Enam Puluh Lima

2494 Kata
Robert Eijun dan tim kecilnya berdiri di pinggiran dan menonton sirkus itu hampir selama dua jam. Tidak lama sesudah Serif itu datang dan melihat bahwa memang benar di sana terdapat sebuah makam, Gunung Takao langsung menarik setiap polisi dalam radius sembilan puluh kilo meter. Para deputi lokal, para polisi setempat, petugas pemeriksa mayat di daerah itu, para penyelidik dan Patroli Jalan Raya Shibuya dan akhirnya juga seorang ahli tempat kejadian perkara. Setiap stasiun radio menguak, orang-orang berteriak, sebuah helikopter menderu ribut di atas kepala. Saat tersiar berita kalau Harry telah melarikan diri, para polisi mengutuk namanya, seolah-olah mereka telah mengenalnya dari awal. Eijun mencoba menghubungi Ivan dan menyampaikan berita terbaru itu. Ivan menjelaskan apa yang terjadi di rumah sakit itu. Dia tidak bisa membayangkan bahwa Harry berhasil melarikan diri jauh-jauh dengan kondisi fisik yang seperti itu. Mereka sepakat kalau dia akan segera tertangkap. Menjelang pukul dua siang, Eijun mulai jemu dengan tempat itu. Dia telah merencanakan kisahnya dan menjawab berbagai pertanyaan dari para penyelidik, tidak ada lagi yang tersisa untuk dikerjakan. Mereka telah menemukan Bella Stefa, dan mereka siap kembali ke Kanto dan menghadapi ribuan masalah. Enishi telah memperoleh cukup banyak bahan untuk membuat misteri, meski dia harus menyimpannya lebih dulu selama beberapa jam. Eijun memberitahu Serif kalau mereka akan pergi. Iring-iringan itu, minus Subara Ivan, bergerak di antara kendaraan yang lalu lalang hingga akhirnya kembali ke jalan raya dan mengarah ke selatan. Kazuya mengirim lusinan foto ke kantor , juga beberapa video. Sebuah presentasi sedang dipersiapkan. “Bisakah kita bicara sebentar?” tanya Martha Tristin sesudah beberapa menit mereka ada di jalanan. “Tidak,” ketus Eijun. “Kau sudah bicara kepada para polisi, setelah itu apa?” “Mereka akan menyimpan jasad itu di kotak peralatan dan memindahkan semuanya ke sebuah laboratorium kriminal di Shibuya. Mereka akan mengerjakan setiap tugas mereka dan kita akan segera mengetahui hasilnya.” “Apa yang kiranya akan mereka cari?” “Pertama, mereka akan berupaya mengidentifikasi mayat gadis itu dengan menggunakan catatan gigi. Itu seharusnya mudah, mungkin cuma butuh waktu beberapa jam. Kita mungkin akan mendapat kabarnya nanti malam.” “Mereka memiliki catatan gigi Bella Stefa?” “Aku telah memberi mereka satu set. Sebelum persidangan Furuya, pihak penuntut memberikan beberapa kotak yang berisi penemuan pada kami sebelum pemilihan anggota dewan juri. Dan seperti biasa, pihak penuntut kacau balau dan di antara berkas-berkas itu terdapat satu set foto ronsen gigi dari gadis itu. Beberapa set telah dibagikan pada hari-hari awal pencarian, dan Tetsu menyimpannya satu. Dia secara tidak sengaja memberikannya pada kami. Bukan suatu hal yang besar, karena catatan gigi gadis itu tidak pernah menjadi permasalahan di persidangan. Seperti yang sama-sama kita tahu, alasannya karena tidak ada mayat. Satu tahun setelah itu aku mengirimkan berkas itu kembali pada Tetsu, namun sebelumnya aku membuat satu salinan untuk diriku sendiri. Siapa tahu aku membutuhkannya suatu hari nanti? “Apa dia tahu kau menyimpan sebuah salinan?” “Aku tidak ingat, namun aku meragukannya. Itu bukan hal besar.” “Jadi tidak ada pelanggaran hak pribadi di sini?” “Tentu saja tidak. Hak pribadi siapa yang dilanggar? Bella?” Tristin menulis beberapa catatan sementara alat perekamnya berputar. Eijun memejamkan mata dan berusaha untuk tidak mengernyitkan dahi. “Apa lagi yang akan mereka cari?” tanya Tristin. Eijun mengerutkan dahi, namun tetap tidak membuka matanya. “Penyebab kematian dalam kasus pencekikan mustahil untuk diketahui sesudah sembilan tahun. Mereka akan mencari bukti DNA, mungkin darah kering atau rambut. Tidak ada yang lain—s****a, kulit, air liur, kotoran telinga, keringat—semua itu tidak akan bertahan selama ini dalam mayat yang membusuk.”s “Apakah DNA penting? Maksudku, toh kita tahu siapa yang membunuhnya.” “Kita memang tahu, namun aku lebih suka mempunyai bukti DNA. Jika kita memilikinya, maka ini aan menjadi kasus pertama dalam sejarah di mana kita tahu berdasarkan bukti DNA kalau orang yang salah telah dieksekusi. Ada sekitar kurang lebih satu lusin kasus di mana kami memiliki kecurigaan besar kalau pemerintah sudah membunuh orang yang salah, namun tidak satu pun yang mempunyai bukti biologis yang jelas. Kau mau minum? Aku mau.” “Tidak.” “Minum, Kazuya?” “Boleh. Aku mau bir.” “Misaki?” “Menyetir, Bos.” “Cuma bercanda…” Eijun mengeluarkan dua buah bir dari lemari pendingin dan mengulurkan satu pada Kazuya. Sesudah menikmati birnya, Eijun memejamkan matanya lagi. “Apa yang kau pikirkan?” tanya Tristin. “Harry, Harry Kazuya. Kita sudah sedemikian dekat, dan jika dia memberikan kita waktu, dua puluh empat jam saja, kita pasti dapat menyelamatkan Furuya. Saat ini kita terpaksa harus berurusan dengan dampak-dampaknya.” “Apa yang terjadi dengan Harry?” “Mereka akan mendakwanya dengan pembunuhan di Shibuya. Jika dia hidup cukup lama, mereka akan mengadilinya.” “Apakah dia akan diadili di Kanto?” “Tentu tidak. Mereka tidak akan pernah mengakui kalau mereka sudah membunuh orang yang salah. Tetsu, Bonjamin, Hirose, dewan juri, hakim, mahkamah banding, Gubernur—tidak satu pun dari mereka yang bertanggung jawab atas parodi ini akan pernah mengaku bersalah. Lihat saja gaya mereka. Lihat cara mereka menuding. Mereka mungkin tidak akan menyangkal kesalahan itu, namun sudah dipastikan mereka tidak akan pernah mengaku. Aku rasa mereka akan diam saja, menundukkan kepala, sambil menunggu badai berlalu.” “Apa mereka boleh begitu?” Eijun meneguk birnya lagi. Dia tersenyum memandangi botolnya dan menjilat bibir. “Belum pernah ada polisi yang digugat karena dakwaannya salah. Bonjamin sudah semestinya dipenjara. Tetsu juga. Secara langsung mereka yang harus bertanggung jawab atas ketetapan bersalah yang dijatuhkan pada Furuya, namun Tetsu mengendalikan para dewan juri. Dia bertanggung jawab atas sistem. Jadi, gugatan pidana terlihat tidak mungkin, kecuali, tentu saja, aku bisa meyakinkan Departemen Hukum untuk melakukan penyelidikan. Aku jelas akan berusaha untuk itu. Dan kita masih memiliki pengadilan perdata.” “Gugatan hukum?” “Oh, ya, sangat banyak. Aku akan menggugat semua orang. Aku benar-benar tidak sabar.” “Aku pikir kau akan tergesa pindah ke Okinawa.” “Aku mungkin harus menunda rencana itu. Tugasku masih belum selesai di sini.”   ***   Dewan Sekolah Negeri Kanto bertemu dalam sebuah sesi darurat hari Jumat sore jam dua. Satu hal yang diagendakan ialah mengenai pertandingan futbol. Teiko dijadwalkan datang pukul lima sore untuk pertandingan awal pada jam setengah delapan malam. Para pejabat sekolah dan para pelatih di Teiko mengkhawatirkan keselamatan para pemain mereka, pun para penonton, dan alasan-alasan mereka pas. Kerusuhan di Kanto saat ini secara rutin disebut sebagai “kerusuhan antar ras”, ilustrasi sensasional yang tidak akurat namun gampang diingat. Ancaman melalui telepon datang secara teratur ke kantor Departemen Kepolisian Kanto dan sekolah. Jika mereka masih tetap menyelenggarakan pertandingan, maka sudah dipastikan akan timbul kerusuhan, sangat banyak. Kepala polisi, Saito Hajime, memohon pada dewan sekolah untuk membatalkan pertandingan itu, atau terpaksa harus menundanya. Lima ribu penonton, hampir semuanya kulit putih, akan menjadi sasaran yang terlalu menarik bagi mereka yang ingin membuat masalah. Dan yang sama meresahkannya ialah prospek bahwa setiap rumah para penonton itu akan kosong dan tidak terlindungi selama pertandingan berlangsung. Si pelatih futbol mengaku kalau dia tidak benar-benar ingin bertanding. Anak-anak itu tidak bisa fokus, belum lagi kenyataan kalau para pemain terbaiknya, kedua puluh delapan mereka yang berkulit hitam itu telah memboikot. Bintang tailback-nya, Glover, masih ada di penjara. Kedua regu itu memiliki enam kemenangan dan dua kekalahan, dan berhak ikut dalam pertandingan final. Pelatih itu tahu dia tidak mempunyai kesempatan dengan regu yang semuanya kulit putih. Namun batal bertanding artinya kekalahan, dan ini membuatnya bingung, begitu pun semua orang di dalam ruangan. Kepala Sekolah mengemukakan tentang kotak pers yang dibakar, ketegangan selama dua hari terakhir, setiap pelajaran dibatalkan, dan ancaman telepon yang diterima kantornya hampir sepanjang hari. Dia kelelahan, gugup dan sungguh-sungguh memohon kepada dewan untuk membatalkan pertandingan. Seorang pejabat berwenang dari Pasukan Nasional dengan enggan menghadiri pertemuan itu. Menurut perkiraannya, mereka dapat mengamankan area stadion dan melangsungkan pertandingan tanpa insiden. Namun dia juga sama prihatinnya seperti si kepala sekolah mengenai apa yang mungkin terjadi di wilayah kota yang lain selama tiga jam itu. Saat didesak, dua mengakui kalau strategi teraman ialah membatalkan pertandingan. Semua anggota dewan merasa gugup, resah, dan membagikan catatn. Selama ini mereka hanya perlu berurusan dengan masalah anggaran, kurikulum, kedisiplinan, dan lusinan hal penting yang lain. Tidak pernah mereka dihadapkan dengan hal seheboh membatalkan pertandingan futbol sekolaj. Mereka terpilih setiap empat tahun sekali, dan prospek untuk mengasingkan para pemilih tersebut terasa sangat berat. Jika mereka memutuskan untuk membatalkan pertandingan dan Kanto terpaksa mengaku kalah, mereka akan dianggap memihak para pemboikot dan pencetus kerusuhan. Jika mereka memutuskan untuk bertanding dan orang-orang menjadi terluka dalam sebuah insiden pihak lawan pasti akan menyalahkan mereka. Sebuah kompromi dilemparkan, ditangkap, dan dengan cepat disukai. Serangkaian telepon dibuat, dan kompromi itu menjadi kenyataan. Pertandingan itu tidak akan dilangsungkan nanti malam di Kanto; sebagai gantinya, pertandingan itu akan dilangsungkan keesokan hari di sebuah tempat yang tidak disebutkan; di kota terdekat. Teiko setuju. Pelatih mereka tahu tentang pemboikotan tersebut dan mencium bau darah. Lokasi di tempat yang netral itu akan dirahasiakan hingga dua jam sebelum pertandingan dimulai. Kedua regu akan berkendara selama satu jam, memainkan pertandingan tanpa kehadiran penonton dan pertunjukan akan terus berlangsung. Kompromi itu menyenangkan hati semua orang kecuali si kepala pelatih, meski dia dengan tegar mengatupkan gigi dan meramalkan kemenangan. Apa lagi yang bisa dilakukannya?   ***   Dari pagi sampai sore, stasiun kereta api itu menjadi magnet bagi para reporter. Itu tempat terakhir Harry terlihat dan banyak yang ingin menemuinya. Pengakuannya yang menyeramkan ssudah tersiar di jaringan kabel nonstop hampir sehari penuh sekarang, dan masa lalunya menyamai dirinya. Catatan kejahatannya yang bervariasi itu ditayangan, tingkat kredibilitasnya dipertanyakan secara serius. Para ahli dari semua bidang muncul di televisi, menawarkan banyak opini tentang latar belakang profil, dan motif. Seorang pengoceh frontal menyebut Harry pendusta dan bertutur tentang bagaimana orang-orang aneh itu hanya ingin mendapatkan ketenaran selama lima belas menit tersebut dan menikmati menyiksa keluarga korban. Seorang mantan jaksa penuntut Kanto menuturkan pendapatnya mengenai keadilan di persidangan dan banding-banding Furuya Satoru, dan meyakinkan semua orang yang mendengarkan kalau sistem mereka baik-baik saja. Harry Kazuya sudah sangat jelas, dia gila. Sementara saga itu berlangsung, nilai keterkejutan yang menyertainya menyusut. Harry tidak bisa ditemui untuk menambahkan sejumlah detail atau untuk memberikan apologi bagi dirinya sendiri. Begitu pun Robert Eijun. Para reporter itu mengetahu kalau mobil Eijun tidak ada di kantor. Di manakah dia? Di dalam terminal, Riko, Ibuki, dan Haruka menerapkan mentalitas mengadang dan berusaha bekerja. Ternyata mustahil. Telepon terus berdering nyaris dan setiap kurang lebih satu jam, salah seorang reporter yang lebih kolot itu hampir berhasil mencapai pintu depan sebelum digiring pergi oleh salah seorang pengawal. Lambat laun para reporter mulai memahami bahwa Harry memang tidak ada di sana, begitu pun Eijun. Karena bosan, para reporter itu langsung pergi dan berkendara di seputar Kanto, mencari kebakaran atau pertikaian. Untuk mencapai akar permasalahan, mereka mewawancarai para tentara yang sedang aktif berpatroli di jalanan, dan mereka merakam dan merekam ulang gereja dan gedung yang sedang dibakar itu. Mereka berbicara kepada para pemuda kulit hitam yang berang di luar rumah bilyar dan bar murahan, dan mengulurkan mikrofon ke dalam truk pengangkut orang-orang kulit putih untuk memperoleh komentar yang tidak ternilai. Bosan lagi, mereka kembali ke terminal dan menunggu berita dari Harry, di mana orang itu? Menjelang petang, sekelompok massa mulai berkumpul di Taman. Berita mengenai perkembangan ini menyebar di media secara cepat dan mereka pun bergegas pergi. Kehadiran mereka menarik lebih banyak pemuda kulit hitam dan dengan cepat irama musik telah membahana sekali lagi dan petasan-petasan meledak sedemikian rupa. Ketika itu hari Jumat malam—hari gajian, hari minum-minum, permulaan akhir pekan, waktu untuk melepaskan segala pikiran. Ketegangan semakin memuncak.   ***   Sekitar empat puluh jam sesudah meninggalkan rumah pendetanya bersama seorang penumpang yang tidak diinginkan, Ivan pulang, seorang diri. Sesudah mematikan mesin, dia duduk di dalam mobil sejenak untuk menenangkan diri. Kiki telah menunggunya di dapur dengan pelukan dan ciuman, serta sapaan yang sangat ramah, “Kau terlihat capek.” “Aku baik-baik saja,” jawabnya. “Hanya butuh tidur nyenyak semalam. Di mana anak-anak?” Anak-anak itu ada di meja, tengah menyantap ravioli. Mereka melompat kegirangan dan memeluk ayah mereka, seolah-olah dia telah meninggalkan rumah satu bulan lamanya. Yahiko, si sulung, mengenakan seragam sepak bolanya, siap bertanding. Sesudah berangkulan berlama-lama, keluarga itu pun duduk dan menyelesaikan makan malam. Di kamar tidur, Ivan berpakaian sesudah mandi sebentar. Kiki duduk di ranjang, mengamatinya. Dia mengatakan, “Tidak ada omongan apa pun dari siapa pun di sekitar sini. Aku sudah bicara pada Ichiro beberapa kali. Kami menyaksikan setiap berita dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk daring. Namamu tidak pernah disebutkan di mana pun. Ada ribuan foto, namun tidak ada satu tanda pun mengenai dirimu. Gereja mengira kau dipanggil pergi untuk suatu keadaan yang darurat, jadi tidak ada kecurigaan di sana. Kita mungkin sangat beruntung.” “Apa berita terakhir dari Kanto?” “Tidak banyak. Mereka menunda pertandingan futbol nanti malam, dan hal itu dilaporkan semendesak kecelakaan pesawat terbang.” “Ada berita dari Shibuya?” “Tidak ada sama sekali.” “Sebentar lagi pasti ada, dan menggemparkan. Aku tidak bisa membayangkan gelombang kejut itu saat mereka mengumumkan kalau mereka berhasil menemukan mayat Bella Stefa. Kota itu dipastikan akan meledak.” “Kapan mereka akan mengumumkannya?” “Entahlah, aku tidak tahu. Aku tidak yakin apa rencana Eijun.” “Eijun? Terdengar seperti kalian teman lama.” “Itu benar. Aku bertemu dengannya kemarin, namun rasanya seperti kami telah berkelana sangat jauh bersama-sama.” “Aku bangga padamu, Ivan. Apa yang kau lakukan benar-benar gila, tapi juga sangat berani.” “Aku tidak merasa berani. Aku sendiri tidak yakin apa perasaanku saat ini. Lebih banyak kaget daripada yang lain. Aku rasa aku masih bebal. Petualangan itu memang sedikit untuk, namun kita gagal.” “Kau sudah berusaha.” Ivan mengenakan sweter, memasukkan ekor kemejanya dan mengatakan, “Aku harap mereka menangkap Harry. Gimana kalau dia menemukan korban lain?” “Yang benar saja, Ivan. Dia sudah sekarat.” “Tapi dia meninggalkan tongkatnya, Kiki. Bisakah kau menjelaskan hal itu? Aku sudah berada di seputar orang itu hingga lima hari—rasanya seperti setahun—dan dia sulit berjalan jika tanpa tongkatnya. Kenapa dia mau meninggalkan benda itu?” “Mungkin menurutnya dirinya lebih gampang terlihat dengan tongkat itu.” Ivan mengencangkan sabuk dan menggespernya. “Dia kesengsem denganmu, Kiki. Dia selalu menyebut namamu beberapa kali. Istri mungilmu yang cantik itu, katanya.” “Aku tidak merasa cemas tentang Harry Kazuya. Dia bodoh sekali kalau kembali ke sini.” “Dia sudah pernah melakukan hal yang lebih bodoh. Lihat saja catatan kejahatannya.” “Kita harus pergi. Pertandingan dimulai jam setengah tujuh.” “Aku tidak sabar lagi. Aku perlu sesuatu untuk mengalihkan pikiran. Apa kita punya sebotol anggur Komuni di rumah?” “Aku rasa ya.” “Bagus. Aku perlu minuman. Ayo kita pergi menonton pertandingan sepak bola Yahiko, setelah itu kita akan menghabiskan malam ini dengan tanya jawab.” “Aku mau mendengar semuanya.” Ivan menutup obrolan malam itu dengan anggukan kepala. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN