PAGI-PAGI Ivan sudah sampai di rumah sakit dan melakukan kunjungan rutinnya. Ketika itu ada setengah lusin jemaat Gereja Bethany yang dirawat dengan beragam tingkatan perawatan atau pemulihan. Dia menyapa keenam-enamnya, memberikan penghiburan singkat, memegangi tangan mereka dalam doa, lalu pergi menemui Harry guna menjadikan hari itu penuh arti. Penuh arti dalam hal-hal yang tidak diperkirakan. Harry telah pergi. Menurut keterangan seorang perawat, saat mereka memeriksanya pada pukul enam pagi, mereka menemukan ranjangnya kosong dan sudah dirapikan, baju rumah sakitnya dilipat di sebelah bantal, sedang selang infus dengan hati-hati dibelitkan di seputar tiang portabel di sebelah ranjang. Satu jam sesudahnya, pesan bahwa Harry sudah kembali dan ingin dokternya tahu bahwa dirinya baik-baik saja. Ivan mengemudi ke Rumah Singgah Kanto, tapi Harry tidak ada di sana. Menurut keterangan seorang penyelia, dia tidak dijadwalkan bekerja pada hari Rabu.
Tidak seorang pun tahu di mana dirinya atau kapan dia mungkin kembali. Sementara Ivan berkendara untuk kembali ke Gereja Bethany, dia memberitahu dirinya sendiri agar tidak cemas, tidak perlu panik Harry akan muncul nanti. Setelah itu dia mengomeli diri habis-habisan sebab menaruh secuil keyakinan terkecil sekalipun kepada pembunuh yang mengaku, p*******a kambuhan dan pendusta kawakan. Dia sadar akan hal itu, sebab telah menjadi kebiasaannya untuk berusaha melihat kebaikan pada diri setiap orang yang dikenal dan ditemuinya, sedang dia panik kalau-kalau telah bersikap terlalu lunak terhadap Harry. Dia telah berusaha terlalu keras untuk memahami, bahkan menaruh iba. Astaga, laki-laki itu telah membunuh gadis yang masih berusia tujuh belas tahun hanya untuk memuaskan hawa nafsunya, dan sekarang kelihatannya dia puas menyaksikan orang lain mati karena kejahatan yang dia lakukan sendiri. Hanya Tuhan yang tahu, berapa banyak wanita lain yang telah diperkosanya.
Ivan merasa kesal, bahkan marah saat memasuki kantor gerejanya. Satoshi Hyuga, yang baru saja kembali usai sembuh dari flu menyapanya dengan senyuman yang sempurna, “Selamat Pagi, Pendeta,” sayangnya Ivan hampir tak mampu bersikap ramah.
“Aku akan mengunci diri di kantor. Aku tidak akan menerima telepon, selain dari laki-laki yang bernama Harry Kazuya.”
“Ya, Pendeta.”
Dia mengunci pintu, melepaskan mantel dengan kasar, dan menghubungi Kiki untuk meneruskan kabar terakhir itu. “Dia berkeliaran bebas di jalanan?” Kiki muncul dengan pertanyaan hasil menebak raut muka suaminya.
“Nah iya, dia toh dalam proses pembebasan bersyaratnya. Dia telah menjalani masa hukuman penjaranya dan sebentar lagi dia akan menjadi manusia merdeka. Aku rasa kau bisa mengatakan kalau dia berkeliaran bebas.”
“Puji Tuhan untuk tumornya.”
“Aku tidak percaya kau mengatakan itu.”
“Maaf. Aku juga. Lalu, apa rencana iu setelah ini?”
“Tak ada apa-apa selain menunggu. Mungkin dia akan muncul.”
“Kabar aku.”
Keith menelpon Ichiro Ozawa di kantor kejaksaan dan memberitahunya bahwa ada penundaan. Ichiro mula-mula tidak keberatan dengan gagasan menemui Harry dan merekam pernyataan, tapi dia berpikir-pikir lagi. Dia sudah setuju untuk menelepon sekali atau dua kali ke Kanto usai mendengar kisah Harry, apabila pada kenyataannya dia percaya dengan apa yang didengarnya.Dia kecewa mengetahui orang itu hilang.
Ivan memeriksa situs Furuya untuk mengetahui berita terkini, hal yang dilakukanya hampir setiap jam semenjak hari Senin pagi. Dia pergi ke lemari-lemari arsip dan mengeluarkan berkas-berkas khotbah lama. Dia menelepon lagi, tapi Kiki sedang mengopi bersama teman-temannya.Tepat pukul 10.30 dia menelepon kantor hukum Robert Eijun. Perempuan muda yang menjawab teleponnya menjelaskan bahwa Eijun tidak ada di kantor. Ivan berkata dia memahami ini dan berkata bahwa dia telah menelepon kemarin,selasa,dan meninggalkan nomor teleponnya, tapi tidak mendengar apapun dari seseorang.
“Saya mempuyai informasi tentang pembunuhan Bella Stefa,” katanya.
“Informasi macam apa?” tanya perempuan muda itu.
“Saya akan menyampaikan pesan anda,” kata perempuan itu sama tegasnya.
“Tolonglah saya bukan orang gila. Ini penting sekali.”
“Ya. Terima kasih.”
Ivan memutuskan untuk melanggar sumpah kerahasiaannya. Ada dua akibat yang mungkin terjadi. Pertama, Harry bisa menuntutnya atas kerugian-kerugian, tapi Ivan tidak lagi mencemaskan soal ini. Penyakit kepalanya itu akan mengatasi gugatan apapun di masa depan. Dan jika untuk alasan tertentu Harry berhasil mengalahkan penyakitnya, dia pasti diminta untuk membuktikan bahwa pelanggaraan kerahasiaan oleh Ivan sudah menimbulkan kerugian bagi dirinya. Meskipun Ivan hanya tahu sedikit tahu menganai hukum, dia merasa sulit mempercayai bahwa seorang hakim atau dewan juri di mana pun mau bersimpati terhadap penjahat sepetti Harry.
Konsekuensi kedua adalah tindakan disipliner yang dikeluarkan gereja. Namun menimbang fakta-fakta yang ada, dan terutama mengingat kecenderungan liberal dewan gerejawi, dia tidak bisa membayangkan apa pun yang lebih keras daripada tamparan di tangan.
Peduli amat, katanya dalam hati. Aku akan membuka mulut.
Dia mengetik surel kepada Eijun. Dia menggambarkan dirinya, meninggalkan semua nomor telepon yang ada, dan alamat-alamat. Dia menceritakan pertemuannya dengan laki-laki anonim yang dulu pernah tinggal di Kanto, persis pada saat Bella Stefa menghilang. Penjahat yang bebas bersyarat ini mempunyai riwayat kejahatan yang panjang, juga keji, dan pernah ditangkap dan dipenjara di Kanto. Ivan telah memverifikasi hal ini. Laki-laki itu mengaku telah melakukan p*********n dan pembunuhan terhadap Bella Stefa dan memberikan banyak detail. Mayat gadis itu dikuburkan dalam-dalam di daerah perbukitan di selatan Shibuya, di mana tempat penjahat itu tumbuh dewasa. Satu-satunya orang yang mampu menemukan mayat gadis itu adalah penjahat itu sendiri. Harap menelepon Ivan.
Satu jam berselang, Ivan meninggalkan kantornya dan mengemudi kembali ke rumah singgah Kanto. Tidak seorang pun melihat Harry. Dia berkendara ke pusat kota dan makan siang sebentar bersama Ichiro Ozawa. Usai berdebat sejenak, dan sedikit berkelakar, Ichiro mengeluarkan telepon genggamnya dan menelepon kantor Eijun. Ivan mendengarkan berkata, “Ya., halo, nama saya Ichiro Ozawa. Saya jaksa penuntut umum. Saya ingin berbicara dengan Robert Eijun,”
Robert Eijjun tidak bisa dihubungi.
“Saya memiliki informasi soal kasus Furuya Satoru, terutama identitas pembunuh yang sebenarnya.” Robert Eijun masih tidak bisa dihubungi. Icihiro kemudian memberikan nomor teleponnya, ponsel, dan kantor, serta meminta resepsionis mengunjungi situs kantor kejaksaan untuk memverifikasi kebenaran mengenai dirinya.
“Saya bukan orang gila, paham? Tolong minta Robert Eijun menghubungi saya kembali secepatnya. Terima kasih.”
Mereka menyelesaikan makan siang dan setuju untuk saling mengabari jika menerima panggilan telepon dari Kanto. Ivan mengemudi kembali ke kantornya, dia sedikit lega karena memiliki seorang teman yang berprofesi sebagai jaksa penuntut umum yang bersedia membantunya.
Selama di perjalanan, dia masih tidak menyangka bahwa hari-harinya akan menjadi sesibuk dan serumit ini. Angin menderu ribut, udara terjebak di titik beku. Dia masih yakin dengan harapan-harapan meski potensinya hanya secuil.
***
MENJELANG tengah hari, jalanan-jalanan di pusat kota Kanto sudah diblokir dan dipasangi barikade, dan lalu lintas rutin dipindahkan ke tempat lain. Lusinan bus gereja dan mobil van diparkir lapis dua di seputar gedung pengadilan, tapi tidak seorang polisi pun mengeluarkan surat tilang. Perintah mereka adalah hadir di tempat, menjaga kedamaian, dan dengan cara apa pun, tidak melakukan sesuatu yang bisa memprovokasi siapa pun. Emosi-emosi sedang memuncak, situasi tegang. Kebanyakan para pedagang menutup toko-toko mereka, dan kebanyakan orang kulit putih hilang.
Kerumunan masa itu, semua kulit hitam, semakin banyak. Ratusan pelajar dari SMA Kanto membolos dan tiba dalam gerombolan-gerombolan, semuanya beringas dan bersemangat untuk didengar. Para pekerja pabrik membawa kotak-kotak makan siang dan makan sambil duduk-duduk di seputar halaman gedung pengadilan. Para reporter mengambil beberapa foto dan sibuk mencatat. Para juru kamera dari Kanto berkumpul bersama di dekat podium di telundakan depan gedung pengadilan. Pada pukuk 12.10, Masaki, ketua kelompok, NAACP setempat, melangkah maju di belakang mikrofon, berterima kasih kepada semua orang yang hadir, dan dengan sigap menjalankan urusannya. Dia menyatakan ketidakbersalahan Furuya Satoru dan mengatakan bahwa eksekusi Furuya semata-mata adalah pembunuhan yang dilegalkan oleh hukum. Dia mengutuk kepolisian dengan kata-kata kejam, menyebut mereka “Rasis” dan “bersikeras membunuh manusia yang tidak bersalah”. Dia mengolok-olok sistem pengadilan yang mengizinkan dewan juri beranggotakan orang-orang kulit putih semuanya untuk menghakimi seorang pemuda kulit hitam yang tidak bersalah. Bukannya menahan diri, dia justru melayangkan pertanyaan ini kepada seluruh hadirin, “Menurut kalian, bagaimana mungkin persidangan yang adil dapat terselenggara sedang si jaksa penuntut berselingkuh dengan hakim?” “Dan mahkamah-mahkamah banding mengatakan itu bukan masalah?” “Hanya di Kanto!” Dia menggambarkan hukuman mati sebagai tindakan memalukan—alat pembalasan dendam klasik yang tidak mencegah terjadinya kejahatan, tidak digunakan secara adil, dan telah ditinggalkan semua negara beradab.
Hampir setiap kalimatnya diikuti gemuruh tepuk tangan dan sorak-sorai yang semakin lama semakin keras. Dia menghimbau sistem pengadilan agar menghentikan kegilaan ini. Dia mencemooh dewan pengampunan dan Pembebasan Bersyarat Kanto. Dia menyebut Gubernur sebagai seorang pengecut sebab tidak menghentikan eksekusi itu. Dia memperingatkan adanya risiko kericuhan di Kanto, dan mungkin bahkan di seluruh negara, jika Kanto bersikeras melakukan eksekusi terhadap laki-laki kulit hitam yang tidak bersalah.
Masaki sangat pintar, dia meluapkan emosi dan ketegangan. Saat situasi akhirnya mereda, dia mengubah haluan dan meminta semua hadirin agar menjaga sikap, tidak memenuhi setiap jalanan nanti malam dan besok malam. “Tidak ada gunanya kita membuat kerusuhan,” katanya. Sesudah itu, dia memperkenalkan Pendeta Jun Matsumoto, di mana keluarga Satoru telah menjadi anggota jemaatnya selama lebih dari dua puluh tahun. Pendeta Matsumoto memulai dengan sebuah pesan dari keluarga Satoru. Mereka berterima kasih atas dukungan yang diberikan. Mereka tetap teguh dalam iman dan terus berdoa memohon keajaiban. Minami Satoru berupaya sekuat tenaga untuk tetap tegar dalam menghadapi situasi ini. Dia tetap berencana menghadiri eksekusi hukuman mati itu. Serta akan tetap tinggal hingga semuanya selesai. Pendeta Matsumoto lalu meminta semua orang agar hening dan mulai mengucapkan doa panjang dan lancar, yang dimulai dengan meminta belas kasihan bagi keluarga Bella Stefa, keluarga yang sudah menderita karena meninggalnya seorang anak yang tidak bersalah. Sama halnya dengan keluarga Satoru. Dia berterima kasih kepada Tuhan yang Maha Kuasa sebab atas karunia dan janji keabadian untuk seluruh orang. Dia berterima kasih kepada Tuhan atas hukum-hukum yang telah dibuatNya, yang paling mendasar dan terpenting ialah Kesepuluh Perintah Allah, yakni yang memuat hukum “Jangan membunuh”. Dia berdoa buat umat “Kristen lainnya” di luar sana yang membaca Kitab Suci yang sama namun menggunakannya sebagai senjata untuk membunuh orang lain. “Ampuni mereka ya, Bapa, sebab mereka tidak mengetahui apa yang telah mereka lakukan.”
Masamoto telah mempersiapkan doanya untuk waktu lama, dan dia juga menyampaikan itu secara perlahan-lahan, dengan jeda yang sempurna, serta tanpa embel-embel di belakangnya. Semua hadirin bersenandung, mengayunkan tubuh dan menyahut “Aamiin” dengan penuh semangat, Masamoto terus berdoa, kelihatannya tidak ada habisnya. Sebenarnya itu lebih mirip pidato daripada doa. Dan Masamoto menikmati saat itu. Usai berdoa meminta keadilan, dia berdoa untuk kedamaian, bukan kedamaian menghindari kerusuhan, melainkan kedamaian yang masih harus ditemukan dalam masyarakat di mana para pemuda kulit hitam dijatuhi hukuman dalam jumlah besar, di mana mereka dieksekusi lebih kerap daripada ras lain, di mana kriminalitas yang dilakukan orang-orang kulit hitam dianggap lebih berat daripada kriminalitas dengan yang dilakukan oleh orang-orang kulit putih. Dia berdoa untuk kemurahan hati, pengampunan, dan kekuatan. Seperti kebanyakan rekannya, Masamoto berdoa terlalu lama dan kehilangan hadirinnya, saat mendadak dia menemukannya lagi. Dia mulai berdoa bagi Furuya Satoru, “Saudara kita yang dijatuhi hukuman,” pemuda yang dirampas dari keluarganya sembilan tahun silam dan dijebloskan ke dalam “lubang neraka” dari mana tidak seorang manusia pun bisa meloloskan diri hidup-hidup. Sembilan tahun tanpa keluarga dan teman, sembilan tahun terkurung layaknya binatang dalam sangkar. Sembilan tahu menjalani hukuman penjara karena kejahatan yang sebetulnya dilakukan oleh orang lain.
***
DARI jendela ruang perpustakaan hukum yang kecil di lantai tiga, Hakim Kojiro memperhatikan dan mendengarkan. Keramaian masa itu terlihat kondusif ketika Pendeta Masamoto mengucapkan doa-doanya, tetapi juga gelisah sehingga menakutkan hakim tersebut.
Kanto sangat jarang mengalami kerusuhan rasial selama beberapa dekade, dan hakim itu menganggap dirinya berjasa atas sebagian besar hal tersebut, namun dia hanya mengatakan itu dalam hati. Lima puluh tahun sebelumnya, saat masih seorang pengacara muda yang berjuang untuk melunasi tagihan-tagihannya, dia menerima pekerjaan sebagai wartawan paruh waktu dan menulis editorial bagi Kanto Daily News, yang saat itu merupakan surat kabar mingguan makmur yang dibaca oleh semua orang. Kini surat kabar itu hanya surat kabar harian yang hidupnya kembang-kempis, dengan jumlah pembaca lebih sedikit. Pada awal tahun 1960-an, surat kabar tersebut adalah salah satu dari segelintir surat kabar di Kanto yang menyadari realitas bahwa orang-orang kulit hitam menduduki porsi lumayan besar dalam keseluruhan populasi. Kojiro terkadang menulis beberapa cerita tentang beberapa tim olahraga kulit hitam dan riwayat orang-orang kulit hitam, dan meski ini tidak diterima dengan baik, hal tersebut juga tidak dikutuk secara eksplisit. Meskipun demikian, setiap editorialnya berhasil membuat geram orang-orang kulit putih. Dia menjelaskan dalam istilah-istilah awam. Surat kabar itu, melalui pengaruh Kojiro yang semakin membesar dan memburuknya kesehatan pemiliknya, mengambil posisi berani dan memihak pemberian setiap hak suara bagi orang-orang kulit hitam, begitu pun dengan p********n upah dan perumahan yang adil. Setiap argumennya persuasif, setiap alasannya masuk akal, dan kebanyakan mereka yang membaca opini-opininya menyadari kalau dia jauh lebih pintar dibanding mereka. Dia membeli surat kabar itu pada tahun 1966 dan memilikinya selama sepuluh tahun. Dia juga menjadi pengacara yang lihai, politisi, dan pemimpin dalam masyarakat. Banyak orang kulit putih yang tidak setuju dengan Kojiro, namun hanya sedikit yang berani menantangnya secara terbuka. Saat sekolah-sekolah pada akhirnya digabungkan, di bawah ancaman laras pistol federal, penolakan orang-orang kulit putih di Kanto tidak terlalu gencar sebab sudah bertahun-tahun mereka termakan manipulasi pintar Kojiro.
Usai terpilih menjadi hakim, dia menjual surat kabar itu untuk memangku jabatan yang lebih agung. Dari sana, dia dengan tenang namun tegas mengendalikan sistem pengadilan yang dikenal tangguh bagi mereka yang melakukan perbuatan keji, tegas bagi mereka yang membutuhkan bimbingan, dan welas asih bagi mereka yang membutuhkan kesempatan lain. Kekalahannya dari Suzu Hirose membuatnya hancur. Keputusan bersalah Furuya Satoru tidak akan terjadi jika dia yang menjadi hakim. Dia pasti langsung mengetahui penangkapan itu, tidak lama setelah kejadiannya. Dia pasti akan memeriksa pengakuan itu dan situasi yang menghasilkannya, dan dia pasti akan memanggil Murasakibara Tetsu untuk sebuah pertemuan yang tidak resmi, hanya mereka berdua di balik pintu terkunci, untuk memberitahu jaksa penuntut itu kalau kasusnya jelek. Pengakuan itu sudah sangat jelas melanggar konstitus, dan tidak boleh disampaikan kepada dewan juri. Teruslah mencari, Tetsu, sebab kau masih harus menemukan pembunuhmu.
Hakim Kojiro terus memperhatikan kerumunan massa yang padat dan ramai di seputar halaman depan gedung pengadilan itu. Tidak tampak satu pun wajah kulit putih di mana-mana, selain para reporter. Sungguh kerumunan massa kulit hitam yang marah. Semua orang kulit putih bersembunyi, dan tidak bersimpati, kotanya terpecah belah, sesuatu yang tidak pernah disaksikannya sebelum ini.
“Semoga Tuhan membantu kami,: gumamnya pada diri sendiri.