32. Rooftop

1194 Kata
Jadwal pertandingan hari ini yang Iki ikut serta didalamnya sudah selesai. Sepanjang pagi hingga siang hari Iki sudah mengeluarkan keringat cukup banyak, sekarang ia harus menuju suatu tempat. Sejak pertandingan berlangsung sudah mengganggu konsentrasinya, Iki harus menemui secara langsung untuk mencari kepastian. Selesai membersihkan diri dari keringat, Iki tampak segar keluar dari kamar shower. Kaos olahraganya tetap ia tinggalkan di loker, seharusnya kaos itu bisa langsung ia cuci dan keringkan di ruang laundry seperti biasa. Tapi karena Iki merasa urusan lain lebih mendesak, kaos yang basah karena keringat itu dilemparkan ke dalam loker lalu dilupakan. Iki meraih ponselnya, mencari satu nomer. “Sial!” Bantingnya pada pintu loker. Nomer yang ia cari tidak akan berguna, tidak bisa untuk menghubungi. Lalu Iki memilih panggilan keluar di nomer atas nama Mahdi. “Halo, kau tahu di mana Carol?” “Di tempat ia biasa datangi aku rasa.” Jawab Mahdi tanpa banyak tanya. Lalu sambungan telepon berakhir. Langkah kaki Iki mantap menuju satu tempat, satu-satunya tempat saat Carol ingin sendiri berada di tempat tertinggi SOPA, rooftop. Tempat ini sunyi bukan tidak bisa diakses tapi karena tidak ada siswa yang serajin itu bersedia naik sampai ke atas hanya untuk mencari kesunyian, kecuali Carol. Maka tempat ini seolah menjadi private space khusus Carol seorang. Iki sendiri hanya sesekali datang ke tempat ini bila tidak punya pilihan seperti sekarang. Sosok yang Iki cari langsung bisa ia temukan bersandar di pagar pembatas gedung, menatap kejauhan menikmati angin. “Jika kamu sudah sampai datang mencariku di lapangan, kenapa tidak kamu selesaikan urusanmu denganku itu. Jangan buat aku bersusah payah mendatangimu seperti ini.” Iki yakin Carol sendiri pasti tahu dengan menampakkan diri di sekitarnya secara terbuka seperti itu, mau tak mau Iki jadi terbawa pikiran karena perilaku Carol di luar kebiasaannya. Carol amat mengenal suara rewel itu tanpa harus melihat wajah pemiliknya. “Hal pertama yang kau katakan setelah sekian lama adalah keluhan. Dewasa sedikit Ki, sampai kapan kau akan begitu?” Bisa dikatakan ini komunikasi pertama mereka setelah berbulan-bulan jarak hubungan mereka merenggang. “Sampai aku sudah cukup mampu menguasai dunia?” Tanggapan kekanakan Iki. Carol berbalik menatap Iki, menanggapi sikap kekanakan dengan keseriusan. “Setidaknya kali ini kau harus mampu melindungi seseorang yang berada di sisimu saat ini.” “Apa yang kau bicarakan?” Iki tak paham mengapa Carol jadi serius bicara padanya. Carol tersenyum tipis. “Tunanganmu itu.” “Sial! Lupakan.” Iki langsung jengkel. “Jika kamu tidak mengatakan apa yang ingin kamu ketahui, aku pergi.” Ancam Iki. Carol berpindah tempat, bersandar pada dinding bangunan yang teduh berlindung dari terik matahari. “Pertama, jangan memaki di depanku. Kedua, yang melalui kesulitan bukan hanya kau seorang. Bahkan aku sampai datang ke pestamu tadi malam karena ingin bertemu denganmu. Ketiga, berubahlah Ki demi kebaikanmu sendiri.” “Cukup dengan nasehat yang aku tidak pernah minta.” Iki menarik garis batas pada pembicaraan mereka. “Lantas kenapa tidak menemuiku semalam?” Iki memang sudah mendengar dari Wildan kalau Carol juga datang malam tadi. “Karena kau tampak sibuk.” Ekpresi wajah Carol yang biasa dan sehari-hari ditunjukkannya adalah datar tanpa sentuhan emosi. Tapi wajah yang sama juga akan ia tunjukkan ketika mencoba menyembunyikan perasaannya. “Lalu di lapangan tadi?” Tanya Iki. “Karena aku berubah pikiran.” Suara Carol terdengar lebih rendah dari sebelumnya. Menerangkan ada perubahan suasana hati di sana. Iki masih belum selesai, jawaban Carol sama sekali tidak membuatnya percaya. “Sungguh kamu berubah pikiran?” Iki tahu dengan jelas apa yang ingin Carol ketahui dari Iki tapi tidak pernah mengucapkan dengan mulutnya sendiri. “Ini tentang Alpha ‘kan?―” “Ssstt!! Kamu lupa nama itu tabu.” Potong Carol, sekaligus memperingatkan Iki untuk merendahkan suaranya. “Ah!” Iki paham yang Carol maksudkan. “Kamu pasti sangat penasaran apa yang terjadi saat ujian waktu itu dan apa tujuanku melakukannya.” Karena semua temannya bertanya tentang hal yang sama. “Selama ini kamu berpikir dan menyimpannya sendiri, penasaran apakah ini masih ada kaitannya dengan dia?” Di ruang OSIS ketika itu Wildan juga sudah mendesak Iki untuk bercerita. “Atau kamu berpikir aku tahu sesuatu.” yang mana Iki maksudkan tentang kabar, informasi, keberadaan, atau apa pun petunjuk yang mengarah pada Alpha. “Sekarang pilih, kau ingin aku menjelaskan yang mana?” Iki membuatnya lebih mudah untuk Carol memutuskan. “Yang terakhir.” Pilihan Carol, tidak dapat membohongi diri yang paling ingin ia dengar saat ini adalah kepastian tentang apa pun yang Iki ketahui tentang Alpha. Iki sudah menduganya. “Sayangnya aku tidak tahu, aku belum menemukan apa pun. Ternyata berjalan lebih lamban dari yang kukira. Seperti yang kau tahu, aku harus bergerak diam-diam tanpa menimbulkan ketertarikan pandangan sekitar.” Alasan yang Iki berikan itu terdengar tidak konsisten menurut Carol. “Dengan perbuatanmu kemarin bukankah itu lebih mencolok.” “Skenario yang kurancang seharusnya tidak berakhir seperti itu. Semua karena turut campur Elin sehingga hasilnya tidak maksimal.” Beber Iki dengan sedikit ekspresi kesal. “Elin? Ah, tunanganmu itu.” Nama yang Carol kenali sebagai Evelin. Carol sendiri tidak menyangka orang yang terlibat saat kasus di ujian dan di pesta pertunangan adalah sosok yang sama. “Hentikan menekankan status seperi itu!” Iki serius marah. Carol menghela lemah, menyerah menghadapi Iki dengan tempramennya. “Kamu sama sekali tidak berubah Ki, mudah tersulut emosi.” “Lupakan soalku.” Lagi Iki memasang pagar pembatas. “Tentang pembicaraan tadi, aku masih harus bertanya pada Wildan perkembangan kasus ujian kemarin. Apa kamu tidak teringat sesuatu? Tidakkah dia mengatakan sesuatu padamu?” Memang Iki sudah sering kali bertanya hal yang sama pada Carol. “Semua yang kuingat dan kuketahui kalian sudah mendengarnya, di antara kita berempat mungkin aku adalah orang terakhir yang paling mengenal dirinya.” Selama ini yang hanya dapat Carol ingat tentang kenangan di mana Alpha menaruh ketertarikan tinggi pada dirinya dan bukan sebaliknya. “Semakin hari aku menyadari seiring waktu berlalu, bahwa aku sama sekali tidak mengenal dirinya dengan baik.” Dan Carol kini hanya dapat memupuk penyesalan semakin dalam setiap harinya. Tidak ada yang dapat Iki katakan karena ia merasakan hal yang sama. “Aku pergi...” Lalu dia berbalik kembali melihat Carol, teringat satu hal yang ingin sekali Iki sampaikan protes padanya. “Ah, sampai kapan kau berencana hidup seperti di jaman batu? Apa aku harus mengirim surat padamu lewat merpati? Atau telegram? Gunakan ponselmu, teknologi itu diciptakan untuk mempermudah jarak dan waktu. Mengerti?!” Selesai protes panjang Iki berbalik pergi. “Bodoh! Justru karena alasan itu ponselku ditahan.” Balas Carol bicara pada punggung Iki. Iki berbalik merasa sensitif. “Kau mengatakan sesuatu?” Carol tetap diam memberi tatapan dingin pada Iki, tidak berniat mencegah kepergian Iki dari sana. Pemberian nama Rapunzel yang disematkan pada Carol tidak sepenuhnya salah. Keluarga Carol demi mengekang aksesnya dengan dunia luar sudah sejak lama tidak memberinya ijin menggunakan ponsel. Selalu dalam pengawasan baik di rumah atau pun di sekolah. Keluarganya sudah menyebar banyak CCTV berjalan di sekitar Carol yang selalu siap melapor dalam sambungan hotline. Bahkan saat berada di rooftop ini, Carol tidak sepenuhnya berada seorang diri. Alasan yang sama mengapa Iki dan Carol bicara dengan banyak istilah dan isyarat kata bila membicarakan Alpha.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN