Meski kamar di rumah Lavi juga tak besar, setidaknya tak mengerikan seperti ini. Penerangannya tak lebih buruk dari ruang yang pertama kali Lavi singgahi. Ia sempat beberapa kali menoleh ke arah pintu yang dibiarkan terbuka itu. Akan ia ingat di dalam hatinya, kalau bisa, ruangan itu dilenyapkan dari hidupnya entah bagaimana pun caranya.
Ruang di mana pertama kali ia mengenai rasa takut berlebih, serta sakit yang semakin membuat gigilnya makin jadi. Namun, kesakitan itu tak ingin ia keluhkan. Kalau sampai ada yang mendengarnya menangis, ia kalah. Tak akan ia biarkan itu terjadi.
Ingatannya diseret pada beberapa jam sebelum ia ada di sini. Di saat dirinya baru saja pulang dari kegiatan di kampus. Padahal selama bercengkerama akrab dengan dua temannya, ia begitu bahagia. Seolah tak memiliki beban meski di pundaknya Lavi tahu, bahwa beban itu tak gampang terangkat.
Terutama masalah ekonomi.
Ia hanya anak tunggal dari pria paruh baya yang kasar; hobi berjudi, mabuk-mabukan, pulang hanya untuk meminta uang pada Lavi lalu pergi begitu saja. Tak pernah Lavi ditanya bagaimana kabarnya, sudah makan atau belum, dari mana Lavi memiliki uang seperti yang sering kali diminta.
Belum pernah Lavi ditanya oleh sosok yang seharusnya ia panggil ‘Ayah’.
Keseharian Lavi membantu tetangganya berjualan di kedai nasi uduk. Malam hari ia bekerja di sebuah restoran nasi padang untuk mencuci piring. Dari sanalah ia mendapatkan uang untuk membiayai hidupnya. Meski lebih sering ia menahan lapar dan banyak keinginan seperti gadis seusianya. Beruntung kampus tempatnya berkuliah, bisa menerima Lavi yang notabene adalah mahasiswi yang cemerlang serta berasal dari kalangan tak mampu. Beasiswa penuh diberikan untuk Lavi sampai ia lulus nanti.
Tak akan ia sia-siakan kesempatan ini, kan?
Namun nahas, mimpi Lavi menjadi sarjana harus terhenti begitu empat orang masuk ke dalam rumah kontrakannya. Mengacak dengan beringas, mencari barang berharga yang Lavi sendiri ragu bisa ditemukan di sini. Apa yang ada di rumah tiga petak yang hanya berisi banyak perabot dan barang usang?
“Sebenarnya mau apa kalian?” tanya Lavi tanpa takut. Bukan sekali dua kali mereka berempat datang ke rumahnya. Pernah tengah malam menggedor tanpa tahu diri hanya untuk menagih utang. Katanya, sang ayah meminjam uang untuk berjudi. Lavi rasa, kedatangan kali ini pun sama.
“Bapak lo sialan, Gadis Cantik!” kata salah satu di antara mereka dengan seringainya yang licik. Ia berhenti mengacak isi lemari yang semula rapi. Lavi sudah melarangnya, tapi percuma, empat orang tadi benar-benar tak tahu malu.
Preman berengsek! Begitu maki Lavi di dalam hati.
Mendengar nama panggilan Gadis Cantik, Lavi rasanya mau muntah. Ia memutar bola mata penuh amarah. Ia tak gentar saat orang yang tadi bicara, sudah ada di depannya. Matanya terus menatap lekat pria bertubuh tegap serta memiliki tato di lengan kanannya.
“Dia punya utang banyak tapi enggak dibayar,” tukasnya masih dengan seringai licik. “Kita lagi tunggu, apa Bapak lo berani datang ke sini atau enggak.”
Lavi berdecih sinis. “Kalian tunggu saja sampai busuk. Dia enggak bakalan pulang.”
Empat orang tadi saling menoleh satu sama lain, lalu menyemburkan tawa yang begitu konyol, dan meremehkan. Bahkan salah seorang di antaranya bertepuk tangan seolah apa yang Lavi katakan adalah sebuah lelucon pengocok perut.
Gadis itu tak peduli. Ia memilih menyingkir, membebaskan preman yang sukar diusir ini. Belum juga ia meraih handle pintu kontrakan yang catnya sudah banyak mengelupas, tiga orang sudah ada di depannya termasuk ….
“Lavi,” panggil pelan sosok pria yang sangat Lavi kenali.
Ayahnya.
Wajahnya lebam di mana-mana, sudut bibirnya robek, pelipisnya luka cukup dalam, dan mengucurkan darah yang tampak agak mengering. Belum lagi pakaiannya yang compang-camping karena dipukuli; terdapat noda kotor di bagian d**a serta celananya yang sobek di beberapa bagian.
Apa Lavi jatuh iba?
Sama sekali tidak. Bagi Lavi, sosok ayahnya telah lama mati. Sama seperti kematian ibunya karena sakit sepuluh tahun lalu. Di matanya juga, Warto, nama sang ayah, tak ubahnya benalu yang sering kali menyusahkan hidupnya.
“Lavi, tolong Ayah, Nak.”
Lavi bergerak menjauh, karena ayahnya mendadak datang memeluk setelah dilepaskan dua orang tadi. Salah satu di antara mereka, sejak awal kedatangannya sudah menatap Lavi penuh minat. Seolah Lavi adalah makanan yang sangat lezat dan siap disantap kapan pun diinginkan. Tapi Lavi juga tak memedulikannya.
Ia hanya kembali untuk mengambil tas yang ada di salah satu sudut ruangan. Memilih pergi karena tahu, urusan utang piutang ayahnya selalu dengan preman bertato naga itu. Ia tak akan mau membereskan. Memangnya Lavi ini gudang uang?
“Mau ke mana, Nak?” tanya Warto dengan sorot terkejut karena putrinya, harapan satu-satunya terbebas dari preman ini, justru melangkah menjauh. “Kamu mau tinggalkan Ayah? Begitu?”
“Urus urusanmu sendiri,” kata Lavi pelan. Langkahnya juga tak ada gentar sama sekali. Bukan sekali dua kali ayahnya berulah seperti ini. Mau sampai kapan Lavi dijadikan tumpuan? Kalau hanya sekali lalu sang ayah menemukan pertobatannya, kerja yang benar, tak banyak tingkah, mungkin Lavi tak segan untuk memberi perlawanan.
Tapi ayahnya?
Astaga! Bahkan kalau dipukuli di depannya pun, mungkin Lavi sudah mati rasa.
“Minggir,” kata Lavi. Langkahnya tertahan karena ada tangan kekar yang menghalangi. Saat gadis berambut panjang itu menoleh, mata mereka bertemu di udara. Meski hanya sepersekian detik, Lavi tahu, sorot mata itu tak ingin dibantah. Memiliki aura intimidasi yang sangat besar. Juga sepertinya dialah sang kepala preman; Prasetyo.
“Lo enggak bisa pergi,” katanya dengan suara pelan, tapi sungguh membuat suasana di sekitarnya berubah mencekam. Lavi sendiri tak lagi terlalu berani menatapnya, karena ada rasa mencekik leher meski tak ada tangan yang menghampirinya. “Lo dengar ucapan Bapak lo ini.”
“Enggak penting. Urusan kalian bukan urusan gue.”
Sang pria, Pras, menderaikan tawanya. Heboh sekali. Tapi tak ada satu pun yang ikut tertawa, justru menunduk dalam. Apakah ini tanda bahaya? Tapi karena apa?
“Bicara, b*****t!” hardik Pras sembari menarik tubuh Warto. “Cukup basa-basinya. Waktu gue terbuang banyak buat ngurus lo saja, Anjing!”
“Ayah berhutang sampai seratus juta, Lavi,” kata Warto dengan nada penuh gemetar. Sementara Lavi masih menampilkan ekspresi dingin. Memangnya uang itu dirinya pakai barang sepeser? Tidak. Lalu kenapa ayahnya bicara seolah dirinya pembayar utang itu? Enak sekali.
Lavi yakin sekali uang itu sudah berikut dengan bunga yang tak masuk akal. Memang preman berkedok rentenir ini harusnya musnah dari muka bumi saja. Kenapa masih eksis sampai sekarang?
“Lavi ada uang untuk bayar, kan, Nak?”
Lavi menoleh sekilas pada ayahnya yang tampak menyorotinya penuh harap. Sesekali ada ringisan keluar dan terdengar oleh telinga sang gadis. Mungkin saking kesal dan kecewanya Lavi akan sikap Warto selama ini, gadis itu hanya menampilkan senyum setipis mungkin. “Enggak ada.”
“Pasti di tas kamu!” pungkas Warto dengan gugupnya. Ia tak peduli kalau ada drama lanjutan semisal dirinya dimaki-maki Lavi. Yang ia pedulikan, hari ini bisa terbebas dari Pras dan anak buahnya.
“Apa-apaan, sih, Yah?” pekik Lavi tak terima. Ia pun menarik kembali tas yang sejak tadi ada di bahunya. Adegan itu hanya diperhatikan oleh preman yang sejak tadi menonton drama keluarga ini.
“Lepas!” hardik Lavi tak kalah kuat.
“Ada di tas ini, Pras, saya yakin banget anak saya simpan uang di sini!”
“Lepas!” Lavi terus mempertahankan tasnya.
Agak lama Pras biarkan mereka saking berebut tas usang berwarna merah itu. Namun, ia memang tak bisa terlalu lama di sini. Ia pun bertindak cepat. Merebut tas yang sejak tadi dijadikan tarik menarik oleh anak dan bapak ini.
“Hei!” Lavi melotot tak terima.
Tas yang ada di tangan Pras kini, ia longok isinya. Tak ada apa pun kecuali buku serta beberapa alat tulis dan jaket? Entahlah, ia tak peduli. Melihat hal itu, ia langsung membanting tas beserta isinya ke lantai.
“Buang-buang waktu gue!” teriaknya dengan suara keras. Lalu dicengkeramnya wajah Lavi dengan kuat. “Lo … gue kasih waktu satu hari untuk adakan uang yang gue mau.”
Lavi meludahi wajah Pras telak. “Enggak sudi! Bukan utang gue. Lo bawa pak tua ini untuk bertanggung jawab.”
Apa Pras marah?
Sama sekali tidak. Sejak pertama kali melihat Lavi, ada sesuatu yang berbeda dari gadis yang kini ia tatap lekat. Sorot mata sehitam jelaga yang ternyata jauh lebih indah ditatap dalam jarak sedekat ini, membangkitkan sesuatu yang sangat membuatnya penasaran.
Rasanya Pras ingin mengurung dan menghukum gadis ini sendiri. Tanpa ada orang lain yang tahu hukuman apa yang ia berikan.
“Baik-baik kalau bicara sama gue, Neng.” Pras jarang sekali memanggil nama seseorang dengan panggilan yang terdengar dekat, tapi di depan Lavi entah kenapa bibirnya justru mengucapkan hal ini. Ia ingin banyak berpikir, tapi dirinya diburu oleh waktu. “Jaminan hutang ini kalau lo mau tahu. Gue kasih satu kali dua puluh empat jam untuk bebas. Tapi kalau sampai waktu itu habis, lo untuk gue, Neng.”
“b******n!”
“Mulut lo memang minta dihukum, ya.” Pras ingin sekali melukai bibir yang baru saja memakinya itu. Satu gores luka di sudut bibir gadis itu bukan hal yang sukar untuk ia lakukan, tapi Pras tak melakukannya. “Tunggu balasan gue, Neng. Gue buat bibir lo ngerti bahasa hukuman!”
Lalu pria bertubuh tegap itu pergi begitu saja. Diikuti dengan para anak buahnya yang menatap Lavi dengan sorot garang dan meremehkan. Meski hati Lavi ketar-ketir, ia mencoba untuk tak peduli. Amarah yang sejak tadi sudah menguasai hatinya, ia luapkan pada sang ayah. Alhasil, keributan mereka berdua sampai dilerai oleh tetangga sekitar.
Lavi pikir, ancaman itu hanya bualan sampai saat dirinya pulang dari kampus, para preman itu kembali menghadang. Lavi mana ada uang segitu banyak. Ia juga tak terima kalau uang yang dikumpulkan hanya untuk membayar hutang ayahnya. Tak akan pernah sudi.
Benar, kan? Itu hanya sebatas ancaman. Mobil mereka segera pergi setelah Lavi bersikeras tak mau membayar utang ayahnya. Ia juga mengabaikan ancaman yang menyebutnya dijadikan jaminan utang.
Namun … ancaman itu nyata terjadi.
Malam harinya, Lavi ditarik paksa keluar dari kontrakan. Sang ayah hanya bisa melihatnya tanpa bisa menolong. Tak peduli berapa banyak Lavi memaki, berteriak minta tolong, juga bersumpah kalau ia tak akan memaafkan perbuatan ayahnya, ia tetap ditarik oleh para preman.
Sekarang, di sinilah tempatnya.
Ia usap air mata yang mendadak menetes. Rasa nyeri yang dirasakan pada bagian d**a, tak sebanding dengan rasa kecewa dan marah yang ia miliki. Lavi sendiri tak tahu jam berapa sekarang. Ada rasa kantuk yang mulai menyerang. Ia pun beringsut lambat ke sudut yang tersedia kasur lantai, yang bisa ia pergunakan sekadar menutup mata meski sejenak.
Baru saja ia merebahkan diri meski disertai ringisan dan gerak hati-hati, karena bagian dadanya yang masih terasa nyeri agar tak terlalu bergesekan dengan kain, pintu ruangan itu terbuka dengan lebar. Cahaya terang dari luar ruangan langsung masuk dan membuat mata Lavi agak menyipit. Ia juga segera bangkit dari rebahnya. Setelah berhasil menguasai keadaan, Lavi mulai memfokuskan matanya pada sosok yang berdiri di ambang pintu.
“Kangen gue, Neng?”
Lavi langsung melangkah dengan lebarnya. Tangannya mengepal kuat dan siap sekali dilayangkan pada wajah sang pria, tetapi … gerak tangannya ditahan begitu saja.
“Wow! Abang suka cewek agresif!”
“Berengsek!”
“Jangan lupakan bahasa makian ini dipergunakan berbarengan dengan desahan.” Pras berkata lengkap dengan seringainya. Ia pun melangkah mendekat yang mana membuat Lavi mundur beberapa langkah. Ia juga meronta agar cekalan tangan itu dilepaskan.
Apa Pras lakukan?
Tentu saja tidak.
“Ikut gue!” perintahnya tanpa bisa dibantah.
“Lepas, Berengsek!”
Pras tak peduli.
“Sialan! Preman Gila!”
Pras menikmati cacian itu, tapi terus menarik Lavi dengan kuatnya. Seperti tahanan yang siap disiksa kapan pun ia inginkan.
“Lepas, b******n!”
“Gue sudah cukup sabar, ya, Neng. Kalau sampai lo maki gue sekali lagi, jangan sesali kalau malam ini gue kasar sama lo!”