Tiga Puluh Satu

1668 Kata
KARENA tergesa-gesa ketika mempersiapkan keberangkatannya, lantas menyebabkan Ivan mengalami masalah keuangan. Saat membayar enam ratus empat puluh yen untuk pesta Harry di Kedai Ichiraku sebelumnya, dia baru sadar bahwa uang tunainya tinggal sedikit. Dia lupa sekali memperhatikan itu. Dia baru teringat lagi usai mereka berangkat dan harus membeli bensin. Mereka berhenti di sebuah pemberhentian truk di Jalan Tol pada pukul satu dini hari. Hari itu sudah masuk pada hari Kamis tanggal 8 November. Sedang Ivan mengisi bensin, dia tersadar kalau Furuya Satoru akan diikat di brankar di Nagano—Ivan sehari sebelumnya baru saja mendapatkan berita bahwa eksekusi Furuya Satoru akan dilakukan di Nagano, sebuah distrik yang mempunyai luas wilayah yang lumayan besar—tiga belas jam lagi. Dia bahkan lebih tersadar lagi bahwa orang yang seharusnya menderita menjelang jam-jam terakhir dalam hidupnya, justru sebaliknya, malah jauh lebih tenang. Hanya beberapa senti jauhnya duduk nyaman di dalam mobil. Kepala plontosnya yang pucat memantulkan sinar dari lampu-lampu neon yang bergelantungan di atas. Ketika itu mereka sedang ada di Fukui. Kanto masih beberapa kilometer jauhnya. Dia membayar dengan sebuah kartu kredit dan menhitung sisa uang tunainya yang tinggal 3.526 yen di saku depan kiri. Dia mengumpat pada dirinya sendiri sebab tidak berjaga-jaga uang cadangan yang mereka simpan di lemari dapur. Kotak rokok itu biasanya menyimpan uang tunai sekitar dua puluh satu ribu yen. Satu jam berada di Fukui bagian selatan, batas kecepatan mobilnya meningkat menjadi seratus kilometer per jam, dan Ivan yang bersama mobil tuanya itu meluncur dengan kecepatan seratus dua puluh. Harry Kazuya sejauh ini tidak bersuara. Dia terlihat lebih nyaman dengan keadaan di luar jendela. Sementara Ivan lebih suka untuk tidak mempedulikannya. Dia lebih menyukai kesunyian. Duduk bersama orang asing selama dua belas jam adalah tugas dalam situasi yang wajar. Tapi duduk bersampingan dengan manusia kejam dan aneh seperti Harry Kazuya ini akan membuat perjalanan ini terasa membosankan dan menegangkan. Tepat saat Ivan mulai menikmati suasana sunyi dan nyaman itu, dia mendadak terserang kantuk. Kelopak matanya mulai sayu, dan baru terbuka kembali ketikda dia menghentakkan kepalanya. Pandangan matanya mulai memburam, jalan setapak depan mulai diselimuti kabut. Mobil itu melenceng ke bahu jalan di kanan dan dia dengan cepat membanting setirnya ke kiri. Dia lantas mencubiti kedua pipinya. Dia mengerjapkan mata berulang kali. Jika dia sedang sendirian, mungkin dia akan menampari pipinya sendiri. Harry Kazuya tidak memperhatikan. “Gimana jika sambi mendengarkan sedikit musik?” sahut Ivan. Apa pun dilakukannya untuk membnagunkan otaknya. Harry hanya membalasnya dengan anggukan kepala singkat. “Musik apa yang kau suka?” “Ini mobilmu.” Hal itu benar. Stasin radio favoritnya adalah musik rock klasik. Dia membesarkan volume dan segera mengetuk-ngetuk roda kemudi, menghentakkan kaki kiri dan menyuarakan lirik lagu itu. Suara bising itu sangat membantu menjernihkan otaknya, namun dia masih tidak menyangka dengan betapa cepat dia hampir tertidur tadi. Tinggal sebelas jam lagi. Dia memikirkan saudara laki-lakinya dengan penerbangan solonya ke Chile. Tiga puluh tiga setengah jam nonstop. Dia bahkan tanpa tidur sebelum keberangkatan. Dia melek hampir selama enam puluh jam nonstop. Saudara laki-laki Ivan adalah seorang Pilot dan dia suka sekali bercengkerama. Dia memikirkan saudara laki-laki, saudara perempuan, dan orang tuanya, dan saat mulai mengantuk sekali lagi, dia berkata, “Berapa banyak saudara laki-laki dan perempuan yang kau miliki, Harry?” Bicaralah  padaku, Harry. Apa pun untuk membuatku terus terjaga. Kau sama sekali tidak bisa membantu mengemudi, karena kau tak punya surat izin mengemudi. Kau tidak punya asuransi. Kau tak boleh menyentuh roda kemudi ini, jadi ayolah, Harry, bantu aku tetap terjaga sebelum aku menabrak sesuatu. “Aku tidak tahu,” sahut Harry, usai kebiasaannya menggantung pertanyaan seseorang selama beberapa detik. Dan dampak dari jawaban itu sangat ampuh untuk menghalau rasa kantuk yang menyerang Ivan daripada alunan musik Bob Dylan yang sedang diputar.  “Apa maksudmu dari tidak tahu?” Sebuah cedutan kecil menyusul. Harry Kazuya saat ini sudah mengalihkan tatapan dari jendela di samping kaca depan. “Nah,” sahutnya, lalu berhenti sejenak, seperti sengaja membuat kejutan. “Tidak lama berselang usai aku lahir, ayahku meninggalkan ibuku. Aku tidak pernah melihatnya lagi. Ibuku tinggal dengan laki-laki lain, dan karena laki-laki tersebut merupakan laki-laki pertama yang pernah aku ingat, aku menganggap dia sebagai ayahku. Sedang ibuku juga memberitahuku bahwa dia adalah ayahku. Aku kemudian memanggilnya ayah. Aku mempunyai seorang kakak laki-laki dan dia memanggilnya dengan sebuatan ayah juga. Laki-laki itu sangat baik, dia tidak pernah memukulku atau kekerasan apa pun, namun dia mempunyai saudara laki-laki yang pernah menganiayaku. Saat mereka membawaku ke sidang untuk yang pertama kalinya—aku rasa waktu itu aku masih berusia empat belas tahun—dan pada saat itu aku baru saja tahu bahwa laki-laki yang selama ini aku kira ayahku ternyata bukan ayahku yang sesungguhnya. Hal itu sangat membuatku sakit hati. Aku sangat kecewa. Tidak lama kemudian laki-laki itu menghilang.” Jawaban itu serupa dengan jawaban Harry yang lain, justru menambah kebingungan daripada menjelaskan. Hal tersebut juga membuat Ivan memutar otak dengan kecepatan tinggi. Dia mendadak bangun dan melek. Dan dia bertekad untuk menguraikan orang gila ini. Apa lagi yang musti dilakukannya selama setengah hari ke depan? Mereka berdua satu mobil. Dia bisa menanyakan apa pun yang ingin ditanyakannya. “Jadi, kau mempunyai seorang kakak laki-laki.” “Ada satu lagi. Ayahku, yang sebenarnya minggat ke Tokyo dan kembali dengan membawa seorang perempuan. Mereka punya begitu banyak anak, jadi aku rasa bahwa aku punya saudara laki-laki dan perempuan setengah tiri. Lalu kerap ada desas-desus gosip yang mengatakan kalau ibuku pernah melahirkan seorang anak sebelum menikah dengan ayahku. Kau bertanya berapa banyak? Tebak saja sendiri berapa, Pendeta.” ‘Berapa banyak saudara yang berhubungan denganmu?’ “Aku tidak akan menyebutnya berhubungan, namun aku pernah menulis beberapa surat pada kakakku. Dia di penjara.” Sungguh sangat mengherankan. “Mengapa dia dipenjara?” “Untuk suatu alasan yang sama dengan orang-orang lainnya yang dipenjara. Karena n*****a dan minuman keras. Dia membutuhkan uang tunai untuk kebiasaannya yang satu itu, jadi dia menyusup ke dalam sebuah rumah, pada rumah yang salah, dan berakhir dengan menyerang seorang laki-laki.” “Apakah dia pernah membalas suratmu?” “Jarang sekali. Dia bahkan tidak pernah keluar.” “Apakah dia dianiaya juga?” “Tidak, dia lebih tua, dan pamanku membiarkannya, sejauh yang aku ketahui. Kami tidak pernah membicarakannya.” “Paman ini saudara laki-laki ayahmu itu?” “Bukan ayah betulan. Ayah fomalitas.” “Jadi dia bukan pamanmu yang sebenarnya, kan?” “Dulu aku sempat berpikir begitu. Kenapa sih kau bertanya macam-macam, Pendeta?” “Aku berusaha membunuh waktu, Harry, dan aku benar-benar berusaha agar tetap terjaga. Sejak bertemu denganmu pada hari Senin pagi, aku terpaksa harus memangkas waktu tidurku. Aku sangat kelelahan, sedang perjalanan kita sekarang masih panjang.” “Aku tidak suka ditanya-tanya.” “Nah, menurutmu apa persisnya yang akan kau dengar di Kanto? Kita memperkenalkan diri, kau menyatakan dirimu sebagai pembunuh yang sebenarnya dalam kasus ini, setelah itu kau mengatakan kalau kau benar-benar tidak suka ditanyai. Ayolah, Harry. Kau yakin dengan gelagatmu ini?” Beberapa kilometer terlampaui tanpa ada obrolan apa pun. Harry Kazuya sekali lagi memalingkan wajahnya ke kanan, padahal di luar tidak terlihat apa-apa, hanya kegelapan, sambil mengetuk-ngetuk tongkatnya dengan ujung jari. Keadaan tidak terlalu riskan, karena tidak ada tanda-tanda sakit kepala yang parah, paling tidak selama satu jam. Ivan melirik spidometer dan menyadari kalau kecepatan mobilnya hampir menyentuh seratus dua puluh, kelebihan dua puluh kemungkinan cukup untuk mendapatkan surat tilang. Dia mengurangi laju kecepatannya, dan untuk membuat otaknya terus berputar, dia membayangkan di mana seorang polisi lalu lintas menghentikan laju mobilnya, kemudian memeriksa kartu identitasnya, dilanjutkan dengan memeriksa kartu identitas Harry, setelah itu meminta bantuan bahwa ada seorang tahanan tengah melarikan diri. Dan seorang pendeta Lutheran nakal telah membantu tahanan itu melarikan diri. Setiap lampu biru berdiri di sepanjang jalan. Borgol-borgol mencengkeram. Semalaman berada di penjara, kemungkinan satu sel dengan temannya, seorang laki-laki yang bahkan sudah tidak peduli apakah harus menghabiskan waktu semalam lagi di penjara atau tidak. Apa yang akan dikatakannya nanti pada anak-anaknya yang masih belia? Dia mulai mengantuk lagi. Ada seseorang yang musti segera dihubunginya, dan tidak ada waktu yang pas untuk melakukan itu. Telepon itu dijamin akan membuat otaknya berputar pada tingkatan yang mampu membuat otaknya melupakan rasa kantuk untuk sementara waktu. Dia mengeluarkan ponselnya dari saku dan menekan nomor telepon Ichiro Ozawa. Ketika itu jam hampir mendekati pukul dua dini hari. Sudah jelas kalau Chiro pasti sedang tertidur pulas. Butuh sekitar sepuluh deringan untuk berhasil membangunkannya. “Ada apa, sih?” gerutu Chiro. “Pagi, Chiro. Tidurmu enak?” “Enak, Pendeta. Sialan, kau meneleponku hanya untuk menanyakan itu, kah?” “Jaga bahasamu, Nak. Gini, aku sedang dalam perjalanan ke Kanto bersama Harry Kazuya, seorang laki-laki sangat sopan yang pernah mengunjungi gereja kita pada hari Minggu lalu. Kau mungkin juga melihatnya. Dia berjalan dengan bantuan tongkat. Ngomong-ngomong, Harry mau membuat pengakuan di hadapan pihak yang berwenang di Kanto. Saat ini aku sedang melaju cepat ke sana untuk menghentikan sebuah eksekusi.” Suara Ichiro mendadak berubah menjernih. “Apa kau sudah kehilangan akal sehatmu, Ivan? Orang itu sekarang ada di mobilmu?” “Iya. Kita meninggalkan Fukui satu jam yang lalu. Dia sengaja meninggalkan Kanto dan dipindah ke Fukui. Setiba di rumah singgah fukui, laki-laki ini malah berkeliaran sampai ke Kedai Ichiraku. Dan alasanku meneleponmu adalah untuk meminta bantuanmu.” “Aku akan menolongmu, Ivan. Nasihat gratis. Putar mobil sialanmu itu dan kembalilah.” “Terima kasih sebelumnya. Tapi begini, Chiro, beberapa jam lagi aku butuh bantuanmu untuk menelepon ke Kanto.” “Apa kata Kiki soal ini?” “Bagus, kok, bagus. Aku mau kau menghubungi kantor polisi, kejaksaan, dan mungkin seorang pengacara pembela. Aku akan menghubungi mereka juga nanti, dan karena kau seorang jaksa, mereka mungkin akan mendengarkanmu.” “Apa sekarang kau masih berada di Fukui?” “Ya. Tidurlah lagi. Aku akan meneleponmu lagi sekitar jam enam, dan kita akan mulai menghubungi orang-orang itu satu per satu, oke?” Ivan memutus sambungan telepon, menekan tombol kotak suara dan menunggu. Sekitar sepuluh detik kemudian ponselnya berdering lagi. Ichiro menelepon balik. Mereka sudah hampir meninggalkan Fukui. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN