Apa yang kelihatannya seperti pertemuan pastoral rutin hari Senin pagi itu sekarang berujung dengan ini—Ivan duduk di jok belakang sebuah truk pick-up, terpental-pental di sisi Gunung Takao, yang tidak lebih dari sebuah bukit yang berukuran sedang dan lebat dengan kudzu, tanaman merambat beracun dan pepohonan gemuk, menghadapi risiko p*********n bersenjata dari para pemilik tanah yang pemarah, kemungkinan besar teer karena meth, dalam perjalanan terakhir untuk membuktikan apakah Harry Kazuya sungguh-sungguh mengatakan hal yang sebenarnya. Jika mereka tidak menemukan jasad gadis itu, itu berarti Harry telah berdusta, Ivan yang bodoh, dan kemungkinan Kanto baru saja mengeksekusi orang yang benar.
Bagaimana pun, jika mereka berhasil menemukan mayat dari gadis itu, maka Ivan dapat mengerti apa yang akan terjadi selanjutnya. Kepastian sudah menjadi sebuah konsep yang merumitkan, namun dia begitu yakin kalau dia akan pulang nanti malam. Dia sudah tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi di Kanto, dan dia yakin dia tidak akan berada di sana. Dia akan menyaksikan semuanya di layar televisi, dari jarak jauh dan aman. Dia cukup yakin dengan kejadian di Kanto akan semakin sensasional dan kemungkinan ini akan memuat sejarah baru yang cukup menarik.
Harry duduk di jok depan, sambil menggosok kepalanya dan meregangkan leher untuk melihat sesuatu yang terasa tak asing. Dia menunjuk ke kanan—dia yakin makam itu ada di sebelah kanan jalanan—dan dia mengatakan, “Ini kelihatannya tidak asing.” Daerah itu lebat oleh rerumputan liar dan sulur-suluran. Mereka berhenti, keluar dan menyambar dua detektor logam. Selama lima belas menit mereka meneliti di antara tetumbuhan lebat untuk mencari tanda dan menunggu detektor itu mengeluarkan suara. Harry berjalan terpincang-pindah, menyibakkan rerumputan liar menggunakan tongkatnya, diikuti Ivan dan diawasi semua orang. “Carilah sebuah ban tua, ban traktor tua,” ujar Harry. Kata-kata itu diulang-ulangnya beberapa kali.
Namun di sana tidak ditemukan ban, dan tidak ada suara yang keluar dari detektor-detektor. Mereka kembali ke posisi semula di truk dan bergerak maju pelan-pelan, menanjak menyusuri jalan setapak yang dari setiap tanda-tandanya tidak pernah digunakan selama puluhan tahun.
Jalan setapak itu lenyap dan sepanjang dua puluh meter ke depan, Kento Himura mengemudikan truknya menerobos tumbuhan, mengernyit setiap kali bodi truknya tergores dahan dan sulur. Mereka yang duduk di belakang merunduk untuk mengamankan diri dari tamparan dahan. Sama seperti saat Himura mau berhenti, jalanan itu muncul lagi, samar-samar, dan Harry mengatakan, “Tetaplah mengemudi.” Lalu jalanan itu membelah. Himura berhenti sementara Harry mempelajari cabang itu dan menggeleng. Dia tidak punyai ide, kata Himura dalam hati. Di belakang, Eijun memandang Ivan dan menggeleng.
“Di sebelah sana,” ucap Harry, memberi isyarat ke kanan dan Himura mengikuti petunjuknya.
Hutan semakin lebat, pepohonan lebih muda dan tumbuh menggerombol. Ibarat anjing pelacak, Harry mengangkat tangannya dan menunjuk, sedang Kento Himura mematikan mesin. Regu pencari itu menyebar, mencari ban traktor tua, mencari apa saja. Sebuah kaleng bir membangunkan salah satu detektor logam itu, dan selama beberapa detik mereka semua tegang. Sebuah pesawat terbang kecil melayang di atas, dan semua orang membeku, seolah-olah sedang ada yang mengawasi. Eijun mengatakan, “Harry, apakah kau ingat kalau makam itu adadi bawah pepohonan atau di pelataran yang terbuka?” Pertanyaan itu kelihatannya lebih masuk akal. Harry menjawab, “Aku rasa lebih di pelataran terbuka, namun pohon-pohon itu pasti sudah tumbuh di sana dalam waktu sembilan tahun.”
