Agenda

1554 Kata
“Nek… Junni berdiri dari sini saja melihat kacamata itu berada dimana…!” teriak Junni agar sang nenek mendengar dengan jelas apa yang ia katakana. “Kamu melihatnya ?! Dimana !? Katakan langsung Jun! Jangan bertele-tele! ” gemas sang nenek yang juga berteriak. “Astaghfirullah Nenekku,” ucap Junni pelan agar tidak terdengar oleh sang nenek. Kepala! jawab Junni dengan berteriak. Nenek Maria spontan meraba kepalanya dan benar kacamata Nenek Maria cari dari tadi ada di atas kepalanya sendiri. Nenek Maria otomatis tertawa saat ia sudah menemukan kacamata yang dari tadi ia cari. “Kamu cucu terbaik Nenek Jun!” teriak sang nenek. Junni hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum, ia sudah tidak terkejut dengan ucapan sang nenek karena sang nenek selalu mengucapkan hal itu padanya. Junni adalah kebanggaan sang nenek karena saat cucunya yang lain jarang dikunjungi Nenek Maria berbeda dengan Junni yang memang tumbuh dan dewasa lebih banyak dirawat oleh sang nenek. Nenek Maria adalah hidup Junni, saat kedua orang tuanya sibuk, Junni kecil akan dititipkan pada sang nenek yang saat itu masih bersama dengan kakak Junni. Selalu begitu hingga Junni tumbuh sebagai seorang remaja laki-laki. Nenek tinggal sendirian karena kakek meninggal dunia dan membuat Nenek Maria sendirian dalam kesepian di rumah adat. Saat itu anak dan cucu Nenek Maria hanya datang sebentar dan tidak ada yang akan menemani Nenek Maria lebih lama. Lalu melihat kondisi itu Junni remaja memutuskan untuk tinggal bersama sang nenek menemani hari-hari sang nenek. Junni pun pindah sekolah ke kota yang sama tempat tinggal Nenek Maria. Pada saat dewasa Junni sudah menjadi seorang dosen yang memiliki jam mengajar padat dan menjadi dosen yang terbang karena terbilang Junni adalah dosen muda yang sangat berkompeten. Junni pun mengajar dibeberapa Universitas termasuk Universitas yang ada di ibu kota, kota yang sama dengan tempat tinggalnya bersama sang nenek. Beberapa bulan yang lalu Junni seperti biasa ia akan jarang berada di rumah untuk pergi ke luar kota mengajar di Universitas di satu kota itu dan di Universitas tempat ia mengajar itu, ia mengenal seorang mahasiswa program magister yang sudah membuat Junni jatuh hati karena kecantikan dan keanggunan dari mahasiswa itu. Junni memang tidak mengajar mahasiswa cantik itu karena ia hanya mengajar mahasiswa di program sarjana dengan jurusan ilmu manajemen di fakultas ekonomi dan bisnis. Sedangkan mahasiswa yang membuat Junni jatuh hati adalah mahasiswa program studi magister Teknologi Biomedias. Junni tidak sengaja bertemu dengan mahasiswa yang cantik saat berada di kampus yang berbeda dengan jarak yang berjauhan, beberapa kali bertemu dengan mahasiswa secara tidak sengaja. Junni saat itu sedang merangcang akan mendaftar diri dalam program Doctor of philosophy in business (strategic management and organisations) di luar negeri. Maka dari itu ia sangat bersemangat untuk sembuh kembali dari kelumpuhan dan keterpurukannya dari tragedy beberapa bulan yang lalu. Malam Jum’at 6 bulan yang lalu adalah malam yang tidak pernah Junni bayangkan akan terjadi. Saat ia sangat bersemangat setelah satu minggu bertunangan dan menjemput calon istrinya dari mengajar anak didik les privatenya. Dengan membawa satu buket bunga mawar berwarna putih dan merah, tetapi menjadi mawar dengan warna merah seutuhnya, darah sang calon istri mewarnai mawar itu menjadi merah seluruhnya. Ia menyesal tetapi juga tidak berguna, cita-cita membawa sang istri saat ia resmi menyandang gelar doctor lenyap karena sang calon istri meninggal dunia pada malam itu. Syahilla, nama yang tidak pernah lupa untuk Junni ingat setiap jam kehidupannya setelah bangun dari koma. Sosok itu sudah hingga saat Junni bangun, saat mencari sosok yang tercinta itu, Junni hanya mendapati gundukan tanah dengan batu nisan bertuliskan Syahilla Zahrana, meninggal Jum’at 16-06-2006.  Malam yang seharusnya menjadi malam romantis bagi Junni seperti yang ia bayangkan, tetapi berubah menjadi malam yang sangat menyakitkan dan berdarah karena ia menolong seorang gadis yang ia tahu akan dijual oleh kakaknya sendiri. Sedangkan gadis itu tidak pernah menunjukkan batang hidungnya pada Junni sekedar untuk meminta maaf atau pun beterimakasih mungkin. Tapi walau begitu Junni bersyukur gadis itu tidak menunjukkan eksistensinya pada Junni karena ia akan sangat marah pada gadis itu. Kini Junni harus fokus pada penyembuhan dan mengajar hanya di satu Universitas di ibu kota tempat tinggal Nenek Maria. Nenek Maria sering memberikan nasehat pada Junni untuk ikhlas dengan apa yang telah terjadi, dan ikhlas pada takdir yang ternyata hanya mempertemukan Junni dan Syahilla sebagai dua manusia yang saling jatuh cinta tetapi tidak dipersatukan di dalam sebuah ikatan membentuk sebuah ibadah terlama dalam kehidupan. Ucapan hanyalah sebuah ucapan untuk Junni karena di dalam hatinya sangat sulit untuknya merelakan cintanya tersebut. Junni masih selalu terbawa mimpi saat saat ia bersama dengan sang kekasih, dan mimpi masa depannya bersama sang kekasih di dalam tidurnya. Canda tawa yang seakan nyata membuat bekas yang sulit untuk menghilang di hati dan lekat dipikiran Junni. Semua itu adalah respon dari fokus berpikir seseorang yang terlalu memikirkan satu objek yang membuatnya sulit untuk lupa hingga di dalam mimpi tidurnya pun objek itu masih memiliki atensi yang kuat bagi pikirannya. Pikiran-pikiran itu menstimulus otak untuk bekerja terus menerus berfokus pada satu objek, dan juga keadaan hati yang sangat mendukung mimpi itu datang pada saat Junni tidur. Mimpi tersebut adalah salah satu cara otak untuk memproses emosi yang sedang Junni alami dan berhubungan dengan Syahilla sehingga, Syahilla adalah pusat pikiran dari Junni untuk saat ini, maka dari itu juga Junni selalu terbawa mimpi untuk kahadiran seorang Syahilla dalam kehidupannya. Efek buruk yang sangat terlihat mungkin tidak ada tetapi untuk Junni sendiri adalah ia sulit untuk menerima kenyataan bahwa Syahilla sudah tidak ada dan ia tetap berfokus pada Syahilla. Kesetian Junni pada Syahilla membuat Junni menyiksa dirinya sendiri dengan tidak membuka hati untuk orang lain. “Jun…! Sudahlah! Kamu harus segera istirahat…!” teriak Nenek Maria mengalihkan pikiran Junni untuk kembali pada realita. Junni mengalihkan perhatiaannya untuk melihat pada sang nenek, kini sang nenek sudah berjalan dengan membawa satu tongkat milik Junni. “Berhenti Nek!” teriak Junni membuat sang nenek berhenti melangkahkan kakinya dan melihat sang cucu dengan kerutan bingung di dahinya. “Biarkan Junni yang ke sana,” ujar Junni. Kemudian ia melangkahkan kaki dengan perlahan mencoba membiasakan kakinya yang kaku untuk kembali melangkah dengan benar dan baik. “Bukankah itu akan lama?” tanya sang nenek karena ia tidak sabaran dan gemas melihat langkah kecil cucunya itu. “Tunggu sebentar…” ucap Junni masih dengan langkah pelannya. Beberapa menit Nenek Maria menunggu Junni hingga akhirnya Junni dapat sampai ke tempat sang nenek menunggunya. “Akhirnya siputku sampai juga,” ucap sang nenek. “Jangan menambah gelarku Nek,” tegur Junni memperingatkan sang nenek. Sang nenek hanya memutar bola matanya lalu memberikan tongkat Junni. “Ingatlah Jun, boleh berambisi dan perfeksionis tetapi ingat jangan dipaksakan,” tegur sang nenek pada Junni. Dan Junni pun tersenyum karena ia paham dengan sang nenek yang selalu berkata sindiran ataupun berkata pedas pada Junni tapi yang sebenarnya sang nenek memberikan kasih sayang padanya dengan cara yang berbeda. Sedangkan di tempat Yuuna, satu jam yang lalu ia sudah menemui sang bos yang memanggilnya sebelumnya bersama Indri. Yunna dan Indri naik ke lantai dua toko tempat mereka berkerja dimana di sana adalah kantor bos mereka. Yuuna dan Indri saat itu sudah berhadapan langsung dengan Bu Jamal. Yuuna harap-hadap cemas dengan apa yang akan dibicarakan oleh bosnya itu, ia sudah tahu apa yang akan dibicarakan tetapi entah apa yang membuatnya gundah sendiri dengan keputusan yang akan ia ambil. Sedangkan Indri sendiri ia hanya tersenyum menunggu kata-kata yang akan diucapkan oleh Bu Jamal. Sebelum mereka masuk ke ruangan bos mereka itu, Indri memberikan genggaman semangat pada Yuuna dan sebuah senyuman seorang kakak pada adiknya. “Jadi kalian sudah taukan kenapa Ibu menyuruh kalian untuk menemui Ibu saat ini,” ujar Bu Jamal sambil tersenyum. “Sudah Bu…” jawab mereka bersamaan. “Baiklah, soal semalam Ibu sudah memberitahukannya pada masing-masing kalian walau ada yang tidak secara langsung, dan Ibu harap kalian setuju,” ucap Bu Jamal, ia memandang Yuuna sebentar. “Apa tidak masalah dengan yang lain Bu?” tanya Yuuna angkat suara memberanikan diri untuk bertanya tentang segenlintir rasa ragunya. “Tenang saja, Ibu sudah memastikan yang memang cocok untuk dipindahkan adalah kamu berdua, bantulah saya untuk toko yang baru di ibu kota,” kata Bu Jamal dan mengambil posisi bersender pada senderan kursinya. “Saya menerimanya Bu,” jawab Indri duluan, menyetujui tentang keputusan sang bos yang akan memindahkannya ke ibu kota. “Baiklah…” balas Bu Jamal yang saat ini pandangannya beralih melihat Yuuna yang masih dalam kegelisahannya, ia ingin berbicara lagi pada orang-orang yang selama ini membantunya di kota itu tetapi ia ragu. Ragu untuk posisinya, apakah ia harus meminta persetujuan dahulu untuk pindah ke ibu kota atau tidak karena ia bukan siapa-siapa di sana. “Bagaimana Yuuna…?” tanya Bu Jamal pada akhirnya karena Yuuna belum juga memberikan jawabannya. “Tenang Yuu, Kakak ada di sana juga dan akan membantumu, kita akan saling membantu,” bisik Indri untuk memberikan kekuatan pada Yuuna. Yuuna membuang nafasnya terlebih dahulu terlihat dari bahunya yang terangkat lalu turun secara perlahan. “Saya… baiklah Bu, saya juga menerimanya,” jawab Yuuna pada akhirnya mencoba untuk tidak menghiraukan keraguaan dan kegundahan hatinya. Bu Jamal tersenyum lebar, harapan dan keinginannya untuk membantu Yuuna secara tidak langsung dapat diterima oleh Yuuna. “Baiklah terimakasih kalian sudah mau menerima pekerjaan ini, artinya dalam satu minggu lagi kita akan berangkat ke ibu kota,” tutur Bu Jamal yang tentu saja membuat Indri dan Yuuna terkejut karena secepat itu waktu mereka akan dipindahkan. “Secepat itu Bu?” tanya Indri kaget, dengan mata yang membulat dan raut wajah yang tidak percaya tapi itu kenyataannya. “Ya, begitulah. Jadi dalam satu minggu ini bersiaplah, tiga hari sebelum keberangkatan kalian boleh mengambil cuti,” ungkap Bu Jamal. Pada saat itu pula Yuuna mengingat bahwa ia besok sudah berjanji untuk datang ke acara pembukaan bisnis Reza. “Bu… boleh saya meminta satu hari cuti besok dan saya akan menggantinya dengan jatah tiga hari saya,” pinta Yuuna pada Bu Jamal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN