JAM enam sore hari rabu itu, Ivan berjalan melewati pintu depan Rumah Singgah Kanto dengan tekad bulat untuk menyudutkan Harry Kazuya dan hendak mengajaknya berbicara dengan serius. Eksekusi itu akan dilaksanakan persis dua puluh empat jam lagi, dan Ivan bersikeras untuk melakukan apa pun yang bisa dilakukanya agar bisa menghentikan hal itu. Tugas tersebut kelihatannya sangat mustahil, tapi paling tidak dia harus berusaha. Seorang wakil pendeta akan menangani acara makan malam hari Rabu di Gereja Bethany.
Harry Kazuya sengaja mengajak bermain, atau mungkin dia sudah mati. Sepanjang hari itu, dia tidak melapor kepada petugas pembebasan bersyaratnya, dan tidak terlihat lagi di Rumah Singgah Kanto. Dia memang tidak diwajibkan untuk melakukan hal-hal ini, tapi kesan seolah dia menghilang sungguh menghawatirkan. Bagaimana pun, dia diharuskan pulang di malam hari pada jam delapan keesokan paginya, kecuali bahwa dia telah mendapat izin. Dia tidak ada di sana pada jam enam sore. Ivan menunggu satu jam, tapi tidak ada tanda-tanda hadirnya Harry Kazuya. Seorang mantan napi bernama Rudy sedang bertugas sebagai resepsionis. Dia menggumam pada Ivan, “Kau lebih baik pergi mencarinya.”
“Aku tidak tahu harus mulai dari mana,” sahut Ivan. Dia meninggalkan nomor telepon genggamnya pada Rudy dan mulai dengan rumah sakit-rumah sakit. Dia perlahan-lahan mengemudi dari rumah sakit yang satu ke yang berikutnya, untuk menghabiskan waktu, menunggu telepon masuk dari Rudy, mengawasi setiap jalan untuk mencari seorang laki-laki kulit putih bertampang aneh, berusia empat puluh tahunan, dan terpincang-pincang memakai tongkat. Tidak ada satu pun rumah sakit di pusat kota yang menerima pasien bernama Harry Kazuya. Dia tidak berkeliaran di seputar stasiun bus, dan dia juga tidak ikut minum-minum bersama para gelandangan yang menggerombol di tepi sungai. Pada jam sembilan malam, Ivan kembali ke Rumah Singgah Kanto dan duduk di sebuah kursi di hadapan meja resepsionis.
“Dia tak ada di sini,” kata Rudy.
“Selanjutnya bagaimana?” tanya Ivan
“Kalau dia muncul nanti malam, mereka akan mengomelinya habis-habisan, tapi tidak sampai memperkarakannya, kecuali dia mabuk atau teler, baru mereka akan bersaksi. Mereka akan memberimu peringatan pertama. Tapi apabila dia tidak pulang semalaman, mereka kemungkinan akan mencabut pembebasan bersyaratnya dan mengirimnya balik ke penjara. Orang-orang ini cukup serius. Apa, sih, masalah Harry?”
“Sulit untuk mengatakannya. Dia mempunyai masalah dengan kebenaran.”
“Begitulah yang aku dengar. Aku mempunyai nomor teleponmu. Jika dia muncul, aku akan segera menghubungimu.”
“Terima kasih.” Ivan menunggu selama seperempat jam, setelah itu dia mengemudi untuk pulang. Kiki tengah memasak makanan untuk makan malam keluarga besar mereka, dan mereka makan dengan menggunakan baki-baki TV di ruang keluarga. Sedang anak-anak mereka sudah tidur. Televisi itu dimatikan suaranya. Mereka sudah tidak banyak berbicara. Harry Kazuya sudah memenuhi hidup mereka hampir selama tiga hari penuh, dan mereka sangat bosan dengan dirinya.
***
Hari menjadi gulita, jelas terlihat bahwa tidak satu orang pun ingin meninggalkan stasiun kereta api. Hanya sedikit pekerjaan yang harus segera diselesaikan, dan tidak ada hal penting yang harus segera ditangani beramai-ramai pada ketika itu untuk menolong Furuya Satoru. Mahkamah Banding Kriminalitas Kanto belum menjatuhkan keputusan sehubung dengan permohonan ketidakwarasan itu. Kento Himura masih berkeliaran di pinggiran kota Saitama, berharap bisa minum-minum sekali atau dua lagi bersama Hiro Akada, namun hal itu kelihatannya tidak terlalu menjanjikan. Ini bisa jadi merupakan malam terakhir dalam kehidupan Furuya Satoru. Dan tim hukumnya memerlukan dukungan penuh satu sama lain.
Kazuya diminta untuk membeli piza dan bir, dan saat dia kembali, meja panjang di ruang pertemuan dipakai untuk sebuah makan malam. Saat Masako tiba setelah itu, permainan poker tengah dilangsungkan. Masako adalah salah seorang dari segelintir pengacara berkulit hitam di Kanto dan sekaligus merupakan teman dekat Robert Eijun. Sosoknya bundar persis ketika kau melihat bola boling, dan menurut ucapannya sendiri bobotnya mencapai dua ratus kilo, meskipun tidak jelas kenapa dia bisa merasa bangga dengan hal ini. Dia bersuara lantang, begitu lucu, dan memiliki selera besar—makanan, sake, poker, dan nahasnya, kokain. Eijun telah dua kali menyelamatkannya dari pencabutan gelar oleh asosiasi. Dia terkadang mendapatkan uang ekstra dari beberapa mobil tua, tapi uang tersebut tidak pernah bertahan lama, selalu lenyap. Bila Masako di ruangan, sebagian besar suara bising itu diciptakan olehnya. Dia-lah yang mengambil kendali permain poker, menunjuk Kazuya sebagai bandar permainan itu, menetapkan beberapa peraturan, dan melemparkan jokes kotornya yang khas, sedang semua orang meneguk bir dan menghabiskan sisa-sisa potongan piza yang mulai dingin. Para pemain ketika itu adalah Martha Tristin, di mana dia kerap memenangkan permainan itu; Ibuki, si paralegal yang satunya lagi; sedang Megumi, yang masih saja takut pada permainan itu dan bahkan lebih merasa ngeri pada Masako; dan satu lagi seorang penyelidik paruh waktu yang bernama Hyuga.
Hyuga menyimpan sepucuk pistol di saku jaketnya yang tergantung di dinding. Pun Robert Eijun menyimpan dua senapan laras pendek di ruang kerjanya, penuh dengan peluru. Misaki Osikawa yang bahkan selalu identik dengan senjata, dan dia berpatroli tanpa suara di sekitar stasiun kereta api, mengamati jendela-jendela dan halaman parkir. Biro Hukum Eijun telah menerima beberapa ancaman melalui sambungan telepon hari itu, oleh karena itu mereka semua bersiaga penuh.
Robert Eijun membawa satu kaleng bir ke ruang kerjanya, membiarkan pintunya terbuka lebar dan menelepon Mio, pasangan kumpul kebonya. Perempuan itu tengah ada di kelas yoga, tak pernah ambil pusing sama sekali dengan eksekusi besok malam. Mereka sudah hidup bersama hampir selama tiga tahun. Sedang Eijun meyakini bahwa mereka berdua bisa awet. Mio hampir tidak pernah menaruh perhatian pada apa pun yang dikerjakannya di kantor, dan ini sangat menguntungkan. Sebelum Mio, perjalanan Eijun untuk menemukan cinta sejati kerap diwarnai para perempuan yang tidak mampu menerima kenyataan kalau hidup bersama Eijun cenderung berat sebelah, semata-mata hanya demi kepentingan Eijun. Perempuan yang kini menjadi pasangannya itu saat ini mengurus dirinya sendiri, dan mereka bertemu di ranjang. Dia dua puluh tahun lebih muda, dan Eijun masih begitu tergila-gila.
Dia menghubungi seorang reporter di Nagasaki, namun tak mengatakan sesuatu yang bisa dikutip. Dia juga menghubungi Hakim Kojiro dan berterima kasih padanya sebab telah berusaha menelepon Gubernur. Keduanya saling mendoakan, keduanya mengetahui bahwa dua puluh empat jam berikut akan dikenang untuk waktu yang lama. Jam di dinding terlihat macet pada pukul sembilan malam. Eijun akan rajin mengingat bahwa saat itu pukul 21.00, saat Misaki Osikawa masuk ke ruang kerjanya dan mengatakan, “Gereja Baptis Pertama sedang terbakar.”
Kericuhan di Kanto telah dimulai.