33. Peringatan Waspada

1201 Kata
Selagi pembahasan sudah terlanjur muncul, Iki berenca menemui Wildan untuk bertanya kelanjutan penanganan kasus Dean saat ujian kemarin. Wildan sama sekali belum memberi tahu Iki apa yang terjadi setelah itu. Dan Wildan bila tidak didesak Iki, entah kapan kabar itu bisa terdengar sampai ke telinganya sendiri. Tempat yang selalu menjadi tujuan saat Iki mencari keberadaan Wildan adalah tak lain ruang OSIS. “Wil, ada yang ingin aku bicarakan―” Begitu pintu dibuka, Iki melihat keramaian orang di dalam. Tatapan terusik jelas mengarah padanya. “Ah, kalian sedang pertemuan OSIS?” Wildan langsung berdiri menghampiri Iki dan membawanya keluar, dengan cepat penutup pintu. “Bisa kau rubah kebiasaanmu menerobos masuk ruanganku itu? Ini sekolah.” Sambutan protes keras yang Iki dapat dari kedatangannya yang terlalu dramatik. “Oke, akan kuingat.” Iki terima bila Wildan marah, memang itu kesalahannya. “Apa yang ingin kau bicarakan?” Tanya Wildan tanpa membuang waktu berharganya, yang disambut keseriusan Iki. “Tentang kelanjutan kasus Dean.” Tatap Iki lurus pada wajah Wildan. Ya, seharusnya Wildan tahu itu. Apa yang membawa Iki sampai mencarinya. “Tunggu di sini, aku harus menyelesaikan dulu urusan OSIS.” Lima menit berlalu, pintu ruang OSIS terbuka. Para anggota berhamburan ke luar membubarkan diri, sebaliknya Iki masuk ke dalam. Wajah profesional Wildan sebagai pimpinan OSIS masih tersisa saat Iki masuk, tapi kemudian segera hilang saat Wildan mulai bicara padanya. Bagaimana Iki harus menerangkannya, wajah yang tanpa memasang pertahanan atau wibawa di muka umum. Topeng wajah yang Iki pikir konyol dan menyebalkan. Wildan melepas kacamatanya untuk membersihkan lensa. “Aku sudah coba mencari tahu lebih dalam, sampai tindakan apa yang diambil pihak sekolah pada kasus ini.” “Lalu?” Todong Iki tidak sabar. Wildan menggeleng lemah. “Dean akan pindah sekolah. Keputusan itu yang diambil kedua orang tuanya.” Seketika itu mendengar kabar tentang Dean, Iki menghantam keras meja dengan kepalan tangan. “Mereka memutuskan ekor dan berhasil lolos? Itu yang coba kamu katakan?” “Dean memutus kontak, aku belum menemukan cara untuk menghubunginya sampai saat ini.” Wildan kembali memasang kacamata, menatap Iki dengan wajah serius. “Seperti yang kau tahu, bila keluar dari SOPA kemungkinan besar mereka dikirim bersekolah di luar negeri.” Seolah dengan sengaja ingin menghapus jejak dan memutus semua hubungan karena siswa yang keluar dari sekolah biasanya karena tersangkut masalah serius, seperti kasus yang terjadi pada Dean. “Di rumahnya? Kau sudah cek?” Tuntut Iki. “Tidak mungkin orang tuanya tetap menahan dia di sana bukan, karena pihak mereka pasti ingin Dean tetap tutup mulut.” Walau Wildan untuk berjaga-jaga sudah memastikan sendiri Dean tidak berada di rumah. “Yang aku khawatirkan Dean sudah dikirim jauh lebih dulu, sebelum pihak lain bergerak.” “Sial!” Umpat Iki meluapkan kesal dan kecewa. Semua usahanya sia-sia. Wildan duduk di hadapan komputernya bersiap kembali mengerjakan urusan lain. Tidak ada yang bisa Wildan sampaikan lagi pada Iki, kecuali peringatan. “Kau juga harus berhati-hati dengan Tommy dan teman-temannya, sekarang pasti mereka marah besar padamu.” “Apa yang bisa mereka lakukan!” Ucap Iki percaya diri masih bercampur rasa kesal. Di sekolah tidak ada seorang pun yang bisa mengertak atau membuatnya takut. “Bukan padamu tapi pada orang sekelilingmu.” Lanjut Wildan. “Pada kalian?” Iki tidak sampai berpikir jauh ke arah sana tapi ia meragu apakah cara itu akan berhasil. Orang-orang di sekitar Iki sama berpengaruh dengan poisis status yang kuat seperti dirinya. Siapa yang berani mengusik Wildan, Riga apalagi Carol di sekolah. “Apa yang perlu aku cemaskan, kalian bisa menjaga diri kalian sendiri.” “Bukan kami. Sungguh kamu tidak paham Ki?” Kata Wildan mulai jengkel dengan Iki yang lamban. “Apa?!” Iki lebih jengkel lagi karena Wildan tidak bicara pada intinya. “Yang aku maksudkan siswi pindahan itu.” Yang Wildan maksudkan adalah Elin. Iki seolah disiram air dingin, ia langsung sadar. Status pertunangannya dengan Elin mungkin bisa menyeret gadis itu yang tidak tahu apa-apa kedalam permasalahan ini. Melihat Iki yang tidak membalas perkataannya, akhirnya Iki paham apa yang Wildan maksudkan. “Kamu harus hati-hati dan selalu waspada!” Sekali lagi Wildan dengan tegas memberi Iki peringatan. Kata-kata Wildan begitu merasuk dalam kesadaran Iki, sekarang bukan permasalahan hanya tentang dirinya. Iki membisu, berpikir keras apa yang harus dilakukannya dengan Elin. *** Elin tidak tahu hari pertama class meeting bisa membuatnya sampai selelah ini, atau bukan salah class meeting tapi kegiatan club penelitian. Elin seperti yang sudah diketahui harus berjalan kaki ketika pulang dan pergi sekolah sampai menuju jalan umum, keluar dari perumahan Bhennika Budi untuk dapat menggunakan transportasi umum kembali ke rumah. Dan perjalanan pulang kali ini terasa amat jauh ia tempuh. “Evelin,” Suara seseorang memanggil dari seberang jalan. Elin melihat di dalam mobil mewah tante Jeanne yang memanggilnya. “Kamu baru pulang sekolah ‘kan?” Elin menyeberang jalan menghampiri Jeanne, tidak nyaman bila bicara dari jarak terlampau jauh. “Siang Tante...” “Masuk sayang...” Pinta Jeanne. Elin tidak bisa menolak tawaran itu, meski enggan ia masuk ke dalam mobil. “Tante lihat seragam SOPA jadi penasaran, saat diperhatikan ternyata kamu!” Elin cuma bisa senyum canggung. “Kamu mampir ke rumah Tante dulu mau ya?” “Eh? Tapi Tante...” Elin ingin menolak tapi tidak tahu apa yang harus dikatakan. “Tidak apa, Tante bisa kabari ibu kamu nanti. Ayo Pak jalan...” Perintah Jeanne pada driver. “Tapi El, kamu pulang jalan dari sekolah?” Raut wajah Jeanne terlihat serius membuat Elin semakin gugup. Sejenak Elin ragu untuk mengatakan sebenarnya tapi jika mencari alasan sama sekali tidak terpikir apa pun. “Iya Tante... Aku sudah biasa―” Jaenne terkejut bahkan sebelum Elin sempat menyelesaikan penjelasannya. “Kamu serius El? Pulang-pergi?” “Sudah biasa kok Tante kalau setiap hari dikerjakan.” Entah orang lain akan percaya alasan ini atau tidak, tapi Elin memang sudah menganggap jarak 18 menit berjalan kaki itu pas untuk berolahraga. “Sama sekali tidak El, tidak bisa begitu...” Jaenne benar-benar cemas. “Tante sama sekali tidak tahu, oohh Evelin... Kamu sudah bekerja keras selama ini.” Jeanne merasa sedih dan penjelasan Elin menambah rasa pilu di hatinya. “Tante... Aku―” Elin kembali ragu, tidak ingin mengulang kesalahan salah bicara lagi. Tapi ia tidak bisa berhenti merasa cemas. “Ya El, katakan. Ada yang bisa Tante lakukan untukmu?” Tanya Jaenne dengan kelembutan. “Tolong jangan sampaikan pada Ibu, karena aku tidak pernah cerita.” Bila Ibu juga sampai tahu pasti akan sedih melebihi Jeanne. Elin berjalan bukan bearti tidak ingin mengeluarkan uang lebih untuk naik ojek tapi ia tidak sampai hati meminta lebih kepada Ibu untuk hal itu. “Begitu, jangan cemas. Belinda tidak akan tahu tentang ini. Lalu masalah ini juga Tante punya ide bagus.” Jaenne tersenyum hangat pada Elin, dengan tatapan mata yang masih tampak sedih. Elin tak kuasa untuk bertanya apa yang Jeanne rencanakan. Selama perjalanan ke rumah, Elin hanya mengikuti alur pembicaraan. Lalu mobil tiba di rumah yang semalam menjadi lokasi pesta, tidak lain adalah rumah Iki terletak di alamat Jl. Budi Pekerti No 2. Saat turun Elin terpikir, entah bagaimana jadinya dia kembali lagi ke sini hanya dalam waktu setengah hari. Hari ini benar-benar terasa panjang dan melelahkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN