Di televisi, semua acara bincang-bincang hari Minggu pagi menemukan tempat untuk cerita tersebut, walaupun kampanye kepresidenan masih menjadi topik utama. Di jaringan televisi kabel, Furuya Satoru telah menjadi cerita utama sejak pertemuan pers Eijun dua puluh empat jam sebelumnya, dan belum ada tanda-tanda mundur menjadi nomor dua. Setidaknya, satu di antara subplot-subplot itu dianggap cukup penting untuk memiliki judul sendiri: Pemburuan Harry Kazuya dan ditayangkan setiap tiga puluh menit, Di Internet, cerita itu dengan cepat menyebar luas, menunjukkan lima kali penjelajahan lebih banyak ketimbang hal-hal lainnya. Para blogger yang anti hukuman mati mengoceh panjang lebar dengan kegeraman yang tidak terkendali.
Meskipun tragis, cerita itu adalah hadiah teramat besar bagi mereka yang ada di sayap kiri. Di sayap kanan, seperti bisa diperkirakan, keadaannya tenang-tenang saja. Mereka yang mendukung hukuman mati kemungkinan besar tidak akan berubah, tidak dalam waktu semalam, tapi kelihatannya ada perasaan umum bahwa ketika itu bukan saat yang baik untuk mengatakan sesuatu. Para pembawa berita di jaringan kabel dan radio A.M pihak kanan yang fanatic semata-mata tidak mengiraukan cerita itu.
Tujuh Puluh Dua
Di Kanto, pada hari Minggu itu masih merupakan hari untuk orang beribadah. Di Gereja, kerumunan orang yang jauh lebih besar daripada biasanya berkumpul untuk kebaktian jam delapan pagi, diikuti dengan sekolah hari Minggu, doa sarapan kaum laki-laki, latihan koor, pelajaran Kitab Suci, kopi, dan donat, dan akhirnya kebaktian itu sendiri, yang akan berlangsung lebih lama dari enam puluh menit. Beberapa hadir di sana dengan sebuah harapan untuk dapat melihat salah seorang keluarga Satoru, terutama Minami Satoru, dan mungkin dapat juga menyampaikan sepatah atau beberapa kata belasungkawa. Tapi keluarga Satoru memerlukan istirahat dan tinggal di rumah. Beberapa hadir di sana karena mereka ingin mengobrol, mendengarkan gosip, dan memberikan dukungan atau menerimanya.
Apapun motifnya, ruangan gereja tumpah ruah saat Pendeta di gereja tersebut melangkah ke podium dan dengan hangat menyambut semua yang hadir di dalamnya. Tak perlu banyak menyita waktu untuk sampai pada topik mengenai Furuya Satoru. Pendeta tersebut seharusnya bisa saja memprovokasi semua jemaatnyadengan mudah, melempar bensin ke dalam api, memukul semua sasaran yang jelas tampak terbuka, namun dia tak berkeinginan untuk melakukannya. Dia membicarakan soal Minami Satoru dan ketegarannya di bawah beban berat yang ada di pundaknya, penderitaannya saat menyaksikan anak laki-laki kesayangannya itu mati, seluruh kekuatan yang dia punya, termasuk unsur terpenting dalam dirinya—cinta kepada anak-anaknya. Dia membciarakan dorongan untuk sebuah pembalasan dendam, dan bagaimana Yeus memberikan pipi yang satunya. Dia berdoa untuk sebuah kesabaran dan toleransi, pun kearifan bagi semua orang baik untuk menghadapi apa yang sudah terjadi. Dia membicarakan seorang Marthin Luther King dan keberaniannya dalam membuat semacam perubahan dengan cara mengutuk tindak kekerasan. Telah menjadi sifat alami manusia untuk menyerang balik, tapi serangan kedua akan mengarah pada yang ketiga, yang keempat, dan seterusnya. Dia berterima kasih pada semua jemaatnya karena berkenan untuk menurunkan tangan mereka dan meninggalkan setiap jalanan.
Oleh karena itu, keadaan di malam itu akhirnya menjadi sangat tenang di Kanto. Pendeta itu lantas kembali mengingatkan para jemaatnya kalau nama Furuya Satoru saat ini terkenal, dan menjadi simbol yang akan menciptakan perubahan baru. “Janganlah kita mencemarinya dengan lebih banyak pertumpahan darah, lebih banyak kekerasan.”
Sesudah pemanasan selama tiga puluh menit, para jemaat tersebut kemudian menyebar ke setiap sudut gereja untuk melanjutkan setap aktivitas hari Minggu pagi seperti biasanya.
