Bab 4

893 Kata
BAB 4   Aku menoleh pada bapak kemudian menghampirinya sambil membawakan secangkir kopi kesukaannya. “Kalau Sinta bilang itu memang suami Sinta, memang Bapak percaya?” tanyaku sambil meletakkan kopi untuknya. Bapak dengan lahapnya mamasukan tiap potongan kue rusak itu ke mulutnya. “Duh, kamu tuh sukanya bercanda aja, Ta! Memang hidup kita serba kekurangan, tapi jangan gitu juga, Ta! Gimana perasaan suami kamu kalau mendengar kamu malah mengaku-ngaku orang lain jadi suamimu! Bapak tidak pernah mengajari kamu untuk memandang orang dari hartanya!” ucapnya panjang lebar. Aku memutar mata jengah sambil berjalan kembali ke tempat di mana aku sedang menyiapkan kue-kue untuk bingkisan. “Ya udah, kalau Bapak masih gak percaya, nanti Sinta ajak Bapak sama Ibu liburan naik pesawat, ya biar percaya!” ucapku menatap wajah Bapak yang sedang serius menceramahiku. “Udah ah, kamu malah makin ngelantur! Nih ya, Bapak kasih tahu, kaya dan miskin di hadapan Tuhan itu sama! Yang membedakan hanya yang di sini!” ucap Bapak sambil menunjuk ke dalam dadanya. “Iman dan takwa … kamu jangan pernah membandingkan suamimu dengan yang lain! Alhamdulilah dapat supir orang kaya tiap hari bisa naik mobil mewah, gaji banyak! Nikmat Tuhan mana lagi yang akan kita dustakan! Bapak gak pernah mengajari anak gadis Bapak buat matre dan serakah! Hormati suamimu apapun pekerjaannya, selama dia bertanggung jawab!” ujarnya lagi dengan wajah serius. “Bapak kenapa jadi ceramah? ‘Kan tadi Bapak yang nanya Sinta duluan?” Ibu memecah obrolan yang memanjang dan malah memojokkanku. “Pak, Bu, Sinta berjanji jika suatu saat nanti, Sinta akan mengajak Bapak dan Ibu naik pesawat! Bapak dan Ibu orang baik dan selalu menjalankan perintah Allah! Sinta ingin mengajak Bapak dan Ibu berkunjung ke Baitulloh, doakan Sinta ya, Pak! Bu!” ucapku sambil menatap mereka sambil tersenyum. Aku masih harus mencari tahu siapa orang yang selalu menerorku sebelum perayaan pernikahanku. Aku khawatir jika si peneror ini memang tidak main-main. Bisa saja dia mencari kelemahanku agar aku meninggalkan Tuan Muda Ashraf suamiku. Aku tidak ingin terjadi apapun pada bapak dan ibu. Aku menyayangi mereka. Dan satu lagi yang membuatku masih butuh waktu untuk membuka dengan gamblang semua ini. Aku sendiri belum sepenuhnya yakin, apakah Tuan Muda Ashraf betul-betul mencintaku? Sementara aku pun sering sekali melihat berita gossip di televisi jika banyak sekali wanita cantik dan muda yang mengaku sedang dekat dengannya. Meskipun dia sudah bersumpah jika tidak ada satupun dari wanita itu yang memiliki hubungan special dengannya. Dengan cara apakah aku bisa menguji ketulusan cintanya? Bahkan aku tidak berani hanya untuk sekedar mengecheck pesan dalam whatsappnya. Dia bagiku masih terlalu asing meski statusnya sudah jadi suami. Aku masih sangat khawatir jika dia sudah memperkenalkanku pada dunia kemudian dia mencampakanku, betapa hal itu akan lebih melukai perasaan bapak dan ibu. “Warman! Itu tolong cuciin mobil teteh, ya! Nanti kamu minta rokok saja  ke akang buat upahnya!” ucap Wa Ikah yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah. Suami Wa’ Ikah memang merupakan seorang manager di salah satu cabang perusahaan Adireja Grup. Karenanya juga Teh Selvi bisa dengan leluasa masuk karena memang memiliki referensi orang dalam di sana. Begitu pun dengan suami Teh Rena dan Teh Rema bisa bekerja sebagai staff juga di sana. Mereka lulusan kuliahan tidak sepertiku yang hanya lulusan SMA. Bapak menghentikan menyeruput kopinya. Dia tinggalkan kopi yang baru diminum seperempatnya. Kulihat wajah bapak penuh kebahagiaan, bagaimanapun bapak berfikir bisa mendapat keuntungan meski hanya sebungkus rokok. Aku menunduk, tidak kuasa melihat punggung bapak yang berjalan membawa ember dan lap menuju luar. Ibu dan Wa’ Imah terlihat sudah kembali meneruskan pekerjaan yang tertunda. Kami bertiga bahu membahu menyelesaikan semuanya tepat waktu. Acaranya akan di laksanakan selepas Ashar, sekitar jam empat sore. Masih ada waktu sekitar dua jam lagi. Aku melupakan semua kemelut di pikiranku. Kini fokusku pada penggorengan. Mengejar waktu menyelesaikan semua masakan. Sesekali kumendengar celotehan dan tawa bahagia dari kakak-kakak sepupuku dari dalam. Mereka mana mau membantu. Akhirnya semua bingkisan sudah siap. Termasuk hidangan mewah untuk ukuran acara rumahan seperti ini. Semua biaya ini pastinya dibiayai oleh Wa’ Ikah dan keluarganya. Beberapa warga sudah mulai datang. Selepas sholat ashar aku kembali disibukkan dengan menyiapkan teras rumah kakek yang lumayan luas. Menggelar tikar dan menyiapkan kopi untuk para warga. Acara satu tahunan ini hanya dihadiri oleh bapak-bapak. Semua sudah rapi dan berjajar duduk melingkar hanya tinggal menunggu Pak Ustadz. Entah sudah berapa gelas kopi yang kubuatkan untuk mereka. Ibu dan Wa’ Imah tampak sudah rapi dan berganti pakaian. Pekerjaan dapur memang sudah selesai. Aku mencari-cari keberadaan bapak. Mana mungkin mencuci mobil sampai menghabiskan dua jam. Lagian mobilnya juga terlihat sudah bersih dan terparkir di halaman rumah. Aku masih berdiri di sudut ruangan dengan mata mencari-cari sosok lelaki ringkih itu. “Terima kasih Bapak-bapak sudah hadir! Alhamdulilah, saya sebagai anak tertua dari keluarga Wardiman sepenuhnya bisa membiayai acara ini. Semoga hidangan yang sengaja kami sajikan ini bisa diterima dengan baik. Meskipun menghabiskan dana lebih dari lima juta, tapi saya dan keluarga ikhlas mengingat dari semua adik-adik saya, hanya saya yang paling mampu! Saya sih, memaklumi mereka!” Kudengar Wa’ Ikah mulai memberikan sambutan. Selalu seperti itu, bahkan aku sudah bosan dengan kalimat-kalimat berikutnya yang pasti akan meninggikan dirinya sendiri. Aku berjalan ke halaman mencari Bapak. Terlihat samar di sekitar rumpun di bawah pohon kelapa ada bapak sedang membungkuk-bungkuk dalam semak. Aku bergegas menghampirinya. Kutatap lekat punggungnya. “Pak, Bapak sedang apa?” 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN