Penjara di Nagano, yang dinamai Unit Dinding, merupakan penjara tertua. Penjara itu dibangun dengan model kuno, dengan dinding luar berbata tinggi dan tebal, sehingga dijuluki demikian. Dalam sejarahnya, dia pernah mengurung para tahanan dan para pembunuh terkenal. Bilik kematiannya pernah dipakai untuk mengeksekusi lebih banyak pria dan perempuan daripada prefektur lain. Unit Dinding bangga dengan sejarah mengerikannya itu. Satu blok ruang tahanan di sana diabadikan untuk nostalgia. Setiap tur bisa diadakan.
Eijun sudah pernah ke sana selama dua kali, selalu tergesa-gesa, terbebani, dan tidak tertarik dengan sejarah Unit Dinding. Saat dia dan Ivan masuk dari pintu depan, mereka disambut oleh Moris, yang tersenyum. “Halo, Eijun,” sapanya.
“Halo, Sipir,” balas Eijun dengan muram, sembari menyambar dompetnya. “Ini penasihat spiritual Furuya, Pendeta Ivan Stefanus.” Sipir itu berjabat tangan dengan hati-hati. “Tidak ada yang memberitahu kalau Furuya Satoru memiliki penasihat spiritual.”
“Nah, saat ini dia punya.”
“Oke. Tunjukkan identitas kalian.”
Mereka mengulurkan surat izin mengemudi masing-masing pada Moris, dan dia mendistribusikannya pada seorang penjaga di belakang konter. “Ikuti aku,” katanya.
Moris telah sebelas tahun menjadi sipir di Unit Dinding, dan setiap eksekusi ialah miliknya. Itu adalah tugas yang ditanggungnya, namun tidak dimintanya; hanya bagian dari pekerjaan. Dia dikenal atas sikapnya yang dingin dan profesional. Semua gerakan pas, semua dijalankan tanpa variasi. Prefektur ini begitu efisien dengan pekerjaan kematiannya, sehingga prefektur lain mengirimkan para pejabat penjara mereka untuk konsultasi. Moris dapat menujukkan secara tepat kepada mereka, bagaimana hal itu musti dilakukan.
Dia sudah bertanya pada 238 laki-laki dan 3 perempuan, apakah mereka memiliki pesan terakhir. Lima belas menit berselang, dia mengumumkan kematian mereka semua.
“Bagaimana dengan setiap banding itu?” tanyanya, satu langkah di depan Eijun, dua di depan Ivan, yang masih terbengong. Mereka tengah menyusuri selasar, dinding-dindingnya dihiasi foto hitam-putih para mantan sipir dan gubernur yang telah mati.
“Tidak begitu bagus,” sahut Eijun. “Dua lagi masih menggantung, namun tidak ada lagi.”
“Jadi, menurutmu kita akan tetap jalan pukul enam nanti?”
“Aku tidak tahu,” jawab Eijun, tidak bersedia menjawab lebih dari itu.
“Jalan pukul enam,” sahut Ivan pada dirinya sendiri. Seolah-olah mereka mau mengejar pesawat atau menunggu peresmian.
Mereka berhenti di depan sebuah pintu dan Moris melambaikan kartunya. Pintu itu membuka dan mereka melangkah masuk, berjaln sekitar enam meter, lalu memasuki rumah kematian. Jantung Ivan berdegup kencang, dan kepalanya pun menjadi begitu pusinh hingga dia butuh duduk. Di dalam, dia melihat jeruji berderet jeruji dalam satu blok ruang tahanan yang suram pencahayaannya. Ada penjaga di situ, dua laki-laki dengan setelan buruk, si sipir, semuanya memandang ke dalam sel penahanan itu.
“Furuya, pengacaramu ada di sini,” Moris mengumumkan seolah-olah menyampaikan hadiah. Furuya Satoru berdiri dan tersenyum. Besi berdentangan, pintu itu menggeser dan membuka. Furuya maju satu langkah. Eijun menyambarnya, mendekapnya, membisikkan sesuatu di telinganya. Furuya Satoru meremas pengacaranya, sentuhan antar manusia yang sebenarnya dan yang pertama kali dalam waktu hampir sepuluh tahun. Mereka berdua menangis saat melepaskan rangkulan.
Di samping sel penahanan itu ada sel kunjungan, sebuah tempat yang sama persis selain untuk sebuah dinding kaca di balik jeruji itu, sehingga para pengacara bisa bertemu dengan klien mereka untuk terakhir kali secara pribadi. Peraturan yang ada mengizinkan waktu berkunjung selama satu jam. Kebanyakan para tahanan yang dihukum mati menyisihkan beberapa menit untuk doa terakhir bersama pendeta penjara. Peraturan menyatakan kalau jam berkunjung berlangsung dari pukul empat sore hingga pukul lima sore, dan membiarkan si tahanan sendirian hingga tiba waktunya. Sipir Moris, meski keral patuh terhadap peraturan, tahu kapan dia bisa membengkokkannya. Dia pun tahu kalau Furuya Satoru ialah tahanan yang teladan, tidak sama dengan kebanyakan mereka, dan itu besar artinya dalam pekerjaannya.
Moris mengetuk jam tangannya dan mengatakan, “Saat ini pukul 16.45, Eijun, kau memiliki waktu enam puluh menit.”
“Terima kasih.”
Furuya memasuki sel kunjungan dan duduk di tepi ranjang. Eijun mengikutinya dan duduk di kursi bundar. Seorang panjaga menutup pintu kaca itu, lalu mengggeser jeruji di tempatnya.
Mereka sendirian, lutut-lutut saling bersentuhan; Eijun meletakkan satu tangannya di pundak Furuya dan berupaya untuk tampil tenang. Dia telah galau sedari awal, apakah dia harus menyebut soal Harry Kazuya. Di sisi lain, Furuya kemungkinan telah menerima nasibnya, dan dengan waktu satu jam yang tersisa, siap untuk menghadapi apa saja yang terjadi. Dia sangat jelas terlihat damai. Untuk apa membuatnya bingung dengan kisah baru yang heboh? Di sisi lain, Furuya kemungkinan menghargai diberitahu tentang hal yang sebenarnya. Namanya akan segera dibersihkan, meski terjadi sesudah kematiannya. Namun sebetulnya hal yang sebenarnya itu masih jauh dari kepastian, jadi Eijun memutuskan untuk tidak menyebut soal Harry.
“Terima kasih sudah ke sini, Eijun,” bisik Furuya.
“Aku telah berjanji akan ada di sini hingga detik terakhir. Aku minta maaf aku tidak bisa menghentikan ini, Furuya, aku benar-benar menyesal.”
“Ayolah, Eijun, kau telah melakukan semampumu. Kau masih berjuang, kan?”
“Oh, ya. Kita masih mempunyai beberapa banding terakhir di luar sana, jadi masih ada kesempatan.”
“Berapa banyak kesempatan, Eijun?”
“Intinya kesempatan. Hiro Akada telah mengaku kalau dia berbohong di persidangan. Dia mabuk kemarin malam di sebuah klub telanjang dan mengakui semua perbuatannya. Kami diam-diam merekam hal itu, kemudian kami sudah mengajukan petisi pagi ini. Pengadilan menolaknya. Lalu sekitar jam setengah empat sore ini, Hiro menghubungi kami dan mengatakan kalau dia mau mengakui semuanya.”
Satu-satunya reaksi Furuya ialah menggelengkan kepalanya pelan-pelan karena tidak percaya.
“Kami tengah berupaya mengajukan petisi lain, yang meliputi pernyataan tersumpah Hiro Akada, dan itu berarti kita memiliki kesempatan.”
Mereka duduk meringkuk, kepala nyaris bersentuhan, berbicara sambil berbisik-bisik. Begitu banyak yang musti dikatakan, pun begitu sedikit. Eijun merasa getir terhadap terhadap sistem, marah hingga mau membuat kekerasan, terbebani oleh kegagalannya, dalam membela Furuya, namun untuk sebagian besarm pada ketika itu, dia hanya sedih.
Bagi Furuya Satoru, kunjungan singkatnya ke sel penahanan itu membingungkan. Di depan, tidak sampai sembilan meter jauhnya, adalah pintu menuju kematian, pintu yang menurutnya lebih baik tidak pernah dibuka. Di belakangnya ialah penjara hukuman mati dan pengucilan dalam sel sempit yang tidak pernah ingin dilihatnya lagi. Dia berpikir dirinya siap menghadapi pintu itu, tapi nyatanya tidak. Namun dia pun tidak ingin melihat Miyazaki lagi untuk selamanya.
“Jangan menyalahkan dirimu sendiri, Eijun. Aku akan baik-baik saja.”
Ivan, dengan izin, melangkah keluar bangunan dan berupaya bernapas. Salju turun di Fukui hari Senin pagi itu; saat ini rasanya seperti dua puluh tujuh derajat di Nagano. Dia menyandar di sebuah pagar dan menatap kawat berduri di atasnya.
Dia menelepon Kiki dan memberitahu padanya sedang di mana dirinya ketika itu, dan apa yang sedang dilakukannya, serta apa yang ada dalam pikirannya. Kiki kedengarannya sama tercengangnya seperti dirinya.