“Bagus,” seru Eijun, lalu mereka kembali melanjutkan pencarian, menginjak rumpur liar, memelototi tanah seolah-olah petunjuk sempurna itu hanya satu langkah di depan. Sesudah setengah jam lamanya, Harry mengatakan, “Tempatnya bukan ini, ayo kita maju lagi.”
Ivan merunduk di belakang truk dan bertukar pandang dengan Eijun. Keduanya seolah mengatakan, “Kita semestinya tahu kalau Harry tidak bisa dipercaya.” Namun tidak satu orang pun di antaranya yang bicara. Tidak satu orang pun berbicara sebab ketika itu sungguh tidak ada yang bisa dikatakan. Yang ada cuma segudang pemikiran yang mengendap secara egois di kepala masing-masing.
Jalanan itu menikung, lalu melurus. Harry menunjuk lagi. “Ini dia,” katanya sambil menyentakkan gagang pintu sebelum mesin dimatikan. Dia berlari memasuki sebuah pelataran yang rerumputan liarnya tumbuh hingga setinggi pinggang, sedang orang-orang lainnya mengikuti di belakang. Ivan berjalan beberapa langkah, tersandung oleh sesuatu, dan kemudian jatuh terjerembap. Saat dia berusaha berdiri lagi, sembari menepis serangga dan semak-semak, dia menyadari apa yang sudah membuatnya tersandung. Sisa dari sebuah ban traktor yang benar-benar tenggelam di antara tetumbuhan.
“Ini ada ban,” panggilnya, dan orang-orang lainnya ikut berhenti bergerak. Harry hanya beberapa jengkal di depan. “Bawa detektor logam itu,” katanya. Kento Himura membawa sebuah dan dalam hitungan detik alat itu telah berdetak denga berisik, menunjukkan tanda tersengat tinggi. Misaki Osikawa mengeluarkan dua buah sekop.
Daerah itu berbatu, namun tanahnya lembek dan lembap. Sesudah menggali dengan giat selama sepuluh menit, sekop Himura menghantam sesuatu yang jelas terdengar seperti logam. S
“Coba kau berhenti sebentar,” kata Eijun. Baik Himura maupun Misaki, keduanya butuh istirahat.
“Baiklah,” lanjut Eijun. “Ceritakan apa yang akan kami temukan.”
Cedutan, hening sebentar, lalu, “Kotak logam yang dipakai untuk menyimpan peralatan hidrolik, beratnya luar biasa, hampir mematahkan punggungku ketika aku menyeret benda sialan itu ke sini. Warnanya oranye dan ada nama perusahaan itu. R.S. Tamanaka, yang dicat di bagian depan. Tutupnya ada di bagian atas,”
“Dan di dalamnya?”
“Tidak ada apa pun selain tulang-belulang sekarang. Sudah sembilan tahun.” Dia bicara dengan gaya sok tahu, seolah-olah ini bukan makam rahasianya yang pertama. “Pakaiannya dibuntel menjadi satu dan dilemparkan di bawah kepalanya. Ada sabuk di seputar lehernya yang semestinya masih ada.” Suara Harry terputus, seolah-olah temuan itu membuatnya sedih. Hening sebentar, sementara orang-orang lainnya bertukar pandang, lalu Harry berdeham dan melanjutkan. “Dalam pakaiannya, kita semestinya akan menemukan surat izin mengemudinya, pun ada sebuah kartu kredit. Aku tidak ingin tertangkap karena membawa keduanya.”
“Gambarkan sabuk itu,” kata Eijun. Si pengawal pribadi mengulurkan kamera video pada Eijun.
“Warnanya hitam, dan lebarnya sekitar lima senti, dengan gesper bundar perak. Itu senjata pembunuhnya.”
Penggalian itu masih berlanjut, sementara Eijun merekamnya dengan video. “Panjangnya sekitar satu setengah meter,” kata Harry, menggambarkan ukuran kotak itu. Dengan setiap penyekopan, bentuk kotak itu semakin jelas. Ternyata warnanya memang oranye. Penggalian lebih dalam menampakkan nama “R.S. Yamanaka.”
“Itu cukup,” kata Eijun, dan penggalian itu berhenti. Misaki Osikawa dan Kento Himura bercucuran keringat dan tersengal. “Kita tidak akan memindahkannya.”
Kotak peralatan tersebur memberikan sebuah tantangan, jenis yang perlahan-lahan semakin kentara. Tutup bagian atasnya diamankan oleh sebuah gerendel, dan gerendel itu diamankan oleh gembok kombinasi, jenis murahan yang bisa diperoleh di toko peralatan mana saja. Himura tidak mempunyai peralatan yang dapat untuk memotong gembok itu, namun tidak diragukan lagi bahwa mereka akan mematahkannya. Sesudah hingga sejauh ini, mereka tidak akan mau kehilangan kesempatan untuk melihat isi kotak itu. Keenam laki-laki itu berkerumun dan memelototi kotak oranye bergembok kombinasi itu. Eijun mengatakan, “Nah, Harry, apa nomor kombinasinya?”
Harry baru benar-benar tersenyum, seolah-olah dirinya terbukti benar pada akhirnya. Dia turun ke tepi makam, menyentuh kotak tersebut, solah-olah benda itu sebuah altar, lalu perlahan-lahan memegang gemboknya, mengguncangkan tanah yang melekat. Dia memutar kepingan bernomor itu beberapa kali untuk melicinkannya, lalu perlahan-lahan memutar ke kanan, ke angka 17, kemudian kembali ke kiri, ke angka 50, lalu ke kanan lagi, ke angka 4, dan terakhir ke kiri, ke angka 55. Dia skeptis dan menundukkan kepalanya, seolah-olah hendak mendengarkan sesuatu, lalu mendadak dia tegak lagi. Terdengar suara klik lembut dan gembok itu pun terbuka.
Eijun tengah merekam dari jarak satu setengah meteran. Ivan tidak mampu menahan cengiran, meski tempat dan apa yang dikerjakannya ketika itu tidak mendukung.
“Jangan membukanya,” ucap Eijun. Himura bergegas ke truk dan kembali dengan sebuah paket. Dia membagikan sarung tangan steril dan masker, dan saat semua orang telah mengekannya, Eijun memberikan kamera itu kepadanya dan menyuruhnya untuk mulai merekam. Dia memerintahkan Misaki untuk turun dan pelan-pelan membuka tutup kotak itu. Dia melakukannya. Tidak ada mayat, hanya tulang-belulang, sisa-sisa jasad seseorang—Bella Stefa, menurut dugaan mereka. Kedua tangan dan jemarinya dilipat menjadi satu di bawah tulang rusuknya, namun kakinya ada di dekat lutut, seolah-olah Harry terpaksa melipat tubuhnya supaya muat di dalam kotak peralatan itu. Tengkorak Bella Stefa utuh, namun sebuah geraham hilang. Padahal dia memiliki gigi yang sempurna; mereka tahu itu dari setiap fotonya yang ada. Di seputar tengkoraknya ada helai rambut panjang berwarna keemasan. Di antara tengkorak dan pundaknya, menggeletak seutas kulit panjang berwarna hitam, sabuk itu, duga mereka. Di samping tengkorak itu, di sudut kotak, kelihatannya ialah pakaian-pakaian.
Ivan memejamkan matanya dan mengucap doa.
Eijun memejamkan matanya dan mengutuk dunia.
Harry melangkah mundur dan duduk di pinggiran ban traktor itu, di antara rerumputan liar, dan mulai menggosok kepalanya.
Sementara Himura terus merekam, Eijun mengarahkan Misaki untuk perlahan-lahan mengeluarkan gulungan pakaian itu. Barang-barang tersebut masih utuh, meskipun pinggirannya telah tercabik dan ternoda di beberapa tempat. Sehelai blus, biru dan kuning dengan semacam renda, dan sebuah lubang besar jelek yang entah dibuat oleh serangga atau daging yang membusuk. Sebuah rok mini putih, sangat kotor. Sepasang sandal cokelat. Bra dan celana dalam yang seragam, biru tua. Dan dua kartu plastik, satu surat izin mengemudi Bella Stefa, dan satunya lagi sebuah MasterCard. Barang-barang Bella Stefa ditempatkan dengan rapi di sisi makamnya.
Harry kembali ke truk, duduk di jok depan dan memijat kepalanya. Selama sepuluh menit, Eijun memberikan perintah dan membuat rencana. Lusinan foto diambil, namun tidak ada yang disentuh. Tempat itu ialah tempat kejadian perkara sekarang, dan pihak berwenang setempat akan mengambil alih.
Misaki dan si pengawal pribadi tinggal di tempat, sementara orang-orang lainnya menuruni Gunung Takao.