Berada di bawah guyuran air dingin membuat tubuh Livia menggigil hebat dan menarik kembali ingatannya. Menggunakan sisa tenaga dia menyempurnakan mandi besar dan melangkah dengan susah payah melawan perih di bawah sana keluar dari kamar mandi.
Bola matanya nyaris melompat sempurna melihat sosok yang tadi pergi kini kembali dengan senyum menyebalkan. Di tangannya terdapat paperbag yang entah apa isinya.
"Kau!! Apalagi yang kau inginkan?? Belum puas kau menghancurkan hi-" Alvaro memperlihatkan telapak tangan tepat di depan wajahnya menyisakan beberapa inci. Memasang wajah datar tanpa ekspresi menatap Livia hanya terbalut bathrobes.
“Aku hanya mengantarkan ini.” Alvaro meletakkan paper bag di atas nakas yang tidak jauh dari tempatnya berdiri lalu pergi tanpa satu kata pun.
“Dasar muka batu, lemari es dua pintu. Untuk meminta maaf saja dia tidak sudi. Apa dia sudah terbiasa merenggut kesucian para gadis,” umpat Livia mencebik kesal. Matanya kembali berkaca-kaca mengingat kini dirinya kehilangan kesucian.
Satu tangan yang lain menyambar paper bag yang ditinggalkan Alvaro. Ujung bi birnya sedikit tertarik mengetahui isinya berupa sebuah gaun warna merah muda. Dari model dan bahan dapat diketahui harganya yang sangat malah.
“Ada otak juga dia.” gumam Livia menyapu setiap sudut ruangan yang terdapat robekan pakaiannya.
Livia telah selesai mengenakan pakaian segera meninggalkan kamar hotel yang telah menjadi mimpi buruk untuknya. Ia harus kembali ke rumah sang majikan.
Dengan mengendap-ngendap Livia masuk ke dalam rumah dan menuju kamarnya. Jangan sampai ketahuan mengingat saat ini sudah lewat dari tengah malam bahkan mendekati subuh.
“Aku berharap tidak pernah lagi bertemu dengan ba ji ngan itu dan kejadian malam ini tidak akan membawa masalah untuk kehidupannya. Cukup menjadi rahasia aku, dia dan Tuhan. Aku tidak ingin membuat Abah dan Ambu kecewa,” batin Livia sebelum memejamkan mata masuk ke dalam mimpi menyambut hari esok dengan harapan yang baru.
Livia harus memikirkan langkah kedepannya sebab menangis, meratapi peristiwa naas tadi tidak akan mengubah kenyataan. Masa depan harus tetap ditata dengan baik meski tanpa kesucian lagi.
Gadis cantik itu mengerjap kala sinar matahari pagi menerobos masuk melalui celah. Ia lantas melompat turun dari ranjang saat melihat jam menunjukkan pukul enam pagi.
“Astaga, aku kesiangan.” Livia segera membersihkan diri dan mengenakan seragam. Tak lupa mengerjakan shalat subuh yang sudah sangat terlambat.
Rumah besar keluarga Andestra mewajibkan setiap pekerja mengenakan seragam pada siang hari. Pakaian khas seorang pelayan dengan warna biru muda.
Dia kembali meringis menahan sakit di bawah sana ketika melangkah lebar menuju kamar Hans Maria. Perih kembali menyergap teringat keadaannya saat ini.
“Li, jangan sekarang. Jangan menangis, saatnya kerja. Kamu gadis kuat. Oma menunggumu membawakan sarapan untuknya. Senyum, senyum, menangis bukan jalan terbaik,” batinnya menghibur diri sendiri, satu tangannya meremas da da yang sesak.
Sulit sekali untuknya menahan tangis dalam keadaan hati yang tidak baik-baik saja. Ia hanya gadis biasa yang kehilangan masa depan akibat kesalahannya.
Ya, Ia menyesali niat baik menolong pria mabuk itu. Seandainya Ia tega membiarkan pria itu terkapar dan langsung pulang tentu kehormatannya masih terjaga. Nasi telah menjadi bubur, selalu penyesalan datang belakangan.
***
“Bagaimana dengan liburanmu kemarin, Nak?” tanya Oma Maria menyambut kedatangan Livia dengan senyuman hangat. Sehari tidak berjumpa gadis cantik dan penyabar ini terasa tidak berjumpa lama.
“Lumayan menyenangkan.” Livia terdiam, kembali teringat kejadian semalam dan kembali bicara. “Oma.”
Langit Livia kembali mendung setelah susah payah tadi menjemput cerah. Kejadian kelam itu biar jadi rahasia hatinya dan semoga tidak ada dampak di kemudian hari.
Wanita tua yang berada di atas kursi roda itu menyatukan alis. Mencium gelagat kurang nyaman dari cara menjawab gadis yang telah merawatnya setahun belakangan. Gadis kampung yang polos dan masih belia mampu melembutkan keras hatinya.
Sikap polos dan apa adanya Livia membuat Oma Maria menemukan seorang cucu perempuan. Oma tidak lagi kesepian, hari-harinya penuh warna baru oleh tingkah konyol Livia.
“Semalam pulang pukul berapa?” tanya lagi karena jam sembilan mendatangi kamar Livia yang masih kosong tak berpenghuni.
Bi bir Livia hampir terangkat hendak menjawab Oma Maria kembali mengatup. Gendang telinganya menangkap derap langkah seorang menggunakan sepatu pantofel mendekat. Dari suara itu sudah dipastikan jika itu seorang pria, tetapi siapa?
Sebatas pengetahuannya di rumah ini tidak ada pria lain selain tukang kebun, supir dan penjaga depan. Disamping itu mereka jarang memasuki rumah. Dari suara alas kakinya bisa dia pastikan sosok tersebut bukan pelayan atau orang biasa.
Sebenarnya Livia ingin tahu siapa sosok yang kini berdiri di belakangnya. Namun, tetap Ia menundukkan tanpa berani menoleh karena tahu siapakah dirinya? Seorang pelayan dan tidak berhak mengetahui segala sesuatu tentang kehidupan majikannya.
“Selamat pagi Oma ku yang cantik,” sapa seseorang yang berdiri tepat di belakang Livia.
Deg, jantung Livia berdetak lebih cepat, dia merasa mengenali suara itu. Ya, suara yang semalam telah menghancurkan masa depannya.
Andai saja saat ini tidak ada Oma Maria mungkin dia telah berbalik untuk melihat secara langsung siapa pemilik suara. Memastikan dengan mata kepala siapa sosok yang diduga pria semalam.
Oma Maria memberikan banyak aturan pada seluruh pelayannya salah satunya untuk tidak bersikap sembarangan saat bersamanya. Sopan santun dan tata krama harus ditonjolkan jika tidak ingin mendapat hukuman yang paling berat diberhentikan paksa.
Meskipun Oma Maria sayang dan memberikan Livia sedikit kebebasan. Namun, baginya tetap wajib mematuhi aturan yang ada.
“Semakin tampan saja cucu kesayangan Oma,” sahut Oma Maria melengkungkan bibir. “sayangnya seleramu sangat rendahan.”
Alvaro yang masih diam di tempat membesarkan bola mata. Selalu saja seperti ini, sang oma akan bicara tanpa tedeng aling menyangkut kekasih hatinya. Padahal pagi ini kali pertama mereka berjumpa setelah dua tahun terpisah.
“Dia gadis baik, layak bersanding dengan cucu Oma yang ganteng ini. Hanya saja berasal dari keluarga yang salah. Toh bukan salah dia yang tidak bisa memilih terlahir dari rahim siapa?” jelas Alvaro menyangkal tudingan sang oma terhadap kekasih hatinya.
“Lalu?? Apa bedanya, dia keturunan Alfonso. Selamanya akan menjadi musuh dalam selimut keluarga kita.” Oma Maria melemparkan tatapan sinis. Cucunya terlalu bucin, ditinggal menikah masih saja membelanya.
“Dia beda Oma, dia tidak sama dengan keluarganya.” Alvaro sedikit menaikan nada suaranya.
“Letak bedanya di mana? Buktinya gadis itu tetap memilih mengikuti keinginan orang tuanya dan membuangmu seperti sampah. Itu katamu gadis baik, pacaran bertahun-tahun hanya menjaga jodoh orang,” cecar Oma Maria.
“Dia di bawah tekanan, Oma.”
“Alah, sama saja. Sudah Om ingatkan dari dulu jangan menaruh di hati pada keluarga Alfonso kamu keras kepala. Sekarang rasakan akibatnya. Mau sebanyak apa kamu melimpahkan materi untuknya tetap saja keluarga Alfonso tidak sudi menerima keluarga kita.
Mereka itu menaruh dendam seumur hidup pada keluarga kita.”
Oma Maria berpaling, bosan mengingatkan cucunya yang keras kelapa. Dari sejak awal menjalin hubungan dengan keturunan Alfonso Oma Maria sudah mewanti-wanti.
Namun, Alvaro tidak mendengarnya di tambah dukungan dari Diandra, ibunya. Oma Maria terpaksa diam karena kalah suara, dua lawan satu.
“Margaret akan kembali kepadaku. Percayalah padaku, Oma.”
“Kubur saja semua mimpi-mimpimu biarkan hancur oleh waktu dan mulailah mencari gadis-gadis di luar sana yang lebih cantik dan menarik dari keturunan Alfonso. Tampan dan memiliki segalanya tentu banyak gadis yang mau menerimamu, tapi Oma ingatkan lagi. Jangan mencintai gadis yang tidak sesuai kriteria keluarga. Umurmu sudah tua, sudah saatnya menikah dan memberikan Oma cicit yang banyak,” tampik Oma Maria panjang lebar lengkap dengan tinggi dan luasnya.
“Mereka hanya mengincar harta.” Lagi Alvaro membantah beranjak sedikit dengan menautkan kedua tangan kebelakang.
Livia tidak enak berada di antara cucu dan Oma yang kekeh menahan pendapat masing-masing memberanikan diri untuk pergi. Secara hati-hati supaya tidak menimbulkan suara ia mundur perlahan tanpa menoleh dengan posisi tetap sama.
Begitu tiba di dekat pintu Livia buru-buru berbalik dan mengelus d**a lega. Dari kemunculan pria asing itu sebenarnya ia ingin pergi.
Namun, takut sang oma marah sebab ,masih banyak tugas harus diselesaikannya.
Alvaro sosok yang dingin dan datar tidak menghiraukan pergerakan Livia seperti tidak melihat apapun. Bibir tipisnya terus menyahut ucapan demi ucapan Oma Maria yang merendahkan pujaan hatinya.
“Gadis itu juga mengincar hartamu.”
“Oma, tolong jangan terus menghina Margaret,” pungkas Alvaro sudah tidak tahan menahan telinganya yang memanas menampung kata-kata pedas Oma Maria.
Sebuah ide muncul begitu saja dalam benak Oma Maria membuta wanita itu tersenyum sembari memindai sang cucu dari ujung kaki sampai rambut. Bulu roma Alvaro meremang melihat sorot tajamnya yang mencurigakan.
“Atau kamu dengan Livia saja, Oma rasa dia cocok untukmu,” ucapnya melemparkan sorot penuh harap pada sang cucu.
“Hah apa!!” seru Alvaro terperangah. “Livia? Livia siapa?”
Kedua alis tebal yang menghiasi bagian atas mata elang Alvaro menyatu menciptakan kerutan. Ia tampak berpikir keras tentang siapa sosok yang disebutkan namanya. Gadis keturunan keluarga mana lagi yang ingin Oma dekatkan dengannya.
Wanita kedua yang dimilikinya selain Diandra selalu punya akal dan jalan supaya dirinya menuruti keinginannya. Kata-kata yang keluar dari bibirnya adalah perintah yang tidak bisa ditawar.
Oma Maria melambaikan tangan agar Alvaro mendekat padanya. Mereka harus dalam keadaan yang sangat dekat untuk menjelaskan gadis yang di maksud.
“Siapa Oma?” tanya Alvaro lagi penasaran.
“Gadis yang baru saja berlalu. Percayalah dia gadis yang baik.” tunjuk Oma Maria mengarah pada satu titik di mana Livia berada tadi.
“Ya Tuhan Oma!! Apakah aku benar-benar tidak laku sampai Oma menyuruhku menikahi gadis miskin. Sejak kapan selera Oma berubah. Aku dan gadis pelayan itu beda kasta. Ibarat kata aku langit dia bumi, bahkan kerak buminya,” ejek Alvaro menepuk dahi tidak percaya jika sang saran Oma Maria rendahan jauh dari ekspektasi. Kepalanya menggeleng berkali dan tersenyum miring.
Memalukan sekali, apa kata dunia seorang Alvaro Andestra beristrikan rakyat jelata. Sungguh tidak masuk akal, keluar jauh dari ciri khas keluarga Andestra.
“Sudahlah pergi sana,” usir Oma Maria mengibaskan tangan. “Oma tidak mau lagi berdebat denganmu. Kamu keras kepala, ada saja jawaban membantah Oma. Oma tidak ingin kamu menyesal untuk kedua kalinya.”
Oma Maria akhirnya menyerah menasehati sang cucu yang tidak mau mendengar ucapannya. Untung cucu kesayangan dan satu-satunya kalau tidak sudah dilemparkan ke jalan. Biar jadi gelandangan sekalian, hidup semau sendiri.
Alvaro mengulurkan tangan mencium takzim punggung tangan Oma Maria dan segera ke kantor. Perdebatan mereka tadi telah menghabiskan waktu santai-santainya.
Hari ini adalah hari pertama dia menginjakkan kaki di kantor pusat tentunya sebagai pemimpin baru menggantikan posisi Oma Maria. Alvaro tampak sangat menawan mengenakan setelan jas warna hitam bagian dalam kemeja lengan panjang warna biru muda lengkap dengan dasi warna senada.
Oma Maria sudah tua dan tidak sanggup lagi untuk mengurus segala urusan perusahaan peninggalan mendiang suaminya. Sudah waktunya dia pensiun dan benar-benar beristirahat, menghabiskan usia senja di rumah dengan mendalami ilmu agama sebagai bekal pulang kelak.
Alvaro tergesa-gesa keluar dari kamar secara tidak sengaja menabrak Livia yang membawakan sarapan untuk Oma Maria. Baju yang dikenakan Alvaro terkena tumpahan makanan memancing amarahnya.
Keduanya sama-sama terkejut ketika pandangan mereka bertemu. Waktu seolah berhenti bergerak. Beberapa saat mereka diam mematung larut dalam pikiran masing-masing.
“Kau.” Alvaro menunjuk tepat mengenai dahi Livia yang memang lebih rendah darinya.