Tahun 2006 bulan Juni tepat malam Jum'at minggu ke-3. Malam itu jalanan cukup sepi dan kendaraan yang tidak sepadat malam biasa, tidak terlihat kendaraan yang berjalan merayap karena semua perjalanan lancar-lancar saja tanpa hambatan.
Seorang laki-laki perawakan tinggi menunggu tunangannya di seberang jalan tempat wanita yang ia tunggu sedang mengajar untuk les malam anak didiknya bermain biola. Tepatnya adalah sebuah studio yang sengaja disewa oleh orang tua anak didiknya, dan pada hari itu memang jadwal mengajarnya pada malam hari maka ia harus mengajar memang malam sekali.
Laki-laki itu bernama Junni Deosan sabar menunggu menunggu sambil memperhatikan pintu masuk dari studio yang ada di seberang jalan tempat ia menunggu, sambil duduk di kap depan mobilnya dengan satu buket bunga mawar merah sebagai pengingat dua minggu lagi mereka akan melaksanakan akad nikah dan meresmikan pernikahan . Ia mengechack jam di atas, melihat waktu yang sudah sedikit larut dari biasanya, tapi ia yakin tidak lama lagi wanita yang ia wait akan keluar.
Namun, dibeberapa menit setelah ia melihat kemacetan, Junni melihat seorang wanita yang tengah diseret paksa oleh empat orang laki-laki.
“ KAK LEPAS! AKU TIDAK MAU JADI PEMBAYAR HUTANG MU! LEPASKAN AKU! ARGHH…! ”Teriakan wanita itu mengalihkan perhatian laki-laki yang sedang bersandar di pintu mobilnya tersebut.
“KAU DIAM! BISA TIDAK! UNTUK APA GUNANYA WAJAH CANTIK DAN BADAN YANG BAGUS KALAU KAU TIDAK MAU MEMBANTU KAKAKMU! ” bentak pria yang mencintai wanita itu, ia terlihat marah pada wanita yang dia seret itu terus memberontak tidak dapat dilepaskan. Wanita itu memberontak terus saja pada saat diseret. “YUNNA! JANGAN BANYAK MEMBERONTAK! ” teriak pria itu lagi karena wanita yang ia sebut bernama Yuuna itu-lompat menginjak kaki pria yang dia bilang kakaknya tersebut.
“ROMI LEPASKAN AKU!” teriak Yuuna tidak kalah nyaringnya. Beruntung itu daerah yang memang tidak banyak bangunan perumahan karena itu adalah daerah studio yang agak jauh dari keramaian tetapi masih di dalam kota.
Mereka selalu bekerja sama dengan wanita bernama Yuuna itu dengan kini salah satu dari teman-teman dari pria itu membekap mulut Yuuna, begitu begitu Yuuna tetap berusaha melarikan diri dengan berbagai upayanya.
Junni yang melihat kejadian yang tidak jauh dari itu, Junni pun berinisiatif untuk membantu wanita bernama Yuuna itu.
“ Ini kejahatan kejahatan, ” pikirnya. Junni bangkit dari duduknya di atas kap depan mobilnya sendiri dan beranjak menghampiri orang-orang yang sedang dikirimi wanita tadi, dan akan mencoba berbicara dengan baik-baik untuk meminta maaf kepada wanita itu dilepaskan.
“Lepaskan dia, saya dengar dia memanggilmu kakak tadi,” tegur Junni dengan baik-baik.
“Bukan urusanmu‼ Dia adikku atau bukan‼ enyah kau‼” jawab Romi dengan kasar teguran Junni yang tidak jauh di depan jalannya di atas trotoar.
“Kak…, tolong saya… di-dia mau menju-al sa-ya…” ujar Jisu itu dengan gagap karena takut akan manambah kemarahan Romi karena Romi masih dipiting oleh Romi dengan erat, beruntung mulutnya tidak lagi ditutupi oleh tangan bau rokok teman Romi.
“Dengar… dia minta tolong, kemana kemanusiaanmu ingin menjual adikmu sendiri,” tegur Junni santai.
“Sudah kukatakan bukan!? Ini bukan urusanmu‼ jangan ikut campur atau kau akan menyesal,” seru Romi dengan smirk di wajahnya.
“Huh! Orang kaya Rom…!” tegur salah satu teman Romi.
“Tentu saja, maka dari itu dia mudah saja berkata, karena dia punya banyak uang__,” ujar Romi sambil memandang menyelidik kearah si laki-laki, “kau orang kaya,” sambungnya.
“Lalu?” tantang Junni dengan senyum miring di bibirnya.
“Boleh saja aku melepaskannya, tapi untukmu,” kata Romi santai sambil terkikik senang.
Junni memandang Romi dengan pandangan bingung. “Maksudmu?” tanya Junni.
Mereka malah tertawa dengan keras, “HAHAHA‼! Ternyata dia bodoh Rom!” ucap salah satu teman Romi.
“Kau benar dia bodoh!” kata Romi menyetujui mengatai Junni bodoh. “Huh kau! Kau memberinya bodoh!” bentak Romi menatap nyalang pada Junni dengan satu alisnya terangkat. “Kau tentu saja sanggupkan?” goda Romi pada Junni.
Junni menatap datar orang-orang di depannya. Tepat sebelum Junni membalas perkataan Romi, suara Yuuna lebih dulu menyelanya, “b******k KAU ROM‼! Lepaskan aku…!” brontak Yuuna dari pitingan Romi yang kuat sekali di tangannya.
“DIAM KAU JALANG!” bentak Romi karena Yuuna mulai memberontak lagi.
“Baiklah aku akan membayarnya lalu lepaskan dia,” ujar Junni dengan santainya.
Sedangkan Yuuna yang masih dipiting oleh Romi melotot tidak percaya ada orang yang begitu mudahnya berkata akan menebus dirinya.
Junni yang tetap kukuh ingin membantu Yuuni, dan ia bersedia menebus Yuuna dari Romi.
Si kakak tersenyum licik dan berkata, “Baiklah aku akan melepaskannya, dan beri aku 100 juta sekarang!” pinta Romi.
“ROM KAU GILA! AKU BUKAN BARANG!” bentak Yuuna yang masih mencoba melepaskan pitingan di tangannya yang sudah sakit dari tadi.
Junni tetap santai dan menatap datar Romi dan kawan-kawannya. “Baiklah tunggu sebentar,” ujar Junni kemudian ia mengambil handphonenya dan menelpon seseorang, “bawakan sekarang uang 100 juta,” perintahnya pada seseorang yang ia telpon, “bawa ke tempat Syahila mengajar, secepatnya…” seru Junni memerintah dengan nada tegas. Lalu ia pun menutup handphonenya. “Tunggu sebentar orang suruhanku akan membawakan uangnya ke sini,” ujarnya menyakinkan.
“Rom… bukannya jumlah segitu terlalu sedikit? Dia bahkan dengan mudahnya meminta uang 100 juta dari sebuah panggilan,” bisik salah satu teman Romi.
Romi ternyata tidak sabaran dan ia memilih untuk mengambil barang yang ada pada si laki-laki yaitu mobil, dompet dan handphone. “Omong kosong! Itu terlalu lama, kau bisa saja menipu dan membawa polisi ke sini‼” berangnya pada Junni karena Romi malah mengira bahwa Junni hanya membual belaka.
Bertepatan dengan ke tiga orang itu ingin merampas kunci mobil dan barang berharga si laki-laki. Syahila wanita yang di tunggu si laki-laki melihat yang sedang terjadi di seberang jalan tempat ia berdiri. “KAK JUNNI‼! HEY‼! KALIAN! SIAPA KALIAN‼!” teriaknya karena ia mengira bahwa Junni sedang dipalak oleh kawanan preman yang sering ada di sekitar jalan studio itu. Syahilla segera berlari menghampiri si laki-laki yang ia panggil Junni.
“Lihat Rom… ada yang tidak kalah cantiknya,” sebut salah satu rekan Romi sambil menyenggol bahu Romi saat mendengar suara terikan dari Syahilla tunangan Junni.
“Wah… ini juga menarik Rom,” goda rekan Romi yang lain.
“Kalian benar, ada satu lagi, bisa nambah berharga ni,” ujar seorang yang tadi membekap mulut Yuuna.
Senyum Romi mengembang melihat wanita cantik dengan pakaian tertutup serta hijab maroon sebatas d**a. “Waw, bertambah satu lagi bagus juga kalau kita bawakan?” ujarnya melihat wanita bernama Syahila.
Melihat tunanganya yang terancam juga dan sudah dilecehkan secara verbal oleh Romi dan kawanannya, Juni bertindak. “Jangan coba-coba menyentuh tunangan saya!” kecam Juni pada Romi dan kawanannya dengan nada dingin dan wajah datar menatap tajam Romi.
Romi dan kawanannya tersenyum bangga. “Kau hanya sendiri, sudah jangan banyak bicara berikan kunci mobil, handphone dan dompet mu!” pinta Romi pada Junni.
Junni mundur selangkah mengambil ancang-ancang menyerang akan memulai perkelahian, dan pada saat itu Syahila sampai ke seberang dan langsung saja salah satu rekan Romi maju untuk menodongkan Syahilla dengan pisau pada leher Syahilla dan tidak lupa tangan Syahilla kini pun dipiting olehnya. “Jangan memulai kehebohan, kalau tidak mau pisau ini ada darahnya,” ujarnya.
Padahal niat hati Syahilla adalah ingin membantu Junni menjadi penengah dan pelindung Junni karena menurutnya ia lebih mengenal tempat itu dari pada Junni sendiri. Tetapi itu adalah sebuah kebodohan karena kini ia malah ditodong dengan pisau tajam di lehernya yang tertutup kain hijab pasmina.
Sedangkan Yuuna menghela nafasnya loyo karena malah bertambah korban, karena dirinya saja belum lepas dan masih dipiting oleh Romi.
Junni melihat itu merasa geram dan khawatir wanita tercintanya dalam bahaya, lalu dengan mencoba tenang Junni mengambil kunci mobil, dompet dan handphonenya untuk diberikan pada Romi. Benda-benda yang diinginkan sudah di rampasnya. Dan pada saat itu Syahila meberontak ingin dilepaskankan, dan menyikut yang menodongnya membuat tangan yang memegang pisau tersebut benar-benar menyayat leher Syahila. Pisau itu sangat tajam dan melukai kulit Syahilla dengan dalam di lehernya. Syahilla otomatis memegang lehernya yang sudah berdarah dan nafasnya tercekat, pandangannya mulai memburam, ia sudah pening. Suara teriakan ia dengan dan ia yakin itu adalah suara dari Junni. Karena luka itu cukup dalam menyayat leher Syahilla, Syahilla rubuh ke aspal saat itu juga.
Melihat itu Junni dan yang lainnya terkejut. “Kau melukainya‼! b******k‼” bentak Junni dengan keras. “SYA…‼!” teriak Junna.
Laki-laki yang memegang pisau pun tidak kalah kaget, “Aku tidak sengaja boss!” ucapnya pada Romi.
“Syahila‼” teriak Junni, Junni ingin mendekati Syahilla yang tergeletak dengan darah yang menggenang, melihat itu pergerakan Junni, Romi pun melepaskan pitingannya pada Yuuna lalu kemudian mendorong Yuuna kearah Junni dan tepat menubruk tubuh Junni, saat itu bertepatan di jalan tersebut melintas sebuah truk knoteiner berukuran sedang yang mengangkut barang pada malam hari dan dengan berkecepatan sedang karena dalam keadaan sunyinya jalan. Dalam sekejap tubuh Junni dan Yuuna tertabrak. Juni mendapat benturan yang sangat keras di kepalanya dan Jisu terpental dengan luka-luka berat di sekujur tubuhnya.
Romi dan kawanannya tidak menyangka dengan apa yang baru saja terjadi, mereka melihat dengan jelas dua tubuh itu tertabrak dengan mengenaskan terpental jauh. Romi kemudian sedikit panik karena ia tidak menginginkan kejadian itu terjadi, ia melepaskan kunci mobil dan barang-barang berharga milik Junni dengan sembarang. Mereka tentu juga sadar bahwa mereka telah pelaku kejahatan karena telah membunuh dan menyebabkan dua orang tertabrak dengan mengenaskan oleh truk. Kemudian mereka memilik bergegas pergi dari lokasi kejadian, serta mobil yang menbrak ikut kabur tak ingin bertanggung jawab.
Beberapa menit berikutnya di jalanan sunyi itu, orang suruhan Junni untuk membawa uang tadi tiba dan keget dengan kondisi lokasi tersebut. Ia langsung menghampiri Junni yang sudah tidak sadarkan diri. “Pak? Astaga! Pak! Bangun Pak!” panggil anak buah Junni tadi sambil menepuk-nepuk pipi sang bos. Sadar bahwa wajah, kepala dan seluruh tubuh Junni terdapat banyak darah. Iapun dengan segera menelpon seorang untuk membawa ambulance ke lokasi kejadian.
“Halo! Bawa ambulance ke lokasi studio Ambarawa Road!” perintah anak buah Junni dengan tegas dipanggilan tersebut.
“To-long…” suara pelan tapi tetap terdengar di tempat sesunyi itu. suara itu mengalihkan perhatian anak buah Junni tadi. Ia meletakkan kepala Junni dengan hati-hati dan menghampiri suara yang meminta pertolongan itu. Suara itu milik Yuuna yang masih sadar tapi dalam kondisi yang tak kalah mengenaskan dari bosnya. Yuuna masih memiliki kesadaran karena ia tidak terpental sejauh Junni yang berada di belakangnya saat tertabrak tadi, sedangkan ia berada di depan hanya terguling dan terbentur.
“Astaga…! Kenapa bisa begini... Tahan sebentar ambulance akan segera ke sini. Kamu jangan tidur,” intsruksi anak buah Junni tadi. ia panik tapi tetap mencoba tenang dan membuat Yuuna tetap terjaga.
Beberapa menit menunggu ambulance datang ke lokasi kejadian. Di telusuri di lokasi kejadian tak jauh dari lokasi tepatnya di trotoar jalan tersebut, tergeletak tubuh Syahilla yang sudah kehabisan banyak darah dengan denyut nadi yang sangat lemah.
“DI SINI JUGA ADA KORBAN!” teriak seorang berpakaian serba hitam, yang merupakan anak buah dari Junni lainnya yang baru saja datang bersama ambulance.
Petugas rumah sakit yang ada berlari menuju trotoar dan mengecheck kondisi Syahilla. “Korban kritis! Korban kehabisan banyak darah! Denyut nadi lemah!” tagasnya, yang artinya mereka juga harus segera menindak Syahilla jika tidak Syahilla tidak akan selama.
“Bagimana ini kita tidak mungkin menunggu ambulance lain untuk membantu tiga korban ini!” ucap panik anak buah Junni yang kebingungan karena ada tiga korban yang pasti ia harus lebih dulu menyelamatkan sang bos yang sudah tidak sadarkan diri juga.
Anak buah Junni yang merupakan orang kepercayaan Juni dengan sigap berkata, “Gunakan mobil saya saja!” kemudian ia langsung membawa akan membawa Syahilla menggunakan mobilnya. Ia sudah akan mengangkat tubuh Syahilla dibantu oleh perawat untuk menutup luka yang ada di leher Syahilla.
Tiba-tiba suara Yuuna yang masih memiliki kesadaran berkata dengan terbata, “Pa-k baw-wa me-re-ka du-lu-an.” Dari atas tandunya ia memandang kearah Reza nama anak buah Junni tadi.
“Dia benar Pak!” tegas salah satu perawat.
“Baik! Tapi saya minta satu perawat ikut mobil saya untuk menjaga dia!” pinta Reza dengan tagas.
Mereka bergegas mengevakuasi korban, dua korban di bawa dengan ambulance yaitu Junni dan Syahilla dan satu yang dibawa menggunakan mobil yang dikemudikan oleh Reza dengan kecepatan tinggi sambil mengklakson mengikuti ambulance di depanya dengan korban yang ia bawa yaitu Yuuna. Dan mereka bergegas menuju rumah sakit untuk menindak.
Junni dan Syahilla dalam keadaan tidak sadarkan diri. Junni pingsan dan Syahila kritis dengan kondisi yang semakin melemah. Menit-menit akan tiba di rumah sakit, kabar buruk penumpang ambulance dapati yaitu nyawa Syahilla tidak dapat tertolong lagi. Sedangkan Junni dalam keadaan kritis dalam masa penanganan.
Beberapa hari berikutnya…
Juni berada di ruangan ICU. ICU monitor menandakan detak jantung Junni, infus yang terus mengalirkan cairannya, selang oksigen dan kabel-kabel yang ditempelkan di tubuh Junni. Semua terhubung dengan tubuh Juni. Perban-perban juga terdapat di wajah Junni serta di tubuh Junni. Kepala Junni bagian kanan rambutnya harus dicukur karena ada jahitan dengan perban yang menutupinya.
Banyak orang yang menunggu dia bangun, banyak orang yang ingin dia bangun segera. Ada keluarga yang setia menunggunya di luar ruangan bergantian, berharap dia akan bangun. Setelah harap-harap cemas mempertahankan denyut nadi dan detak jantungnya di ruang operasi saja tidak cukup. Hingga beberapa hari berikutnya tetap harus menunggu akankah dia bangun kembali melewati masa kritisnya.
Di ruangan rawat inap, terdapat seorang wanita sendirian terbaring lemah di brankar rumah sakit itu. Berhari-hari ia hanya menghirup udara bercampur bau obat khas rumah sakit. Anak buah Junni dengan berbaik hati membantu administrasi dari Yuuna yang tidak akan mampu untuk membayar biaya rumah sakit karena dia sendirilah yang sedang terbaring sakit. Tidak akan ada yang peduli dengannya dari pihak keluarganya karena ia hanyalah seorang anak dari keluarga angkat dan itupun kedua orang tua angkatnya sudah lama meninggal dunia. menyisakan yang dia punya hanya satu saudara angkat laki-laki yaitu Romi. Tapi, itu bukanlah berarti saudara yang akan membantunya, karena dialah yang menyebabkan dirinya berada di rumah sakit tersebut.
Polisi menelusuri dan menyelidiki penyebab kejadian, dan memburu para pelaku baik pelaku penodongan, dan pelaku tabrak lari. Dugaan pertama yang mereka jatuhkan adalah perampokan. Tetapi, setelah Yuuna dapat dimintai kesaksian, dia bersaksi bahwa kejadian tersebut juga merupakan perdagangan manusia yang dilakukan oleh jariangan yang Romi dan kawanannya.
“Jangan takut semua akan baik-baik saja,” ujar Halim Rezaananda, pegawai kepercayaan Junni yang membantu Yuuna.
Yuuna memang tidak sempat kehilangan kesadarannya jadi masa penyembuhannya terbilang lebih cepat dari pada Junni yang memang sangat parah lukanya.
“Terimakasih…” ucap Yuuna lirih. Ia tidak menyangka ia akan mendapatkan musibah yang membuatnya harus terbaring tidak berdaya di rumah sakit begitu. Seperti sebuah memori yang rusak ia mengingat betul kejadian malam naas itu. Hingga Yuuna tersadar ia belum mengetahui tentang keadaan wanita yang tiba-tiba datang saat itu. Wanita yang lehernya sudah tersayat dalam oleh salah satu kawan dari Romi.
“Maaf Pak, saya boleh bertanya sesuatu?” ucap Yuuna meminta izin pada Reza.
“Tentu,” jawab Reza yang duduk di kursi bangsal samping brankar Yuuna.
“Tentang kondisi wanita yang lehernya tersayat itu, bagaimana keadaannya? Apakah dia sudah sadar?” tanya Yuuna beruntun, tentu saja ia penasaran dengan kondisi wanita itu, wanita yang kelihatannya berarti sekali bagi laki-laki yang menolongnya saat itu.
“Namanya Syahilla dan dia sudah meninggal, sesaat sebelum ambulance sampai di rumah sakit,” jelas Reza.
Jawaban Reza jelas membuat Yuuna terkejut, dan sukses melongo tidak percaya. “Bapak tidak salah bilang? Astaga…” ucap Yuuna kaget tentu saja.
“Aku serius, dia sudah meninggal dan parahnya lagi bos belum juga sadar. Aku tidak tahu bagaimana saat ia bangun dan mencari calon istrinya itu nanti,” tutur Reza lagi.
Yuuna terkejut dan takut sekaligus, ia merasa bersalah pada Juuni dan juga Syahilla. Karena dirinya sudah menjadi penyebab berpisahnya pasangan tersebut oleh maut. “Tidak-tidak, bagaimana ini…” racau Yuuna ketakutan. Ia memikirkan kemungkinan terburuk adalah Junni akan membalas dendam dengan membunuh dirinya.
“Tenang-tenang, kau tidak boleh cemas begitu, itu bukan salahmu. Itu sudah ajal tidak ada yang mengetahuinya bagaimana cara meninggal kita. Kau tau walau malam itu dia tidak di bunuh bisa saja dia yang tertabrak truk itu lalu meniggal di tempat, kita tidak bisa menghindari yang namanya kematian walau kita berlari sejauh mungkin,” tutur Reza dengan tulus mencoba memberikan kalimat menengkan untuk Yuuna.
“Tap-tapi bukankah tetap aku yang bersalah…?” ungkap Yuuna masih dengan rasa bersalahnya.
“Tidak sepenuhnya salahmu,” jawab Reza sambil tersenyum. “Tenang semua akan baik-baik saja, aku akan membantumu. Segeralah sembuh,” ucap Reza masih dengan senyum menawan di wajahnya.
Yuuna yang melihat itu hanya menatap khawatir wajah laki-laki di sampingnya itu.
“Istrirahatlah Nona Jovanka, agak dirimu cepat pulih dan aku akan membantumu,” ucap Reza lagi masih mencoba membuat Yuuna untuk menghilangkan raut khawatir dari wajah itu yang sangat terlihat jelas.
Yuuna akhirnya menurut ia memejamkan matanya untuk tidur walau kepalanya masih diisi dengan statement-statement buruk yang ia bayangkan akan terjadi padanya.
Di tempat lain, di rumah sakit yang sama. Seorang wanita tua dengan rambut memutih sedang menggenggam tangan sang cucu yang masih setia memejamkan matanya.
“Segeralah bangun Jun, Syahilla sudah tidak ada dan kau harus tau itu lalu segera meliha makamnya,” ucap wanita tua itu dengan lirih.
“Aku tidak ingin kehilanganmu juga setelah kedua orang tuamu juga meniggal dengan cara yang sama dengan yang kau alami saat ini Jun,” tutur wanita itu dengan nada sedih. Ia menghela nafas berat masih menatap wajah menawan yang masih setia menutup mata seakan tidurnya sangat pulas sekali.
“Nenek merindukan tatapan tajammu Jun, kau selalu membangkang Nenek, saat kau bangun nanti maka kau harus menurut pada Nenekmu yang sudah tua ini,” gerutu wanita tua itu yang mengaku sebagai nenek dari pasien.
Jika orang itu sedang tertidur dan mendengar ucapan itu mungkin saja ia memilih untuk tetap tertidur karena ancaman tersebut, tetapi tidak dengan Junni yang sedang terbaring koma akibat benturan keras di kepalanya.
Di luar dari ruangan itu ada maid yang selalu menemani Nenek Maria dan juga beberapa staff kantor yang bergantian berjaga di depan ruangan ICU Junni. Bukan tanpa alasan mereka ada di situ, itu semua karena sang nyonya besar yang memerintah mereka dengan ancaman untuk bergantian menjaga cucu kesayangannya itu.
Sedaangkan di sebuah rumah, seorang gadis berumur 16 tahun menangis dari beberapa hari yang lalu, kadang ia berhenti menangis tetapi dalam keadaan melamun. Saat ia tersadar maka ia akan menangis kembali. Kepalanya sakit memikirkan keluarga satu-satu miliknya telah pergi meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.
“Kak Sya…hiks…” panggilnya disela-sela tangisnya.
“Sudah dek, Syahilla bisa juga menangis melihat kamu menagis begini, matamu sudah sangat bengkak, badanmu juga demam Aisha,” tegur seorang wanita apa gadis yang ia panggil Aisha itu.
“Kak Syahilla hiks… aku ingin ikut kak,” racaunya dengan tatapan kosong dan juga air mata yang masih mengalir di pipi.
“Sttt… jangan berbicara seperti itu, kau masih memiliki masa depan yang panjang, kau masih muda jadilah seorang yang dapat dibanggakan oleh kakakmu Syahilla,” ucap wanita itu lagi memberikan nasihat dan motivasi pada Aisha.
Wanita itu memeluk tubuh Aisha yang sedang bersandar di kepala ranjang milik Aisha. Wanita itu adalah sahabat terbaik dan terdekat Syahilla semenjak kecil hingga sampai ia mendapatkan kabar bahwa Syahilla meninggal saat ambulance membawa tubuh terlukanya ke rumah sakit.
Wanita itu sedih, takut dan juga marah. Tetapi orang yang ia murkai itu juga dalam keadaan kritis. Ia kesal karena tunangan dari Syahilla tidak dapat melindungi dan menyelamatkan Syahilla sahabat baiknya. Dan ia bertambah terpukul saat mengingat Syahilla meninggalkan seorang adik kesayangannya yaitu Aisha yang sudah berumur 16 tahun tetapi masih sekolah.
Wanita itu menepuk pelan punggung gadis muda di dekapannya tersebut. "Maaf, aku pasti akan melindungimu dan membantumu menggantikan posisi kakakmu," ucap wanita itu lirik sambil terus menepuk pelan punggung gadis bernama Aisha itu.
Baginya, adik dari sahabat berharganya yang sudah meninggal dunia itu adalah satu-satunya peninggalan yang harus ia lindungi saat itu sebagai sosok lain dari sang kakak bernama Syahilla.
Ia menyayangi Syahilla karena mereka bukan sekedar sahabat yang tumbuh bersama tetapi mereka adalah sahabat yang berbagi hidup bersama, makan minum, sedih bahagia, tawa dan tangis, susah senang mereka melaluinya bersama. Ia mendapatkan sahabatnya sudah dilamar adalah sebuah kebahagiaan yang sangat membuatnya gembira. Lalu kematian sahabatnya adalah pukulan luka yang sangat menyakitkan untuknya.
Wanita itu meraih kedua bahu adik dari sahabatnya tersebut setelah ia melepaskan pelukannya. "Aisha tatap Kakak, Kakak akan menjadi Kakakmu sekarang. Memang tidak bisa menggantikan posisi Syahilla tetapi aku bisa menjadi Kakak keduamu yang akan membantumu," ucapnya dengan tegas dan pasti pada Aisha yang juga balas menatap dengan mata yang masing menggenangkan air mata.