Dua Puluh Tujuh

1362 Kata
KETIKA diwawancarai, dia mengatakan bahwa dengan menyaksikan orang-orang tersebut mati, ada perasaan tuntas tersendiri. “Aku jadi teringat dengan para korban itu,” ucapnya. “Aku selalu memikirkan mereka terus-menerus. Kasus-kasus kejahatan yang menimpa mereka benar-benar mengerikan.” Iwata Takanori jarang melewatkan kesempatan untuk bertemu dengan wartawan. Keras, kasar, dan agresif. Dia begitu populer karena propaganda-propagandanya yang anti pemerintah, kepercayaannya yang tidak pernah goyah, setiap komentar lancangnya di mana dia tidak pernah menarik kembali, apalagi meminta maaf, pun cintanya terhadap Kanto dengan riwayat kemandiriannya yang tangguh. Sebagian besar para pemilih itu juga satu persepsi dengan dirinya mengenai hukuman mati. Dengan waktu jabatan kedua dan terakhirnya telah di tangan, Iwata Takanori mulai menerawang melampaui setiap perbatasan Kanto dan mempertimbangkan panggung yang lebih luas, sesuatu yang lebih besar, dia sungguh-sungguh diperlukan. Pada hari Rabu sore itu dia bertemu dengan dua penasihatnya yang terdekat, dua teman lama dari sekolah hukum yang kerap membantunya dengan setiap keputusan krusial, dan ada beberapa yang terbilang keputusan yang kurang penting juga. Chiba Fukushi merupakan si pengacara, atau kepala penasihat, dan seperti yang tertera pada semua kop suratnya, sedang Waka Shohei adalah juru bicara atau yang sering disebut dengan pengarah komunikasi. Pada suatu hari yang tenang di Nagasaki, mereka bertiga merencanakan pertemuan di kantor Gubernur tepat pada pukul lima sore. Mereka mencopot mantel masing-masing dan meminta beberapa sekretaris itu pergi, lalu mengunci pintu, dan mereka mulai menuangkan sake ketika jam sudah menunjukkan pukul 17.30. Setelah itu barulah mereka membicarakan urusan-urusan mereka. “Kasus Furuya Satoru ini berpotensi memunculkan masalah besar besok,” kata Chiba. “Mereka, orang-orang kulit hitam itu sungguh-sungguh murka, dan mereka sudah merencanakan demo di seluruh kota besok.” “Di mana tepatnya?” kata Gubernur. “Nah, pertama-tama mereka dimungkinkan memulai gerakan di sini. Di lapangan selatan Gedung Kapitol. Kabarnya, Pendeta Isao Inaba akan terbang dengan pesawat jetnya yang luar biasa itu untuk mendampingi dan menyemangati orang-orang kulit hitam di sini.” “Luar biasa sekali,” ucap Gubernur. “Permohonan penangguhan sudah diajukan dan sudah dicatat,” tutur Chiba sembari membaca beberapa lembar dokumen. Dia meneguk sedikit sake itu yang selalu dituangkan ke dalam gelas kristal berukuran mini yang agak sedikit berat. “Kasus yang satu ini benar-benar menarik,” sahut Shohei. “Banyak sekali telepon masuk, surat-surat, dan surel.” “Siapa yang menelepon?” tanya Iwata. “Suara-suara yang biasa. Paus, Presiden Korea Selatan, Duta Besar dari Indonesia, Badan Amnesti Internasional, intinya banyak.” “Apa ada yang penting?” “Tidak ada, sih. Hanya satu yang sedikit berbeda ialah dari Hakim Kojiro, dia sudah menelepon selama dua kali dan mengirim satu surel. Dia mendukung pemberian penangguhan, menurutnya, dia mempunyai sedikit keraguan terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh dewan juri. Namun kebanyakan suara dari daerahnya sendiri justru mendukung eksekusi itu. Menurut mereka, pemuda tersebut bersalah. Wali Kota sudah menghubungi dan menyatakan keprihatinannya tentang setiap masalah yang menimpa Kanto besok malam, menurutnya mungkin akan menelepon untuk mencari bantuan.” “Pasukan Nasional kah?” tanya Iwata. “Mungkin iya.” “Bagus, sih.” Mereka bertiga sama-sama meneguk sedikit. Gubernur memandang Shohei, yang bukan hanya menjabat sebagai juru bicaranya saja, melainkan juga penasihatnya yang paling bisa dipercaya dan banyak akal. “Kau ada rencana?” Shohei selalu memiliki rencana. “Tentu saja, tapi masih aku kerjakan. Aku suka demo besok, semoga Pendeta Isao menjadi bintang dengan memanas-manasi suasana. Massa yang besar. Banyak orang kulit hitam. Akan menjadi situasi tegang yang sebenarnya. Lalu kau naik ke podium dan memasang ekspresi garang di hadapan mereka semua, berbicara tentang proses pengadilan yang tertiba dan lancar di kota ini. Wejangan-wejangan pada umumnya persis di tempat itu, setiap kamera menyorot dan orang-orang itu menyoraki dan mencemoohmu, mungkin juga ada yang akan melempar batu ke arahmu, persis pada saat itu dan di tempat itu. Kau menolak mengabulkan permohonan penangguhan. Orang-orang semakin kacau dan kerusuhan meledak. Sementara kau diam-diam menyelinap pergi. Butuh sedikit keberanian sih, tapi tak ternilai.” “Oh my god!” Kalimat itu diucapkan Iwata dengan desahan yang khas. Chiba benar-benar tertawa. Shohei melanjutkan bahwa, “Tiga jam setelah itu mereka menyuntik Furuya Satoru, tapi halaman depan dari semua surat kabar akan lebih banyak membahas kemarahan orang-orang kulit hitam. Sebagai catatan, kau mempunyai sekitar empat persen suara dari mereka, Gubernur. Hanya empat persen suara.” Sunyi senyap sejenak. Dia meneguk sedikit lagi, tapi dia belum selesai. “Aku juga suka gagasan tentang Pasukan Nasional itu. Setlahnya pada sore hari, tapi sebelum pelaksanakan eksekusi itu, adakan sebuah pertemuan dengan media pers sebentar saja dan umumkan kalau kau akan mengirimkan Pasukan Nasional buat meredakan gejolak panas di Kanto.” “Tapi apakah Pasukan Nasional itu memang benar-benar perlu?” sahut Chiba. “Kalau kita bertindak terlalu jauh, bisa-bisa itu menjadi bumerang buat kita.” “Ini juga belum dapat dipastikan. Tinggal kita monitor saja situasi besok dan kemudian memutuskan.” “Baik, kita lakukan saja itu,” jawab Gubernur dan keputusan pun akhirnya dibuat. “Apakah masih ada kemungkinan bahwa pengadilan mengeluarkan penundaan di detik-detik terakhir?” Chiba menyodorkan beberapa lembar dokumen di meja tulis Gubernur dan mengatakan, “Aku skeptis dengan itu. Para pengacara Furuya Satoru telah mengajukan permohonan banding pagi ini dengan menyatakan pemuda itu gila dan sudah tidak mampu mencerna keseriusan apa yang akan terjadi. Itu omong kosong. Aku sudah bicara pada Mikan di kantor AG satu jam sebelumnya, dan mereka tidak melihat halangan apa pun. Sejauh ini semuanya masih lampu hijau.” “Harusnya ini menyenangkan,” ucap Gubernur.   ***   BERDASARKAN usulan Minami Stefa, persekutuan doa hari Rabu malam di Gereja Baptis pertama telah dibatalkan. Ini hanya pernah terjadi tiga kali sepanjang sejarah gereja itu, pertama karena disebabkan badai es, yang kedua karena angi p****g beliung, dan ketiga disebabkan pemadaman listrik. Jacob tidak begitu tega memakai kata “dibatalkan”, jadi persekutuan doa itu seolah-olah hanya diganti namanya menjadi “doa tirakatan” dan “dialihkan” ke lokasi yang lain. Cuaca sangat mendukung. Langit jernih, dan suhu hampir dua puluh derajat. Mereka berkumpul ketika matahari tenggelam, di bawah sebuah paviliun yang telah disewa di Taman Hateruma, di pinggiran sungai merah, sedekat yang bisa mereka usahakan dengan Bella Stefa. Paviliun itu berdiri di atas sebuah tebing kecil, sedang sungai mengalir di bawahnya, dan kira-kira seratus meter dari situ ada sebuah gasung yang datang dan pergi mengikuti ketinggian air. Kartu sasana olahraga dan kartu pelajar Bella Stefa ditemukan di sana. Dalam benak mereka yang menyayanginya, tempat itu telah lama menjadi tempat peristirahatan Bella Stefa yang terakhir. Selama beberapa kunjungannya ke Hateruma, Minami Stefa kerap mengiyakan media apa pun yang bisa digugahnya di Kanto. Namun, seiring berjalannya tahun demi tahun, para reporter setempat kehilangan gairah. Minami Stefa sering berkunjung sendirian, terkadang bersama Ryusei yang selalu mengekor di belakangnya dan selalu pada hari ulang tahun anak perempuannya dan biasanya pada tanggal 4 Desember, hari saat dia mulai dinyatakan hilang. Tapi, tirakatan kali ini sungguh berbeda. Ada sesuatu yang dirayakan. Najwa menggebrak keras! Diwakili oleh anggota kru berawak dua orang yang sudah mengikuti Minami Stefa dan Ryusei yang kelelahan selama dua hari terakhir. Di sana juga telah ada dua kru berita televisi dan setengah lusin reporter media cetak. Begitu banyaknya perhatian yang tercurahkan pada acara itu, menginspirasi mereka yang datang, Jacob merasa gembira dengan kehadiran yang besar itu. Mereka menyanyikan beberapa himne saat matahari tenggelam, lalu menyalakan lilin-lilin kecil dan membagikannya. Minami Stefa duduk di deretan depan dan menangis tersengal-sengal. Jacob tidak tahan untuk segera memanfaatkan kesempatan itu untuk berkhotbah, dan para jemaatnya juga tidak terburu-buru pulang. Dia cukup lama membahas tentang keadilan dan merujuk pada setumpuk besar ayat Kitab Suci untuk mendukung perintah-perintah Tuhan agar umat-Nyta hidup sebagai warga negara yang menaati hukum. Ada beberapa doa yang diucapkan oleh diakon-diakon dan kesaksian-kesaksian dari teman-teman Bella Stefa, dan bahkan Ryusei usai disodok di rusuk, berhasil berdiri dan melontarkan beberapa kata. Jacob mengakhiri khotbahnya dengan permohonan panjang untuk belas kasihan, pengampunan, dan ketabahan. Dia meminta Tuhan untuk menemani Minami Stefa, Ryusei, dan keluarga mereka pada perjalanan terakhir ketika mereka menyaksikan eksekusi. Mereka meninggalkan paviliun dan bergerak dalam prosesi serius menuju altar sekadarnya yang didirikan di pinggiran sungai. Mereka meletakkan beberapa bunga di kaki sebuah salib putih. Beberapa orang berlutut dan berdoa lagi. Semua mata dari orang-orang itu berwarna merah. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN