“GAS, jangan marah dulu dong! Gue bahkan belum jelasin apa-apa sama lo. Dengarin gue dulu!” kata Denta sambil berusaha menyamakan langkah keduanya, walau agak kesusahaan. Sementara Gasta hanya melirik Denta sekilas. Semakin mempercepat langkahnya, tanpa mengatakan apa pun. Denta malah semakin ketar-ketir sendiri, melihat sikap dingin cowok itu.
“Gasta! Jalannya jangan cepet-cepet dong! Gue nggak bisa ngejar elo, karena gue pakai gaun,” Denta mulai mengoceh. Dia jadi kesal karena Gasta sama sekali tidak merespon. Bahkan menoleh ke belakang saja tidak. Karena Gasta bersikap cuek, Denta langsung berlari cepat, mengambil inisiatif dengan menghadang tepat di depan cowok itu. Denta berusaha memperlihatkan raut wajah semelas mungkin.
“Gue minta maaf! Please, dengerin penjelasan gue dulu!” katanya sambil memegang tangan cowok itu.
“Kenapa gue harus dengarin penjelasan lo?”
Denta bungkam begitu pertanyaan bernada dingin itu keluar dari bibir Gasta. Baru saja Denta hendak bicara lagi, namun suaranya seolah tercekat di tenggorokan. Gasta menepis tangan Denta dengan sangat kasar.
“Kenapa gue harus dengerin penjelasan lo?” Gasta mengulang kalimat dan meneruskannya, “Kenapa? Apa pentingnya buat gue, Nta?”
“Gue tau lo marah. Tapi bukan kayak gini! Dengerin gue ngomong dulu! Gue berani sumpah, gue nggak ada niat buat ciuman sama Na--”
Gasta mendecak, menarik senyuman sinis. “Nggak ada niat? Bukannya tadi lo terima-terima aja pas Naufan cium kening lo. Kenapa lo nggak marah?”
Denta menipiskan bibir, menarik diri agak menciut. “Gas, itu tadi karena masih di panggung, gue--” Cewek itu jadi kelabakan, bingung dan panik hendak menjelaskan apa.
“Lo sendiri yang bilang ke gue, nggak ada adegan pelukan, apalagi ciuman kayak di drama yang lain,” katanya dengan dingin. Denta semakin takut ketika tatapan penuh intimidasi itu menyorot tajam ke arahnya.
“Kalau gue tau dari awal bakalan kayak gini, gue nggak bakal izinin lo ikut drama itu,” sambungnya sarkas.
“Iya gue--”
“Woi, Gasta!”
Gasta langsung menoleh, sementara Denta jadi mengatupkan bibir dan merutuk kecil.
“Ada Denta? Ya elah, ini couple ya, nggak di mana-mana, dipakai buat pacaran ter--” Kalimat Karrel terhenti ketika Gasta tiba-tiba berbalik, melesat ke sampingnya dan menarik lengannya pergi, membuat Karrel jadi terbengong-bengong. “Lah, mau ke mana sih? Eh, Gas, gue belum selesai ngobrol sama Denta.”
“Nta, drama putri tidur lo tadi keren abis sumpah. Totalitas banget!”
Gasta mendecak, kembali menyeret Karrel agar segera menjauh. “Bacot lo Rel!”
Karrel mendelik. “Apa sih, Nyet? Kok lo ngatain gue bacot? Gue kan cuma lagi muji penampilan cewek lo tadi. Masa gitu aja lo cemburu?” celoteh pemuda bule itu.
Sampai Karrel teringat sesuatu. “Oh ya, Gas, gue salut deh sama lo. Lo bisa gitu, profesional abis. Nggak marah waktu cewek lo dicium sama Naufan tadi. Keren, Nj*r, keren. Kalau gue yang jadi lo, udah gue obrak-abrik deh panggungnya tadi,” cerocosnya.
Gasta mengumpat, refleks menendang b****g Karrel dengan sebal. “Keren pala lo! Ini gue juga lagi marah, Nj*ng, gara-gara ada adegan ciuman itu.” Karrel yang masih meringis sambil mengelus bokongnya jadi kicep seketika. Matanya jadi membelalak dengan sempurna.
“Lah?”
***
GASTA duduk menyila di gelaran tikar yang ada di depan tendanya bersama Karrel, Azka, Vian dan ketiga bala pasukannya. Suasana di sekitar tenda masih sepi, mengingat para murid masih berada di dekat panggung, untuk melihat pentas seni yang belum juga selesai sejak tadi. Pemuda itu menopang kepalanya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya tidak berhenti mengotak-atik ponselnya. Masih berharap banyak bahwa Denta akan menelpon, atau paling tidak mengirimkan pesan padanya.
“Jadi, lo sama Naufan bakalan acting ciuman sama pelukan gitu?” protesnya sambil membaca naskah yang dipinjamkan Denta untuknya.
“Ya, nggaklah.”
“Di naskah kayak gitu,” pekiknya lantang.
“Nggak, Gas. Alvaro juga nggak izinin kok ada adegan begituan. Palingan cuma Naufan disuruh dekatin wajahnya sama gue. Udah itu aja.”
“Serius?”
“Serius elah. Lagian siapa juga yang mau sih dicium Naufan?”
Pemuda itu merutuk kecil, merasa tertohok mengingat kalimat itu. Gasta memejamkan mata sejenak, lalu mengembuskan napas sambil membukanya. Mulai menyesali, mengapa saat itu mengizinkan Denta untuk mengikuti drama ini dan menjadi pemeran utamanya?
Sejak awal harusnya dia tau, bukan cuma Aryan saja yang pantas untuk dia cemburui, tapi Naufan juga. Dia tidak kalah tampannya seperti Aryan. Presentasi untuk Denta naksir sama Naufan itu 50%. Meski masih kalah 15 angka dengan Aryan yang 65%. Tetap saja Gasta takut, jika keduanya sedang cinlok gara-gara drama ini.
“Gue tadi udah kayak PHO,” protes Karrel tiba-tiba. “Harusnya ya, Gas, tadi itu lo dengerin dulu penjelasan Denta. Kali aja emang ciuman itu bukan kemauan dia,” kata Karrel sambil menyerahkan gitar dari pangkuannya ke Leo.
Pemuda itu menipiskan bibirnya sesaat. “Gue justru terimakasih sama lo. Gue nggak bisa marah sama Denta. Gue nggak tega lihat dia mau nangis tadi. Tapi gue kesel sama dia,” sambungnya pelan. Karrel jadi gemas sendiri melihatnya.
“Makanya, dimaafinlah, b**o,” omel cowok itu.
Gasta mendelik protes. “Gue masih marah. Gimana mau maafin?” ujarnya kesal.
Karrel melengos keras. “Ini cuma drama doang, Gas. Gue yakin kok, dia nggak pakai hati alias baper. Denta sayang banget sama lo. Makanya dia ngejar lo tadi, buat jelasin semuanya.”
“Dasarnya aja lo yang peka. Cewek baru mau jelasin, tapi ditinggal pergi duluan,” sambung Karrel kesal.
“Kalau Naufannya yang baper ke dia, terus gimana?” tanyanya.
“Yang penting kan Denta masih setia sama lo,” balasnya.
Gasta mendecak tak suka. “Kok lo jadi belain dia sih?”
“Karena Denta emang bener. Udahlah sini, oper ke gue aja! Biar gue bahagiain si dedek.”
Mata Gasta sontak melotot. “Lo masih naksir cewek gue, Rel?”
Karrel terkekeh. “Ya, nggak apa kan, Njir, ketimbang lo bikin dia nangis mulu. Kali aja Denta mau gue jadiin pacar kedua,” celotehnya tenang.
“Stres,” umpatnya.
“Apaan sih? Ngapa daritadi gue perhatiin, ngomongnya pakai urat terus sih?” tanya Azka ingin tau, bersama yang lain jadi menghentikan obrolan dan bergabung dengan Gasta serta Karrel.
“Ini nih, Gasta jealous sama Naufan,” jawab Karrel. Gasta jadi tidak tahan, untuk tidak menabok kepala cowok itu.
“Oh yang tadi. Yang Denta dicium sama Naufan di panggung?” kata Azka, membuat Gasta semakin geram saja dibuatnya.
“Jangan kayak cewek deh, Gas. Dikit-dikit ngamuk, galau, ambyar. Maafan aja!” kata Alex.
“Naufan doang elah, Gas. Bukan Aryan kan? Lo kan cemburunya cuma sama Aryan, Nyet,” celoteh Leo tiba-tiba.
Karrel melengos. “Naufan ganteng juga kali slur. Wajar aja Gasta takut kalau Denta berpaling.”
Gasta mencebikkan bibir. “Denta dicium cowok lain, gue ngamuk, nggak salah kan?”
“Kalau lo ngamuknya sampai ngancem mau ngarak Denta keliling bundaran HI, pakai baju ondel-ondel, ya salah kali, Gas,” cerocos Vian nyamber.
“Nggak gitu juga kali, Yan,” protesnya.
“Tenang slur tenang!” kata Vian.
“Emangnya, Denta nggak izin dulu sama lo, kalau di drama itu bakalan ada adegan ciuman sama Naufan?”
Gasta melengos mendapati pertanyaan dari Alex. “Denta bilang, nggak bakal ada adegan begituan. Makanya gue bolehin.”
“Nah, kali aja emang begitu. Denta emang nggak tau apa-apa soal ciuman itu. Tapi Naufan malah manfaatin kesempatan, gara-gara tau lawan mainnya itu cantik,” kompor Leo.
“Iya, kapan lagi ciuman sama cewek cantik,” sambung Nugraha.
“Nggak deh. Dari mukanya aja, gue tau Naufan cowok baik-baik. Lagian, setau gue, dia itu nggak naksir sama Denta. Malahan dia udah punya cewek anak satu sekolah gue,” kata Karrel mencoba memberi penjelasan.
“Terus, kenapa mereka bisa ciuman?”
“Nggak sengaja kali. Niatnya cuma mau dekatin muka aja. Eh, malah keblabasan,” jawab Azka tenang.
“Samperin sono ke tenda cewek lo! Dengerin dulu penjelasan dia. Emang lo mau putus sama dia, cuma karena masalah begini doang?” ujar Alex.
Azka mengangguk setuju. “Kalau dia free, Aryan bakalan ada kesempatan besar buat dekatin cewek lo. Emang lo mau apa? Kalau gue sih ogah.”
“Sekarang aja, Denta bareng Aryan terus,” katanya pelan.
“Eak, cembokur, Pak?Pepetlah! Jangan sampe ketikung,” pekik Karrel dengan semangat empat lima.
“Kenapa gue jadi cerita sama lo sih?” Gasta melirik Karrel sewot.
“Nggak apa. Gue maklumin. Gue emang nyaman diajak curhat, karena hati gue sehangat mentari.” Gasta cuma bisa beristighfar saja melihat kenarsisan Karrel. Sementara yang lain justru tertawa sambil menggeleng.
“Terus, gue harus gimana?”
“Samperin ke tendanya sono!”
“Masa iya gue yang ngambek, harus gue juga yang nyamperin?” protesnya.
“Dia bahkan nggak chat gue. Nggak ada niat jelasin apa-apa,” kata Gasta lagi.
“Itu karena dia kesal, gara-gara lo ngamuk nggak jelas tadi.”
“Gue ngamuk ada alasan yang jelas kali, Rel.”
“Ngalah aja dulu sobatku! Denta itu cewek. Kali aja dia nggak mau hubungin lo, gara-gara takut kalau lo bakalan ngamuk-ngamuk lagi.”
“Gitu ya?”
“Iya! Pokoknya tugas lo sekarang samperin Denta! Dengerin apa pun yang mau dijelasin Denta. Harus sabar! Jangan ngamuk.” Gasta mengangguk saja tanpa bantahan. “Harus baikan loh!”
Mereka sama-sama diam setelahnya. Memandang ke arah depan, ke arah laut yang luas lebih tepatnya, yang menyegarkan untuk di pandang. Sampai Gasta melirik gerombolan para cewek-cewek dari SMA Cendrawasih yang melewati mereka dan terang-terangan memandang ke arahnya dan tersenyum. Dia pun segera membuang muka. Berbeda dengan Nugraha dan Vian yang justru menggodai mereka.
“Dilihatin cewek-cewek biasa aja! Jangan jutek!”
“Gue biasa aja,” balas Gasta, “Lagian lo juga jutek.”
“Gue jutek tapi beda sama lo. Ngapain lo buang muka? Padahal mereka lagi nyapa lo. Tapi nggak lo jawab. Sombong pisan.”
“Males. Gue nggak suka aja. TakutDentamarah,” balasnya tenang.
Karrel mengambil napas panjang dan mengembusnya perlahan. Seperti ada beban berat di hatinya mendengar kalimat itu. “Hati gue juga buat Retha seorang. Meskipun gue ramah ke setiap cewek, tapi cuma Retha yang gue sayang.”
“Gue cuma nggak mau Denta sakit hati, kalau sampai dia tau, gue senyum ke cewek lain selain dia.”
***