PERSIS pukul dua belas siang, mereka datang untuk menjemput Furuya Satoru. Bukan pada satu menit sebelumnya, atau bukan satu menit sesudahnya. Semuanya terlihat begitu cermat dan terlatih baik. Ada ketukan di pintu logam di belakangnya. Tiga ketukan keras. Ketika itu Furuya Satoru sedang mengobrol dengan Aomine, namun saat itu dia tahu kalau waktunya sudah habis, dia meminta untuk berbicara kepada ibunya. Minami Satoru sedang berdiri di belakang Aomine, bersama dengan Akame di sebelah kirinya, mereka berempat berdesakan di dalam ruangan sempit itu, semuanya menangis saat ini, tanpa berusaha sedikit pun untuk membendung air mata. Mereka telah mengamati jarum jam selama hampir empat jam, dan tidak ada lagi yang tertinggal untuk dikatakan. Aomine bertukar tempat dengan Minami Satoru, yang mengambil gagang telepon dan menempelkan telapak tangannya di Plexiglas. Furuya Satoru melakukan hal yang sama di sisi yang berlawanan. Kedua saudaranya berangkulan di belakang ibu mereka, Ketiga-tiganya saling merapatkan diri, bersentuhanm dengan Akame di tengah-tengah dan hampir pingsan.
“Aku sayang padamu, Ma,” kata Furuya. “Dan aku menyesal ini telah terjadi.”
“Aku juga sayang padamu, anakku, dan kau tidak perlu menyesal. Kau sama sekali tidak melakukan kesalahan.”
Furuya Satoru menyeka pipinya memelas dengan sebelah lengan bajunya. “Aku selalu berharap agar bisa keluar dari sini sebelum Ayah meninggal. Aku ingin dia melihatku sebagai manusia merdeka. Aku ingin agar dia tahu kalau aku tidak melakukan kesalahan.”
“Dia tahu itu dan dia meyakini itu, Furuya. Dia meyakini kalau kau memang tidak bersalah. Dia tidak pernah sedikit pun meragukanmu. Saat dia meninggal, dia tahu bahwa kau tidak bersalah.” Minami Satoru juga ikut menyeka pelipisnya dengan satu lembar tisu tipis yang dilipat-lipat. “Aku pun tidak pernah meragukanmu, Sayang. Sedikit pun.”
“Aku tidak tahu. Aku merasa kalau aku sebentar lagi akan bertemu Ayah.”
Minami Satoru mengangguk dengan sesenggukan yang masih tersisa, dia tidak sanggup menjawab. Pintu di belakang Furuya Satoru terbuka, dan seorang penjaga laki-laki yang bertubuh besar muncul dari balik pintu. Furuya Satoru menaruh gagang telepon, berdiri, kemudian menempelkan kedua telapak tangannya di Plexiglas. Keluarganya juga melakukan hal yang sama. Satu pelukan terakhir, dan dia pun pergi.
Dengan kedua tangan terborgol sekali lagi, Furuya Satoru dituntun keluar dari sayap ruangan pengunjung, melalui deretan pintu logam yang berdentang. Kemudian keluar gedung, melintasi halaman yang disilangi dengan trotoar, lalu masuk ke dalam bagian gedung tempat dirinya dibawa kembali ke selnya untuk terakhir kali. Segalanya saat ini adalah untuk yang terakhir kali, dan saat Furuya Satoru duduk di ranjangnya dan menatap kardus berisi harta bendanya, dia hampir yakin kalau kematian merupakan sesuatu yang menenangkan, tentunya akan membuat dia lega.
Keluarganya diberikan waktu beberapa menit untuk menenangkan diri. Saat Ruth menuntun mereka keluar ruangam, dia mencoba menenangkan mereka dengan merangkulnya. Dia mengatakan kalau dia turut prihatin, dan mereka berterima kasih padanya atas perlakuan baiknya. Sama saat mereka tengah berjalan melewati sebuah pintu logam, Ruth mengatakan, “Kalian mau ke Nagano?”
“Ya, pastinya.”
“Alangkah baiknya kalian berangkat saat ini juga. Gosipnya akan ada kerusuhan yang bertebaran di jalan-jalan.”
Mereka mengangguk takzim tanpa membantah, namun mereka tidak yakin harus menanggapi dengan bagaimana. Mereka berjalan melalui keamanan di depan gedung, mengambil kembali surat izin mengemudi dan dompet mereka, kemudian berjalan keluar dari Miyazaki untuk yang terakhir kali.
***
“Kerusuhan di jalanan” yang disebut oleh Ruth merupakan buah konspirasi rahasia f*******: yang diilhami oleh dua orang mahasiswa kulit hitam di Univesitas Nagano. Nama kodenya Detai, dan rencana itu sangat sederhana dan genius, sehingga menarik banyak perhatian dari sukarelawan.
Pada tahun 2004, tidak lama sesudah Furuya Sator dikirim ke penjara hukuman mati, para tahanan itu dipindahkan dari Nagano ke Miyazaki. Para tahanan itu dipindahkan, namun ruang kematian itu tidak. Selama tujuh tahun dan dua ratus eksekusi, mereka selalu menggiring para tahanan yang akan dihukum mati dari Miyazaki ke Nagano. Segala tindakan direncanakan dengan begitu teliti dan dilakukan, namun sesudah beberapa kali pemindahan, tanpa mengalami serangan, tanpa menghadapi percobaan berani untuk menyelamatkan para tahanan, tanpa gangguan apa saja intinya, para pejabat itu menyadari kalau tikda seorang pun yang mengawasi. Tidak satu orang pun yang peduli. Banyak rencana yang sebenarnya disusun dengan gemilan akhirnya terpaksa ditiadakan, dan rute yang sama digunakan untuk setiap pemindahan. Mereka meninggalkan penjara sekitar pada pukul satu siang, membelok ke kiri di 350, membelok ke kiri lagi di 190, jalanan empat lajur dengan lalu lintas padat, dan satu jam sesudah itu perjalanan pun akhirnya selesai.
Para tahanan ditempatkan di belakang sebuah van penumpang tanpa tanda, dikelilingi oleh cukup banyak otot kekar dan persenjataan untuk melindungi presiden, dan dikawal demi kemanaann, oleh sebuah van identik yang penuh dengan sekelompok penjaga bosan yang berharap mendapatkan sedikit ketegangan.
Eksekusi terakhir dilakukan pada tanggal 25 Septemberm saat Honda disuntik mati. Sepuluh mahasiswa, seluruh anggota Operasi Detai, menggunakan sebanyak lima kendaraan dan banyak telepon genggam untuk melacak gerakan kedua putih van putih itu dari Miyazaki ke Nagano. Para mahasiswa itu tidak terdeteksi. Tidak satu orang pun mencurigai mereka. Tidak satu orang pun mencari mereka. Menjelang awal November, rencana mereka telah lengkap, dan operasi mereka sensitif untuk menimbulkan masalah.