8/2
Yuuna tersenyum sendu dengan perasaan bergemuruhnya. “Aku pun sama,” balas Yuuna. Jika dulu saat ia remaja ketika sedih Yuuna akan memainkan sebuah lagi dari biola yang dibelikan oleh ayah angkatnya, sayang sekali biola itu tidak terbawa olehnya karena saat digeret pergi oleh Romi ia bahkan tidak banyak mempersiapkan pakaiannya. Satu hal yang membuat Yuuna sangat bersyukur, yaitu tentang rumah itu terletak di sebuah desa yang memiliki hawa dingin atau udaranya lembab dan kebun apel miliki orang tua angkatnya.
Kembali pada saat ini, Yuuna sedang menatap pemandangan di luar jendela bus yang membawa dirinya dan juga Indri. Ia tadi membaca buku kimia tapi ia merasa lelah dan mengistirahatkan matanya untuk memandang keluar jendela. Bus radio memutar sebuah lagu tapi oleh Yuuna tidak tertarik dengan lagu itu, jadilah ia hanya menatap kosong pemandangan yang mereka lalui.
Sebenarnya perjalanan dengan bus tidak berlangsung terlalu lama karena mereka akan keterminal berikutnya dan Yuuna dan Indri lebih memilih melanjutkan perjalanan menggunakan kereta api. Yuuna sangat merasakan sensasi saat menaiki kereta api, memulai ceritanya ia memilih kereta api sebagai transfortasi mereka untuk sampai ke pelabuhan yang akan membawa mereka ke ibu kota.
Menuju ibu kota sebenarnya tidak seribet itu untuk sampai di sana, karena ada yang lebih mudah menggunakan pesawat. Sebenarnya, Ibu Jamal sudah menawarkan Yuuna dan Indri untuk pergi bersamanya saja menggunakan pesawat tapi Yuuna takut dan ia lebih memilih transfortasi darat yang beberapa kali transit bisa dengan kendaraan dengan jenis yang sama tapi juga bisa berbeda seperti yang dilakukan Yuuna dan Indri saat ini.
“Yuu…,” panggil suara wanita yang tidak lain suara milik Indri, saat ini melihat Yuuna yang menatap keluar jendela dari tadi.
“Ya Kak?” sahut Yuuna dan ia menolehkan sebuah untuk melihat Indri. Yuuna memberikan tatapan bertanyanya pada Indri.
Indri memberikan senyumannya pada Yuuna, senyuman itu senyuman yang sangat lembut dan tegar karena Yuuna tahu Indri pun merasakan kehilangan karena seseorang pergi tapi ia yang pergi dari orang itu. Indri pun bernasib sama dengannya, sama-sama tidak memiliki orang tua lagi bedanya ia memiliki kerabat hanya saja kerabat hanyalah kerabat, mereka tidak ambil peduli pada Indri. Maka dari itu Indri dengan ringan langkahnya untuk pergi ke ibu kota walau ada sesuatu yang mengganjal dihatinya yaitu tentang perasaannya terhadap seseorang yang menjadi teman bertengkarnya setiap hari di toko.
Kamu lapar gak? tanya Indri sambil menatap Yuuna dengan tatapan sudah seperti biasanya ia mengajak Yuuna Berbicara.
Yuuna menelisik Indri dengan tatapannya mencari sesuatu kejanggalan dari raut wajah Indri, tapi ia tidak menemukannya. Kemudian Yuuna tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
“Untuk saat ini belum Kak,” jawab Yuuna sambil menolak halus ajakan Indri yang sudah pasti akan menarinya makan.
“Yah…,” desah Indri kecewa. “Gak papa deh, kalau gitu aku makan sendiri aja,” ujar Indri, kemudian ia mengeluarkan roti dari tas yang memang ia khususkan untuk membawa makanan .
Yuuna tertawa tanpa suara membuat matanya menyipit, bukan tanpa alasan Indri itu memiliki tubuh yang jauh lebih berisi dan jangan lupakan dengan pipi cubby Indri yang sangat menggemaskan. Yuuna saja kadang ingin merasakan bagaimana mencubit pipi berisi itu karena sangat menggemaskannya, tapi Yuuna tidak pernah berani untuk melakukan itu pada Indri, karena satu lagi Indri itu sebenarnya galak tapi setia begitulah pendeskripsian tentang Indri.
“Mau…?” tawar Indri menyodorkan roti isi abon sapi pada Yuuna, jangan lupakan mulutnya masih berisi roti isi abon itu yang belum habis ia kunyah semua, otomatis membuat pipi berisinya semakin menggembung dan menggemaskan.
Yuuna tersenyum lebar melihatnya, lalu ia menggelengkan kepalanya rebut. “Tidak Kak, Kakak makan saja dan jangan lupa kunyah dulu sampai habis lalu telan baru berbicara, nanti Kakak tersedak,” nasehat Yuuna pada Indri karena Indri berbicara sedangkan makanan masih ada di mulutnya. Kalau begini bagaimana Jaeyo yang muda dari umur Indri sendiri tidak gemas dengan Indri jika dalam mode menggemaskan seperti ini.
“Beneran kamu gak lapar…?” tanya Indri kembali karena ia tidak yakin Yuuna tidak merasa lapar.
“Iya Kak, aku belum lapar kalau aku lapar aku punya bekal tadi,” balas Yuuna dan memberikan senyum termanisnya pada Indri.
Indri kemudian cemberut dan mengatakan, “pantas saja kamu langsing dan ramping begini, makannya gak kaya aku.”
Mendengar ucapan Indri tadi, Yuuna mengubah senyumnya dengan wajah datarnya. “Tidak Kak, jangan pandang seseorang dari tubuhnya karena setiap orang berbeda. Jangan pukul rata penilaian setiap orang yang Kakak temui tentang penampilan Kakak,” kata Yuuna, ia tidak setuju jika seseorang memandang orang lain dari fisiknya karena Yuuna sudah mengamati jika seseorang baik dengan berpatokan pada bentuk tubuh atau fisik saja maka mereka akan memukul rata tentang sifat orang tersebut, dengan begitu tidaklah adil untuk orang-orang yang kurang memiliki kepercayaan diri terhadap fisik dan penampilannya sendiri. Istilah penampilan yang baik itu akan lengkap dengan sifat yang baik pula. Yuuna sendiri menyadari ia juga kurang memiliki kepercayaan diri itu dan ia berbeda dengan orang lain, maka dari itu Yuuna tidak ingin memaksakan dirinya untuk menjadi seseorang yang orang lain senangi jika dirinya sendiri tidak menyenanginya.
“Kakak itu cantik, manis, dan istimewa. Buktinya aku tidak bisa menjadi Kakak dan Kakak jangan pernah ingin menjadi aku, karena masing-masing kita sudah pada porsi yang tepat,” tutur Yuuna menyakinkan Indri untuk tetap menjadi dirinya sendiri yang ia senangi.
Indri tersenyum dan gemas pada anak kecil yang sudah bisa berkata bijak menurutnya itu. Di mata Indri Yuuna itu masihlah seorang anak kecil yang pendiam dan masih terbelenggu takut untuk melepaskan diri dari kurungan ternyamannya.
Indri mengulurkan tangannya untuk mencubit pipi Yuuna yang tidak seberisi miliknya. “Kamu adik yang terbaik dan menggemaskan… terimakasih sudah mengingatkan Kakak,” ucap Indri dan tangannya masih bertengger pada pipi Yuuna yang sudah memerah.
Yuuna memberikan tatapan memohonnya untuk minta dilepaskan dari cubitan itu.
“Kak, sakit…,” seru Yuuna.
Indri kemudian melepaskan cubitannya dari pipi Yuuna, terlihat pipi itu memerah karena cubitan Indri. Sungguh, cubitan Indri selalu tidak main-main seperti yang pernah Jaeyo katakana karena Jaeyo-lah yang selalu merasakan tabokan, cubitan, dan tendangan dari Indri.
“Maaf…, kamu terlalu menggemaskan soalnya. Untuk pengalaman hidup sepertinya kamu memang lebih banyak dari pada Kakak, padahal Kakak lebih lama hidup dari pada kamu… hahaha…,” ungkap Indri dan ucapan Indri tadi membuat Yuuna merasa tidak nyaman, karena baginya hidupnya malah sangat bergelombang lalu datar sedatar kertas.
“Tidak Kak, jelas lebih banyak Kak,” elak Yuuna sambil memberikan senyumnya pada Indri dan tentang hatinya. “Jelas tidak, karena aku bahkan tidak merasakan bagaimana itu kasih sayang orang tua kandung. Tapi walau begitu aku sangat menyayangi kedua orang tua angkatku,” batin Yuuna. Ia tidak mengatakannya pada Indri.
“Oh iya… orang tua kamu bagaimana saat tau kamu akan pindah ke ibu kota? Apa mereka tidak khawatir melepas anak perempuan masih berumur 18 tahun seperti kamu?” tanya Indri, Indri tidak mengetahui tentang Yuuna tidak memiliki orang tua lagi. Yang banyak orang tahu atau lebih tepatnya rekan kerja Yuuna tahu hanyalah Yuuna mengalami kejadian buruk beberapa bulan lalu, yaitu tentang ia bertemu dengan preman dan seseorang yang menolong Yuuna malah mendapatkan musibah kecelakaan dan merenggut satu nyawa. Tidak sepenuhnya informasi itu salah, karena memang musibah itu berawal dari Yuuna yang diseret oleh preman yang tidak lain adalah kakak angkatnya bersama teman premannya, lalu Junni menolongnya dan mengalami kecelakaan, tentang Syahilla yang ikut ingin menolong tapi malah meninggal karena sebuah kecerobohan. Tetapi semua itu berawal dari dirinya.
“Orang tuaku?” ujar Yuuna dengan nada tanya dan menjeda kalimatnya, membuat Indri menatap sabar sampai Yuuna melanjutkan ucapannya. “Mereka sudah meninggal, walau sebenarnya mereka hanyalah orang tua angkatku yang sudah merawatku dari aku… bayi,” tutur Yuuna dengan senyuman ketegaran tentang fakta ia tidak pernah tahu orang tua kandungnya.
Mata Indri membulat semaksimal mungkin, dengan mulut sedikit menganga, kemudian ia beberapa kali mengerjap memastikan dirinya tidak salah mendengar yang sudah dikatakan Yuuna dengan wajah Yuuna yang tegar sekali.
“Maafkan Kakak…, Kakak tidak tau kalau kamu hanya bersama orang tau angkat dan mereka pun sudah meninggal,” tutur Indri ia merasa tidak enak dengan ucapan-ucapannya tadi seakan ia menjadi orang yang tidak pandai bersyukur. Sedangkan, Yuuna memiliki nasib yang sangat jauh lebih beruntung dirinya dari Yuuan sendiri. Ia dibesarkan dari kelurga kandungnya, orang tua kandungnya, hanya saja dua tahun berturut-turut menjadi masa buruk untuk Indri karena kedua orang tuanya meninggal di dua tahun tersebut, satu tahun yang lalu.
“Bahkan, preman yang malam kejadian itu adalah kakak angkatku yang menjadi keluargaku satu-satunya saat ini, tapi dia ingin menjualku, huh…,” tutur Yuuna dengan lirih dan ia menghela nafas berat, seakan mengatakan itu semua adalah beban untuknya karena pada kenyataannya pun kejadian itu memang menjadi beban untuk Yuuna.
Indri mendengar ucapan Yuuna tadi, sangat jelas walau suara Yuuna terbilang lirih karena mereka duduk bersebelahan. Indri tercengang tidak percaya dan terkejut. “Sungguh?! Oh astaga… aku tidak mengira kejadian bulan lalu yang menimpamu itu disebabkan oleh Kakak angkatmu Yuu…, kamu harus kuat, jangan salahkan dirimu terus menerut karena itu bukanlah salahmu,” ujar Indri, ia meraih tangan Yuuna dan menggenggamnya sebelumnya roti yang ada di tangannya tadi ia letakkan dulu di pangkuannya.
Indri mencoba menyalurkan perasaan semangat untuk menguatkan Yuuna dari genggaman tangan mereka. Yuuna merasakan hangatnya tangan Indri yang menggenggam tangan dinginnya pun tersenyum.
“Makanya aku mengiyakan untuk pergi dari kota itu Kak, dan terimakasih Kakak sudah menerima tawaran Bu Jamal,” tutur Yuuna. Indri membalasnya dengan tersenyum lembut pada Yuuna.
“Jangan berterimakasih, mulai saat ini kita akan saling melindungi. Pokoknya ada apa-apa beritahukan Kakak! ” tegas Indri dengan semangatnya.
Mulai saat-saat Indri mulai dapat memahami Yuuna yang tampak terbuka untuk berteman dengan siapa saja hanya ia tidak terlalu banyak berbicara itu ternyata menyimpan banyak sekali masalah kehidupan begitu apiknya. Menurut Indri yang Yuuna alami adalah sebuah masalah yang hidup, tentang Yuuna yang tidak melihat orang tua kandungnya, tentang kakak angkatnya yang ternyata akan menjualnya, perasaan peduli Yuuna pada orang yang sudah menjadi korban.
Beberapa waktu perjalanan menggunakan bus, tidak terasa perjalanan mereka hampir sampai di terminal bus tempat mereka harus turun dan berganti dengan kereta api untuk melanjutkan perjalanan mereka.