Mungkin sekitar setengah kilo meter jaraknya, para anggota Gereja Bethany mulai berdatangan untuk sebuah pengalaman iman yang unik. Puing-puing gereja mereka masih digarisi pita kuning polisi, masih menjadi tempat kejadian perkara karena penyelidikan aktif masih berlangsung. Di halaman parkir, tenda putih besar telah didirikan. Di bawahnya berderet kursi lipat dan meja-meja penuh makanan. Mereka yang datang, berpakaian kasual dan suasana waktu itu pada umumnya terlihat riang. Sesudah sarapan yangcepat, mereka menyanyikan himne-himne, lagu-lagu gereja lama dengan irama dan kata-kata yang telah mereka hapalkan. Kepala daikon membicarakan mengenai kebakaran itu dan lebih penting lagi, mengenai gereja baru yang akan mereka bangun. Mereka memiliki asuransi, mereka punya iman, mereka akan meminjam, jika diperlukan, namun sebuah gereja baru yang indah akan berdiri di atas puing-puing itu, semuanya demi kemuliaan Tuhan.
Minami Stefa tidak turut datang. Dia bahkan belum keluar rumah. Terus terang, atas semua hiruk-pikuk yang selama ini dia rasakan, dia merasa tak lagi dirindukan. Teman-temannya merasakan kesedihan yang dia rasakan. Teman-temannya merasakan kesedihannya, saat ini sesudah anak perempuannya ditemukan, namun dengan Minami Stefa, kesedihan itu telah berlangsung terus selama sembilan tahun lamanya. Teman-temannya mau tidak mau teringat dengan tirakatan yang dijalani di Sungai Merah, sesi-sesi doa marathon, serbuan pihak pers yang tidak kenal lelah, kedukaan menggebu sebagai korban-korban, semuanya demi menuntut pembalasan dendam dari sosok ‘monster’ yang bernama Furuya Satoru. Saat ini, sesudah mereka mengeksekusi monster yang salah, dan Minami Stefa malah menyaksikan kematiannya dengan perasaan bahagia, hanya segelintir dari teman-teman gerejanya yang mau bertemu dengannya. Beruntungnya, Minami Stefa tidak ingin bertemu dengan mereka.
Beberapa pendukung masih mengalami kegalauan yang teramat besar. Mereka telah menyaksikan gereja mereka dibakar, ditambah derita salah satu penduduk yang tidak bersalah telah dieksekusi mati. Ada sebuah dosa di sana, di suatu tempat. Mereka memeluk Baptis secara bergantian, aliran yang dikenal karena cara cara kreatifnya dalam menemukan versi-versi baru dosa, dan mereka memerlukan pengampunan. Mereka membagi hal ini dengan para jemaat yang lain. Mereka menguraikan semua jiwanya, mengakui bahwa mereka bersalah dan meminta mereka untuk mendoakannya. Mereka semua terlihat sangat terpukul dan sungguh rendah diri.
Beberapa pengaturan terkait pemakaman Bella Stefa masih belum lengkap. Jacob menjelaskan kalau dia telah bicara dengan Minami Stefa melalui telepn—Minami Stefa enggan menerima tamu—dan situs Web gereja akan memasang setiap detailnya sesudah keluarga tersebut membuat keputusan. Bella Stefa masih di Shibuya, dan pihak yang berwenang di sana masih belum bisa mengatakan kapan mereka akan membebaskannya.
Tenda itu diawasi dengan sangat ketat. Di seberang jalan, di lahan yang bukan milik gereja, kurang lebih sekitar dua lusim reporter berkeliaran di sana, kebanyakan membawa kamera. Jika bukan karena kehadiran dari beberapa polisi yang lumayan geram, para reporter itu sudah pasti akan ikut masuk ke dalam tenda, mereka setiap kata dan merepotkan semua orang
Kanto selama ini beum pernah lebih tercerai-berai seperti pada hari Minggu pagi itu, tapi bahkan pada saat-saat gelap tersebut masih ada yang berani mencoba-coba. Jumlah reporter dan kamera setiap hari kian bertambah sejak hari Kamis lalu, dan semua orang di kota merasa seperti tersekap. Mereka yang berjalan kaki di setiap jalanan tidak mau lagi bicara pada reporter. Para pejabat pemerintah kota tidak memiliki apa-apa selain ‘Tak ada komentar’. Tidak sepatah kata pun yang dapat dibujuk keluar dari gedung pengadilan. Dan di tempat tempat tertentu, para polisi meningkatkan kehadiran mereka dan mempertajam sikap. Setiap reporter yang berupaya untuk mendekati rumah keluarga Satoru sudah pasti akan ditangani secara kasar. Rumah pemakaman tempat Furuya beristirahat benar-benar tidak bisa dijangkau. Rumah Minami Stefa juga dijaga ketat oleh para sepupu dan teman-teman, namun para polisi juga tidak jauh dari situ, hanya menunggu seorang badut berkamera yang mengusik. Robert Eijun dapat emnjaga dirinya sendiri, dan dia melakukannya dengan mantap, namun rumah dan kantornya tetap dipatroli selama setiap jam. Jadi pada hari Minggu itu, umat Kristen yang beribadah Bethany mampu melakukannya tanpa merasa terganggu sedikit pun. Departemen Kepolisian Kanto memastikan hal itu berjalan aman.