BAB 3
“Bu, sudahlah! Sinta tidak apa-apa! Tuhan tidak akan salah memilih orang yang akan Dia tinggikan hanya dari pendidikannya. Apakah Ibu pernah mendengar jika Nabi Muhammad kuliah S1 atau S2, enggak ‘kan, Bu? Meskipun seluruh dunia merendahkan orang itu, jika Allah meninggikannya semua bisa apa? Ibu hanya perlu mendoakanku agar tetap menjadi orang yang penuh syukur dan berada di jalan-Nya. Ibu mau ‘kan jika Allah memilihku dan meninggikan derajat kita suatu hari nanti?”
Wanita itu makin terisak. Aku memeluknya erat untuk meredam kesedihannya. Karena ibu dan bapak-lah aku memutuskan menerima pinangan Tuan Muda Ashraf. Meskipun hati kecilku belum yakin, tapi dalam istikharohku itu yang Allah tunjukkan. Terlebih aku sudah lelah melihat kedua orang tuaku di anak tirikan oleh orang tuanya sendiri.
“Eh, di suruh masak malah pada nangis!”
Kumenoleh pada asal suara. Wa Ikah datang dari dalam. Rupanya kakak pertama dari ibuku baru saja sampai. Memang betul dia yang membiayai semua acara satu tahun meninggalnya almarhumah nenek. Namun aku merasa miris dan sedih ketika melihat ibuku diperlakukan demikian olehnya.
“Sih, itu tadi teteh bawa kue-kue masih di mobil! Tolong ambilin! Tadi ada yang sedikit rusak, jatuh doang sih, tapi gak kotor! Itu buat kamu aja sama suami kamu, masih bagus kho! Yang dalam plastik putih, ya!” ucapnya dengan nada memerintah pada ibuku.
Wanita yang tengah kupeluk itu melepaskan tanganku. Dia beringsut berdiri dan berjalan keluar mengikuti perintah kakak pertamanya.
Ya Allah, sakitnya hatiku! Izinkan aku memuliakan kedua orang tuaku ya Allah! Memberinya kebahagiaan dan kesejahteraan. Hatiku terasa tercabik-cabik melihat mereka selalu disuruh-suruh dan direndahkan.
“Suami kamu mana, Ta? Katanya supir, ya? Nanti kalau di sana dipecat, bisa suruh nyupirin truk Uwa aja, yang satu kemarin supirnya berhenti,” ucap Wa Ikah sambil melirik ke arahku.
“Gak ikut, Wa! Masih ada kerjaan!” jawabku. Uwa itu adalah panggilan Bahasa daerahku untuk kakak dari bapak atau ibu.
“Kamu harus bersyukur, Ta! Masih ada yang mau sama kamu! Kalau Selvi, dia masih milih-milih secara dia ‘kan punya karir dan pendidikan bagus, jadi gak boleh sembarangan milih suami! Apalagi kerjaannya cuma supir, gak sebanding!” ucap Wa Ikah ibunya Teh Selvi sambil berjalan kembali ke dalam.
Aku menarik napas panjang. Selalu saja seperti ini ketika berkumpul keluarga. Kalau bukan karena cara almarhumah nenek, aku lebih baik ikut berobat ibu mertuaku ke singapura. Passport padahal sudah dibuatkan juga kemarin.
Ibuku datang dari pintu sambil membawa beberapa kerdus kue. Yang paling atas dibungkus plastik, berarti itu yang kue jatuh tadi. Aku memburunya ke pintu samping dan membantunya menurunkan semua barang.
“Bu, biar Sinta yang urus!” Aku segera memindahkan berdus-dus kue itu ke balai-balai.
“Eh, itu yang di plastik sini, Ta!” ucap ibu.
“Bu, ini kan kue yang jatuh! Buang aja!” kataku sambil hendak melempar kue itu ke tempat sampah.
“Ih, jangan mubazir! Itu yang rusak bungkusnya aja! Dalemnya masih bagus!” ucapnya sambil merebut kue yang mikanya terlihat kotor itu.
“Teh, kita potong dua, ya! Buat akang juga di rumah!” Ibuku menghampiri Wa Imah---Kakak ketiganya.
Dia membersihkan kotoran pada mika. Kemudian memotong kue tersebut dibagi dua dengan Wa Imah. Mereka istirahat sebentar dan menikmati kue tersebut.
Air mataku merembes tidak terasa. Ya Allah, suatu saat nanti akan kubelikan ribuan kue yang harganya jauh lebih baik dari itu. Kue yang sengaja kubeli dengan harga terbaik untuknya. Bukan kue yang diberikan karena rusak dan sudah pecah seperti itu.
Ah, entah aku yang terlalu cengeng. Aku menangis dalam diam menyaksikan ibuku dan Wa Imah memakan kue rusak itu. Sambil memotong-motong kue yang masih bagus dan memasukannya ke dalam bingkisan. Air mataku merembes tak berhenti. Sakit sekali Ya Allah, hati ini.
Aku sudah terbiasa melakukan pekerjaan rumah tangga. Menjadi pembantu di rumah besar keluarga Adireja membuatku semakin terlatih mengerjakan pekerjaan dapur. Sebetulnya tugas utamaku hanyalah mengurus nyonya Adireja yang kini menjadi ibu mertuaku. Dia sudah lama menderita sakit semenjak ditinggal wafat oleh suaminya dalam kecelakaan pesawat.
Tapi aku tidak tinggal diam juga di sana. Ketika pekerjaanku senggang, aku biasanya membantu Rani seorang ART bagian dapur yang juga sebayaku. Di sana kami bertiga, ada aku Rani dan Sindi yang bagian mengurus taman dan kebersihan rumah. Dari kami bertiga, memang pekerjaankulah yang terlihat paling ringan.
Namun semenjak aku menikah, sikap keduanya mulai berubah padaku. Terlebih melihat aku diperlakukan sangat baik oleh suami dan mertuaku.
Aku jadi teringat pengirim pesan misterius itu. Soalnya setelah aku ganti nomor baru hanya mereka berdua yang tahu , selain keluargaku. Namun apakah mungkin mereka yang menerorku? Atau salah satu dari mereka yang membocorkan nomorku pada orang yang tidak suka dengan pernikahan ini?
Aku teringat jika Sindi begitu mengagumi Nona Elisa, yang katanya calon tunangan Tuan Muda Ashraf. Namun semenjak aku kerja di sana, aku tidak pernah meilhatnya. Kata Rani dan Sindi dulu wanita itu sering datang berkunjung menemui Nyonya Adireja.
Ah, pikiranku kembali ngalor ngidul tidak karuan. Bercabang memikirkan semuanya. Tiba-tiba Bapak muncul dari pintu samping rumah kakek.
“Ta, tadi Bapak lewat warung terus beli rokok!” ucapnya.
“Terus kenapa Pak?” Aku menoleh padanya kemudian mengambil cangkir untuk membuatkannya kopi. Bergegas berjalan mengambil termos air dan menuangnya pada kopi hitam kesukaan bapak. Aromanya merebak ketika kuaduk dengan sendok.
“Pak, ini kue buat Bapak!” Ibuku memanggilnya. Dia dan Wa Imah masih sedang menikmati kue rusak dari Wa Ikah.
“Wah, kue mahal ini!” Bapak tergopoh-gopoh dan ikut bergabung bersama mereka.
“Eh, itu Ta! Tadi waktu bapak di warung, pas lihat tivi kho ada yang mirip sama suami kamu, ya? Tapi dia di bandara mau naik pesawat!” katanya sambil menatapku.