Lavi menggigil bukan lantaran dingin yang menyapa permukaan kulitnya. Tapi karena sakit yang mendera di sekitar d**a. Rasa ngilu itu membuat hampir seluruh tubuhnya terbakar. Ia bahkan tak berani sekadar melirik pada bagian luka yang terasa perih serta sakit sekali ini.
“Kurang ajar!” desisnya tak terima. Tangannya terus mengepal untuk membantu melenyapkan muak yang semakin membumbung tinggi. Hanya pada satu sosok yang meninggalkan ia begitu saja di ruangan pengap penuh dengan asap rokok itu. Pria yang sudah ia ikrarkan untuk dibenci sepanjang usianya.
Sekali lagi, ia meringis kesakitan.
Tak lama setelah ditinggalkan tadi, ada seorang wanita bertampang dingin dan kaku menghampirinya. Bukannya bertanya apa yang Lavi rasakan, malah Lavi dapatkan satu jambakan kuat hingga ia merasa, banyak helaian rambutnya lepas.
Sialan wanita itu!
Ditahan segala sakit yang dirasakan sekarang. Jangan sampai ada jeritan meminta belas kasih, karena Lavi yakin, semua orang yang ada di tempat ini tak memiliki hati.
“Gue bisa jalan sendiri!” hardik Lavi tak terima. Berusaha melepaskan diri tapi kekuatan wanita itu cukup kuat. Apa dia wanita jelmaan pria? Tapi tidak. Wajahnya dirias dengan make up yang cukup tebal. Pemilihan warna merah pada bibirnya semakin mempertegas kalau wanita ini tak ingin berurusan dengan Lavi. Apa Lavi ingin bertemu wanita ini?
Mana mungkin!
“Jangan banyak omong! Ikut saja!”
“Lepas!!!” Lavi mencekal tangan yang masih menjambak rambutnya itu.
Si wanita tadi, melirik sekilas lalu menyeringai tipis. Dalam sekali tarikan, ia sedikit membuat Lavi terhuyung dan terjatuh menubruk tembok yang ada di samping kanannya.
“Sudah gue lepas,” katanya dengan kekehan.
Lavi menatap si wanita dengan sorot tajam dan ia ingat baik-baik wajah yang kini berjalan dengan angkuhnya. Suatu saat nanti, akan ia balas perlakuan kasar wanita ini. Dari gerak jemarinya yang terkesan meremehkan, ia ingin agar Lavi mengikutinya. Lavi pun segera bangkit seraya berdecih tak suka. Meski gemetaran karena sakit yang mendera dadanya semakin terasa.
Sementara wanita tadi, Tari namanya, berjalan dengan dengusan kesal. Ia tak menyangka kalau ada wanita baru di rumah empat lantai yang dijadikan markas Naga Kembar.
Rumah milik sang penguasa Bagian Selatan, pemilik klan Naga Kembar, Benjamin Noah Prasetyo, atau yang lebih senang dipanggil ‘Pras’. Sang pemimpin yang dikenal kejam. Tak peduli apa yang menghalangi. Kalau tujuan itu sudah ia tetapkan maka kemenangan harus ada di tangannya. Pemimpin Bagian Selatan yang disegani baik kawan juga lawan. Menguasai wilayah yang cukup luas di Bagian Selatan ini.
Semua kegiatan dunia penuh dengan kegelapan; narkoba, perjudian, prostitusi, klub malam, korupsi dengan banyak pihak untuk melancarkan urusan, pembunuh bayaran, pengawal bayaran, serta banyak lagi yang lainnya, dipimpin oleh Pras langsung. Ia bahkan tak segan untuk turun tangan begitu ada masalah yang melibatkan Bagian Selatan.
Tari membenci gadis yang berjalan di belakang meski tak ia kenali namanya. Ia tak sudi berjabat tangan dengan gadis ini. Bahkan nantinya, akan ia tunjukkan siapa yang berkuasa di rumah besar ini. Terutama karena Tari adalah wanita yang paling dekat dengan Pras saat ini. Keadaan itu berjalan sudah hampir dua tahun lamanya. Tari bisa merasakan banyak keuntungan berada di dekat Pras terutama dalam hal kuasa.
Siapa yang tak mengenal Tari? Wanita dari Pras yang disegani? Pras tak pernah berkunjung ke ruangan lain selain milik Tari. Wanita yang ada di rumah ini ada beberapa, tapi semuanya patuh pada perintah Tari. Namun, ia merasa kedatangan gadis yang tadi ia temui, sangat mengganggunya.
Bagaimana tidak?
Dua jam sebelum kedatangan Lavi.
Satu demi satu Tari melucuti pakaiannya. Bergerak sesensual mungkin untuk menarik perhatian Pras yang duduk di tepian ranjang. Mata sang penguasa menatapnya lekat. Hal itu juga yang membuat Tari bersemangat untuk terus menggoda Pras. Lagi pula, sudah hampir seminggu Pras tak pulang. Katanya, ada urusan di Bagian Timur. Dan orang yang pertama dikunjungi Pras adalah Tari.
Siapa yang tak berbunga-bunga mendapatkan perlakuan sespesial ini dari penguasa yang terkenal namanya sampai penjuru wilayah?
Kimono yang dikenakan sebagai pelapis terluar dari lingerie, menyapa lantai dengan gerak yang demikian lambat. Sengaja. Meski nantinya Pras bermain dengan kasar, Tari menggoda dengan kelembutan yang ia miliki.
Dadanya yang hanya separuh terbungkus kain tipis berwarna merah, tersembul menantang. Tari tahu kalau Pras paling suka menyentuh bagian tubuh yang sedang dipamerkan itu. Bagaimana remasan serta pijatan lembut yang nantinya akan Tari terima dari Pras, sudah membuat hilang akal. Tapi Tari tak ingin segera melempar diri dan langsung menuju inti permainan mereka yang penuh dengan desah nantinya.
Sabar.
Tari masih ingin meliuk penuh godaan tepat di depan Pras. Di bawah pencahayaan lampu kamar yang temaram, justru menambah nilai intim di antara mereka berdua. sengaja Tari mengusap lengannya dengan sesensual mungkin. Kakinya yang jenjang juga ia buat melangkah dengan gerak dramatis. Hingga akhirnya langkah itu terhenti di depan Pras.
“Aku kangen,” kata Tari sembari menunduk, berbisik, dan membiarkan sorot mata Pras jatuh pada belahan dadanya. “Abang kangenkah?”
Tangan pria itu langsung menahan pinggang Tari agar tak banyak bergerak. Sedikit mengangkatnya untuk duduk di pangkuan Pras. Hal ini langsung membuat Tari tersenyum lebar.
“Enggak sabar, ya, Bang?”
“Menurut lo saja?” Tangan satunya, Pras gunakan untuk meremas d**a yang sejak tadi menantangnya untuk disentuh. “Gerak di atas sini. Jangan diam,” perintah Pras.
Ucapan itu langsung disetujui oleh Tari. Akan tetapi, sebelum jemari lentik Tari berusaha untuk meraih kepala gesper yang menahan jeans yang Pras kenakan.
“Buka dulu, Abang,” bisik Tari selembut mungkin.
Pras membiarkan jemari itu melucuti celananya. Tangannya sudah menemukan mainan baru; selain d**a Tari yang memang ia sukai untuk dipermainkan, jangan lupakan b****g sintal yang sejak tadi juga sudah menggodanya untuk diremas. Maka, itulah yang ia lakukan.
Begitu usahanya membuahkan hasil, Tari menyeringai. “Sepertinya, memang ada yang kangen berat.”
“Jangan terlalu banyak bicara. Cepat puaskan.” Pras langsung meraup bibir Tari dengan ciuman penuh nafsu. Tak memberi jeda sedikit pun bagi si wanita untuk sekadar mengisi paru-parunya. Ditahannya tengkuk Tari agar bisa ia perdalam ciumnya.
Sementara di atas pangkuan Pras, Tari mulai bergeliat menggoda. Membuat sesuatu yang sejak tadi sudah menegak, semakin menegang karena gerakan Tari.
Ciuman itu dilepaskan begitu saja. Sebuah keuntungan bagi Tari, karena akhirnya bisa mengambil udara sebanyak mungkin. Tapi sepertinya, Pras hanya memberi sedikit sekali kesempatan untuk Tari bernapas lega. Ketika ujung lidah Pras gunakan untuk menyapu permukaan d**a Tari, ia merasa sensasi yang begitu didamba.
Permainan Pras baru dimulai.
Dan Tari tahu kapan akan berakhir. Sampai mereka berdua benar-benar kelelahan, lalu bangun esok harinya.
“Abang!” desah Tari begitu salah satu dadanya memenuhi mulut sang pria. Tangannya tak kuasa untuk menahan diri dari sekadar menyentuh rambut Pras yang ikal tebal ini. Aroma maskulin dari sang pria sudah sejak tadi memenuhi indra penciuman Tari. Serupa candu yang terus membakar Tari agar bisa mengimbangi gerak Pras, Tari semakin bersemangat untuk menggodanya.
Meski mereka belum memasuki satu sama lain, sungguh, ini sudah membuat Tari setengah gila.
Tari menggeram tertahan. Lumatan yang dadanya terima berubah menjadi isapan yang kuat. Seperti seorang bayi yang kelaparan akan makanan dari tubuh sang ibu, maka itulah yang Pras lakukan. Mengisap sekuat tenaga. Meski agak sakit, tetap memberi sensasi yang membuat Tari semakin pening.
Ia sudah tak sabar untuk segera dihujam di bagian bawah sana. Tari juga yakin kalau Pras pasti menunggu hal ini. Maka sekali lagi, jemari lentik itu ia arahkan pada bagian intim yang Pras miliki. Tegang. Mengacung tegak. Kuat. Dan pastinya membuat Tari mendesah hebat. Memenuhi kamarnya ini dengan banyak nama Pras ketika mereka bersatu nanti.
Namun ….
“Bos!”
Pintu terbuka begitu saja. Tari langsung memeluk Pras dan menyembunyikan wajahnya. Meski dirasa tak perlu, mengingat semua orang juga tahu dengan pasti apa yang mereka lakukan berdua di kamar ini, Tari tetap tak ingin diketahui wajahnya yang dibakar gairah.
“Sejak kapan masuk ke kamar ini tanpa izin?” kata Pras dengan nada tak suka. “Ganggu gue saja!”
“Maaf, Bos.” Sejak melihat apa yang bosnya lakukan, si pria tadi menunduk. Dan semakin menunduk karena suara sang bos kentara sekali kemarahannya.
“Ada apa?” Ia tak peduli dengan gangguan yang terjadi. Karena itulah Pras kembali melanjutkan kegiatannya. “Jangan berhenti bergerak, Tari. Lo tahu harus apa.”
Tari agak ragu, tapi tak mau membantah ucapan Pras. Ia pun kembali menggerakkan pinggulnya. Sementara Pras kembali mempermainkan d**a Tari juga memelintir ujung p****g yang sudah membusung menggoda ini.
“Kami sudah membawa gadis yang Bos incar,” kata Rudi, si pesuruh berkepala plontos dengan tindikan di telinga kanannya.
Gerak Pras berhenti begitu saja. Tanpa bicara sepatah kata pun, ia menyingkirkan Tari yang ada di pangkuannya. Dengan cepat juga Pras mengancingkan kembali celana.
“Di mana dia?”
“Di ruang kerja, Bos.”
Tanpa pamit, juga tanpa mengatakan apa pun, Pras pergi meninggalkan Tari dengan ribuan tanya.
Barulah Tari tahu, gadis seperti apa yang dibawa para pesuruh Pras ke sini. Tak akan Tari biarkan gadis ini menjadi ancaman di masa depan.
Tidak akan.
Tangannya mengepal kuat disertai dengan gigi yang beradu pertanda kekesalannya memuncak semakin tinggi. Ia juga tak bisa menemukan Pras di rumah ini. Rudi bilang, Pras menuju Diskotek Flown karena ada urusan.
Andai saja tak ada gangguan dari gadis yang Tari tahu masih mengikutinya, pastilah tadi ia sudah terbang ke nirwana dunia bersama Pras.
Sial sekali!
“Masuk,” perintah Tari dengan kasar.
Menunjuk pada satu kamar yang terletak di lantai dua rumah besar ini. Banyak yang tinggal di lantai dua ini termasuk para wanita simpanan lain yang jarang Pras kunjungi. Termasuk ia tempatkan gadis yang mengganggu kesenangannya ini. Sementara ia tinggal di lantai tiga di kamar yang cukup luas dan tertata indah. Di sebelah kamarnya sudah jelas adalah milik Pras.
Lavi menatap wanita itu dengan tatapan menghunus. Ia masih terdiam di belakang sang wanita. Melongok sekilas pada kamar yang akan ia tempati entah sampai kapan. Aroma pengap serta pencahayaannya sangat minim di sini.
“Masuk, gue bilang!” Tari menarik Lavi dengan sekali sentak. “Jangan banyak ulah atau lo tahu akibatnya!”
Lavi sama sekali tak bicara. Hanya matanya yang terus menatap Tari dengan tajam. Hal ini juga membuat kemarahan dalam diri Tari semakin besar. Membuatnya melayangkan tamparan cukup kuat pada wajah Lavi. Tari berharap ada ketakutan di sorot mata Lavi karena tindakannya. Sayangnya, hal itu tak terjadi.
Lavi justru semakin menantang Tari. Meski tangannya memegangi wajah yang terasa panas karena tamparan Tari barusan.
“Lo!” tunjuk Tari dengan murkanya. “Berani lo bertingkah di sini, gue enggak akan segan bikin lo tersiksa!”
Satu dorongan kuat Lavi terima sampai ia terjerembap. Persis sekali dorongan tadi juga mengenai dadanya yang makin terasa ngilu. Lalu, pintu itu tertutup begitu saja dengan suara bantingan yang cukup keras. Baginya, pintu itu serupa dengan jalan kebebasannya. Yang kini sudah tak ada lagi cahayanya.
Sama seperti dirinya yang kini memeluk kaki. Menangis, memikirkan nasib buruk apa yang akan menimpanya. Entah sampai kapan ia akan berada di sini. Rasanya, Lavi ingin memilih untuk mati saja.
“Semua ini karena Ayah!” desisnya di antara derai air mata yang sejak tadi menguasai.
“SIALAN!!!”