Awalnya sangat rumit memahami kalau ada gereja lain dibakar untuk membalas dendam. Bahkan Jesse tercenung. Namun semakin mereka membicarakan dan menganalisisnya, semakin mereka malah menyukainya. Kenapa tidak? Mata ganti mata. Tangan ganti tangan. Jika mereka mau perang, kami akan memberi mereka perang. Secara umum mereka sepakat kalau Kanto ibarat drum berisi serbuk mesiu, dan malam itu akan menjadi malam yang sangat panjang. Ini benar-benar mencemaskan, namun juga menegangkan. Setiap orang yang duduk di seputar kompor paling tidak mempunyai dua pistol di mobil mereka dan lebih banyak lagi di rumah.
Dua orang tidak dikenal memasuki Poush: yang satu adalah seorang pendeta dan mengenakan jaket biru tua, yang lain seorang laki-laki berkepala plontos dengan cara berjalannya yang pincang dengan bantuan tongkat berwarna putih yang sudah mulai kusam. Pendeta itu menghampiri sebuah lemari panjang dan mengeluarkan dua botol air. Sedang laki-laki yang satunya lagi menuju kamar kecil.
Ivan menaruh dua botol itu di ayas konter dan menyapa “Selamat Pagi” pada Jesse. Di belakang dia, terdapat beberapa ahli yang sedang duduk di kursi goyang dengan sibuk mengobrol satu sama lain, dan Ivan tidak memahami satu pun.
“Kau dari sekitar sini?” tanya Jesse sambil seolah-olah menghitung jumlah belanjaan Ivan.
“Tidak, hanya lalu saja,” jawab Ivan. Suaranya terdengar jelas dan tegas.
“Apakah kau ini seorang pendeta?”
“Iya, aku seorang Pendeta Lutheran,” jawab Ivan sedang hidungnya mengendus bau harum dari bawang goreng yang baru ditiriskan dari wajan panas. Rasa lapar menghantam dirinya dan membuat kedua lututnya melemas. Dia kelaparan dan kelelahan. Namun tidak ada waktu untuk makanan. Sedang Harry Kazuya merayap menghampirinya. Ivan mengulurkan sebuah botol air kepadanya dan mengatakan, “Terima kasih” pada Jesse, dan kemudian dia berbalik menuju pintu. Harry Kazuya mengangguk sedikit pada Jesse, yang mengatakan, “Semoga harimu menyenangkan.”
Begitulah Jesse berbicara kepada orang yang sudah membunuh keponakan perempuannya.
Di halaman parkir, sebuah Audi berhenti dengan mendadak di samping mobil Ivan, dan dua laki-laki—Misaki Osikawa dan Kento Himura—keluar. Dengan cepat mereka memperkenalkan diri. Misaki dan Himura memandangi Harry Kazuya dengan serius, menilai dirinya, memperkirakan dalam hati, apakah Harry Kazuya ini sungguh-sungguh seperti yang dikatakan Ivan. Robert Eijun pasti ingin tahu begitu mereka masuk kembali ke mobil dan meneleponnya.
Misaki mengatakan bahwa, “Kita sebenarnya cuma sekitar lima belas menit saja dari kantor, namun kita terpaksa mengambil jalan memutar untuk menuju pusat kota. Ada banyak kejadian soalnya. Kau buntuti saja mobilku, oke?”
“Ayo kita pergi,” jawab Ivan. Dia masih waspada untuk menyelesaikan perjalanan yang terasa tidak ada habisnya itu. Mereka melaju pergi, mobil Subaru Ivan mengekor rapat di belakang Audi. Harry Kazuya kelihatannya tenang, bahkan dia seperti cuek saja. Tongkat putih itu dikempir di antara dua kakinya. Dia mengetuk-ngetuk pegangan tongkat itu dengan jari-jari tangannya, kurang-lebih sama dengan apa yang dilakukannya selama sepuluh jam terakhir ini. Saat mereka melalui rambu yang menunjukkan garis batas wilayah Kanto, Harry Kazuya mengatakan, “Aku tidak pernah membayangkan akan melihat tempat ini lagi.”
“Apa kau mengenalnya?”
Cedutan, hening sejenak. “Bukan begitu. Aku sudah pernah melihat banyak tempat yang seperti ini, Pendeta, kota kecil dan kuno yang ada di mana-mana. Sesudah beberapa saat, mereka seperti tidak ada bedanya.”
“Apa ada yang istimewa tentang Kanto?”
“Bella Stefa. Aku membunuhnya.”
“Dan apakah dia satu-satunya orang yang kau bunuh?”
“Aku tidak bilang begitu, Pendeta.”
“Jadi ada orang yang lain?”
“Aku tidak mengatakan itu juga. Ayo kita membicarakan topik yang lain.”
“Dan kira-kira apa yang ingin kau ucapkan, Harry?”
“Gimana kau bertemu dengan istrimu?”
“Sudah terlalu sering aku katakan, Harry, jangan bawa-bawa istriku. Kau menaruh terlalu banyak pada istriku.”
“Dia sangat manis…”
***
Di meja rapat, Robert Eijun menekan tombol untuk menghidupkan pengeras suara telepon itu, dan mengatakan, “Ceritalah, Himura.”
“Kami telah bertemu dengan mereka; mereka di belakang kami saat ini, dan mereka kelihatannya seperti seorang pendeta tulen dengan pendampingnya yang aneh.”
“Coba kau gambarkan tentang Harry.”
“Seorang laki-laki kulit putih, aku yakin kau juga tidak akan menganggap dia tampan. Tingginya sekitar 180, berat badan 75 kilo, botak, dengan sebuah tato jelek di sisi leher sebelah kiri dan beberapa lagi di sepanjang kedua lengannya. Tampangnya seperti anak anjing kesakitan yang sudah menghabiskan semua hidupnya di dalam kurungan. Mata hijau licik dan tidak mengerjap. Aku ingin segera mencuci tanganku begitu usai bersalaman dengannya. Jabatannya sangat lemah, tidak ada beda ketika menggenggam kain lap.”
Robert Eijun menghela napas berat, lalu mengatakan, “Jadi mereka sudah di sini.”
“Iya, tepat sekali. Kami akan sampai di kantor beberapa menit lagi.”
“Cepatlah.” Dia mematikan pengeras suara telepon dan mengamati timnya yang tersebar di seputar meja, semua mengawasi dirinya. “Mungkin Harry Kazuya akan merasa terintimidasi jika masuk ke sini dan melihat sepuluh orang yang memelototi dirinya,” ucap Eijun. “Mari kita berpura-pura seperti tidak ada apa-apa. Begitu dia datang ke sini, aku akan mengajak dia ke ruang kerjaku dan memberikan beberapa pertanyaan pembuka.”
Berkas mereka mengenai Harry Kazuya perlahan-lahan semakin menebal. Mereka telah menemukan beberapa catatan hukumannya dari beberapa kota dan beberapa detail mengenai penahanannya, dan mereka sudah menghubungi pengacara Kanto yang sempat mewakili Harry sesudah penangkapannya di sana. Pengacara itu hanya samar-samar mengingat Harry dan mengirimkan berkasnya. Mereka telah mendapatkan sebuah afidavit dari pemilik Losmen Motor yang bernama Ines, yang sama sekali tidak mengingat siapa itu Harry Kazuya, namun berkenan mencarikan namanya dalam sebuah buku catatan tua dari tahun 2002. Mereka telah mendapatkan catatan dari gudang Monsanto tempat Harry pernah bekerja secara tidak resmi pada akhir musim gugur tahun itu.
Kazuya merapikan meja ruang rapat dan mereka semua menunggu.
***
Saat Ivan memarkir mobilnya di depan terminal bus itu dan membuka pintu, dia mendengar bunyi sirene yang nyaring dari kejauhan. Dia mengendus dan mencium bau asap. Dia menangkap bahwa ada sebuah masalah.
“Gereja Baptis Pertama terbakar kemarin malam,” ucap Misaki sedang mereka menaiki telundakan menuju peron-peron bus tua itu. “Sekarang sedang ada kebakaran di gereja orang-orang kulit hitam di sebelah sana.” Dia mengangguk ke sebelah kirinya, seolah-olah Ivan mengetahui letak gereja itu.
“Mereka membakar gereja-gereja?” tanya Ivan.
“Ya, seperi itulah…”
Harry Kazuya mengalami kesulitan ketika menaiki telundakan bertumpu pada tongkatnya. Lalu mereka memasuki lobi. Haruka berpura-pura sibuk dengan komputernya, dia sampai nyaris tidak mendongak.
“Di mana Eijun?” tanya Himura, sedang Haruka mengangguk ke belakang.
Robert Eijun menemui mereka di ruang pertemuan. Sebuah perkenalan canggung dilakukan. Harry Kazuya enggan berbicara maupun sekadar berjabat tangan. Dan mendadak dia mengatakan pada Eijun, “Aku ingat kau. Aku melihatmu di televisi sesudah anak itu ditangkap. Kau terlihat sangat marah ketika itu dan hampir meneriaki kamera.”
“Ya, begitulah aku. Sedang di mana kau ketika itu?”
“Aku di sini, Pak, menyaksikan semuanya, dan tidak bisa dipercaya mereka telah menangkap orang yang salah.”
“Itu benar, orang yang salah.” Bagi seseorang bertemperamen panas dan gampang tersinggung seperti Robert Eijun, sebuah pekerjaan berat untuk bisa bersikap tenang. Dia ingin menempeleng Harry, menyambar tongkat putihnya itu dan memukulnya habis-habisan, lalu mencemoohnya dengan serentetan kata-kata pedas. Dia ingin membunuh Harry dengan tangan telanjang. Sebaliknya, dia berpura-pura bersikap tenang dan sedikit mencoba untuk bodo amat. Sebuah kata-k********r tidak akan bisa menolong Furuya Satoru.
Mereka meninggalkan ruang pertemuan dan berjalan memasuki ruang kerja Eijun. Misaki dan Kento Himura tinggal di luar, siap melaksanakan tugas berikut. Robert Eijun mendikte Ivan dan Harry ke sebuah meja kecil di sudut dan mereka bertiga pun duduk. “Kalian mau kopi atau minuman yang lain?” tanyanya, hampir ramah. Dia memelototi Harry yang melotot balik tanpa mengerjap atau berkedut.
Ivan berdeham dan mengatakan, “Gini, Eijun, aku sungkan meminta sebenarnya, namun kami belum makan semenjak kemarin malam. Kami kelaparan.”
Eijun menelepon Kazuya dan memesan sebaki roti lapis dan air minum.
“Nama orang itu seperti nama margaku…”
“Tidak perlu berputar-putar Harry, itu sudah biasa di dunia ini, apalagi di Jepang. Langsung saja ceritakan kisahmu.”
Cedutan, hening sebentar. Harry Kazuya bergerak dan menggeliat, secara tiba-tiba tidak sanggup membalas tatapan mata Eijun. “Nah, hal pertama yang ingin aku ketahui adalah apakah ada uang hadiah yang tersedia untuk itu.”
Ivan menunduk kesal dan mengatakan, “Oh ya, Tuhan.”
“Kau tidak serius, kan?” tanya Eijun.
“Aku rasa segala sesuatunya serius saat ini, Eijun,” sahut Harry. “Bukankah begitu maumu?”
“Ini pertama kali dia menyebut soal uang hadiah,” ucap Ivan, dia benar-benar gemas.
“Aku punya keperluan,” sahut Harry. “Aku tidak memiliki uang satu yen pun dan tidak punya prospek apa pun untuk bisa memperolehnya. Hanya penasaran, itu saja.”
“Itu saja?” ulang Eijun. “Eksekusi akan dilangsungkan kurang dari enam jam lagi, dan kesempatan kita untuk bisa menghentikannya adalah sangat tipis. Kanto hampir mengeksekusi orang yang tidak berdosa dalam hal ini, sedang aku duduk di sini bersama pembunuh yang sebenarnya, yang mendadak ingin mendapat bayaran atas apa yang sudah dilakukannya.”
“Siapa bilang aku adalah pembunuh yang sebenarnya?”
“Kau sendiri,” seru Ivan. “Kau memberitahu padaku bahwa kau yang membunuh gadis itu dan kau tahu di mana mayatnya terkubur karena kau sendiri yang menguburkannya. Berhentilah untuk bermain-main, Harry.”
“Kalau ingatanku benar, ayahnya menawarkan sejumlah uang padaku saat mereka berusaha menemukannya. Sekitar sepuluh juta yen. Benar, kan, Eijun?”
“Itu sembilan tahun silam. Jika menurutmu kau berhak menerima uang hadiah itu, kau salah besar.” Setiap kata Eijun terdengar tenang sekali, namun di balik itu dia hampir meledak.
“Kenapa kau ingin uang?” tanya Ivan. “Menurut keteranganmu sendiri, kau akan mati beberapa bulan lagi. Apa kau ingat penyakit di dalam kepalamu itu?”
“Terima kasih sudah mengingatkan aku, Pendeta.”
Robert Eijun memelototi Harry dengan perasaan benci yang sangat kelihatan. Sebetulnya, Eijun ketika itu berkenan mengalihkan seluruh harta yang bisa ditemukannya sebagai imbalan untuk segepok tebal afidavit tentang hal sebenarnya yang mungkin bisa menyelamatkan kliennya. Lama tidak ada yang bersuara, sementara mereka bertiga merenungkan apa yang harus dilakukan kemudian. Harry Kazuya mengernyit dan mulai menggosok-gosok kepala plontosnya. Dia meletakkan telapak tangan di masing-masing pelipis dan menekan sekuat mungkin, seolah-olah tekanan dari dunia luar akan melegakan tekanan dari dalam.
“Kau mengalami kejang-kejang?” tanya Ivam, tapi tidak ada tanggapan.
“Dia sering kejang-kejang memang, mendadak,” jawab Ivan kepada Eijun seolah-olah sebuah penjelasan akan membanttu permasalahan. “Kafein bisa membantu.”
Robert Eijun melonjak berdiri dan meninggalkan ruangan. Di luar ruang kerjanya, dia mengatakan pada Misaki dan Himura, “b******n k*****t itu ingin uang.” Dia berjalan ke dapur, menyambar secerek kopi basi, menemukan dua gelas kertas, dan kembali ke ruang kerjanya. Dia menuang segelas untuk Harry yang menekuk tubuh rapat-rapat dengan kedua siku di lutut, menimang-nimang kepalanya sambil melenguh-lenguh. “Ini kopi.”
Hening. Tidak ada tanggapan.
Akhirnya, Harry bersuara, “Aku mual. Aku musti berbaring.”
“Di sofa saja,” kata Eijun, menunjuk ke seberang ruangan. Harry berusaha berdiri, dan dengan pertolongan Ivan berhasil menuju sofa; di situ dia membungkuskan kedua lengannya di seputar kepala dan mendekap lutut di d**a. “Bisakah kau mematikan lampu?” katanya. “Aku akan baik-baik saja sebentar lagi.”
“Kita sudah tidak punya banyak waktu untuk ini!” kata Eijun sedikit menggertak.
“Tolonglah, sebentar saja,” kata Harry dengan memelas, sedang tubuhnya menggeletar dan dia menghirup napas dengan terengah-engah. Ivan dan Eijun meninggalkan ruangan dan memasuki ruang pertemuan. Mereka langsung dikerubungi, dan Eijun memperkenalkan Ivan kepada seluruh anggota timnya. Makanan datang dan mereka pun makan dengan cepat.