. Itu satu alasan kenapa aku memilih tempat ini. Aku tahu di sini tidak akan banyak orang yang lalu-lalang.” Hening sebentar saat Harry mengernyit dan menggosok pelipisnya. “Bagaimanapun ada sangat banyak saudara dalam keluarga Takao, jadi aku rasa mereka masih mempunyai lahan ini. Kalau kita bertemu dengan seorang di antaranya, lebih baik kita bersiap menghadapi masalah.”
“Di mana mereka tinggal?” tanya Eijun, sedikit khawatir.
Harry melambaikan tongkatnya ke arah yang berbeda. “Sangat jauh. Aku rasa mereka tidak akan mendengar atau melihat kita.”
“Ayo kita pergi,” ujar Eijun.