“Kritik ketiga tentang feminisme liberal sebagai rasis, klasis, dan heteroseksis. Kerap kali para pengkritik mengklaim, sebagaimana telah kita pelajari beberapa hari yang lalu juga, Sima, Malik, kalau feminisme liberal hanya berfungsi atau lebih banyak berfungsi untuk kepentingan perempuan kulit putih kelas menengah dan heteroseksual. Meski feminis liberal menerima kritik sebagai kritik yang adil, mereka memberikan pembelaan kalau perempuan minoritas, lesbian dan perempuan pekerja beraliansi dengan feminis liberal di masa lalu dan terus begitu hingga kini. Misalnya, perempuan kulit hitam adalah bagian dari gerakan hak pilih bagi perempuan Amerika Serikat dari sejak gerakan itu dimulai. Tentu saja, suffragis kulit putih kerap kali gagal menyambut dan mengakui kontribusi kulit hitam terhadap gerakan hak-hak perempuan, tetapi feminis liberal kulit putih telah banyak mengalami asam garam sejak abad sembilan belas, saat kepentingan perempuan kulit putih dihadapkan dengan kepentingan kulih hitam. Sekarang feminis liberal lebih memberikan perhatian kepada cara ras seorang perempuan mempengaruhi apa yang dianggapnya sebagai contoh diskriminasi gender. Kesadaran seperti ini mengundang kita untuk mempertimbangkan, misalnya, pandangan yang berbeda antara permpuan kulit hitam dan kulit putih tentang topik, misalnya, pekerjaan rumah. Karena Betty Friedan menyentuh secara umum kelompok perempuan yang terdidik, kelas menengah dan berkulit putih dalam The Feminine Mystique, masuk akal bagi dirinya untuk menggambarkan peran ibu rumah tangga sebagai opresif. Bagaimana pun juga, audiensnya memang menderita dari masalah psikologis yang dialami oleh orang ketika mereka kurang mendapat tantangan dan terbatasi kegiatannya ke dalam tugas-tugas rutin yang sama secara berulang-ulang. Namun, seperti yang dikomentari Angela Davis, peran ibu rumah tangga cenderung dialami sebagai suatu hal yang membebaskan daripada opresif oleh perempuan kulit yang tidak terdidik dan miskin. Bagi para perempuan ini, pekerjaan rumah di dalam rumahnya sendiri adalah lebih baik daripada pekerjaan rumah di rumah orang kulit putih. Sebetulnya, tegas Davis, banyak perempuan kulit hitam yang akan sangat berbahagia untuk menukarkan masalah mereka dengan masalah tak bernama. Mereka akan merangkul kehidupan sub-urban, kelas menengah kulit putih dengan sangat antusias, dan bergembira karena mempunyai banyak waktu untuk memanjakan diri dan keluarganya.”
“Masih hapal?” bisik Malik.
“Linier dengan bertambahnya usia orang-orang seperti itu, terutama jika mereka menjadi lemah, musuh utama mereka bukanlah citra diri. Sebaliknya, musuh mereka adalah lingkungan yang tidak aman, tangga yang tidak dapat dikendalikan, budget yang ketat dan isolasi. Tentu memang Betty Friedan membahas usaha warga negara Amerika Serikat yang bertambah tua dan lemah di dalam The Fountain of Age dalam mengatasinya dan merekomendasikan beragam cara konkret untuk memperbaiki situasi mereka. Meski demikian, dia gagal buat merangkul ketidaktersediaan umum untuk mengalokasikan waktu, uang, dan cinta bagi orang-orang tua yang bertindak seperti orang tua, dan memerlukan lebih daripada apa yang dianggap sebagai bagian yang adil dari sumber daya masyarakat. Tentu saja, dengan menekankan kepentingan agar tetap vital di usia tua, Betty Friedan mungkin telah dengan tidak disengaja memperbesar jurang pemisah antara para orang tua yang beruntung dan yang tidak.”
“Em, tadi membicarakan tentang Harriet Taylor, Wollstonecraft, dan John Stuart. Sebagian tulisan dari Enfranchisement mengisyaratkan keyakinan Harriet, bahwa seorang perempuan harus memilih antara fungsi sebagai istri dan ibu, di sisi lain harus bekerja di luar rumah. Keyakinan Harriet lainnya itu bahwa dia percaya setiap perempuan mempunyai pilihan ketiga, yaitu: menambahkan pekerjaan ke dalam peran serta tugas domestik dan maternalnya. Atau artinya, perempuan bisa membawa semacam pekerjaan, sekaligus menuntaskan tugas dan perannya menjadi seorang istri dan seorang ibu. Bahkan, Harriet pun menegaskan kalau perempuan yang sudah menikah tidak dapat menjadi orang yang sungguh-sungguh setara dengan suaminya, kecuali kalau dia mempunyai kepercayaan diri dan rasa kalau dia berhak soal kesetaraan itu yang sebetulnya muncul dari kontribusi material untuk menopang keluarga. Tapi sebaliknya, apa yang dituturkan oleh Harriet itu sangat tidak relevan dengan John Stuart. Pada tahun 1832, dia berargumentasi bahwa kesetaraan ekonomi perempuan akan menekan perekonomian, dan akan menekan upah menjadi lebih rendah. Harriet bersikukuh kalau secara psikologis sangat penting bagi perempuan untuk bekerja, tidak masalah apakah pekerjaan yang dilakukan itu memaksimalkan entitasnya. Juga Harriet menulis bahkan jika setiap perempuan dapat bergantung kepada laki-laki untuk menopang hidupnya, adalah sangat lebih disukai bila sebagian penghasilan itu datang dari penghasilan perempuan itu sendiri, bahkan jika jumlah total penghasilan hanya sedikit bertambah oleh penghasilan perempuan itu, daripada perempuan diharuskan untuk mengesampingkan diri agar laki-laki dapat menjadi satu-satunya penopang hidup. Singkatnya, untuk menjadi partner, dan bukan menjadi b***k dari suami, istri harus mempunyai penghasilan dari pekerjaannnya di luar rumah
“Bukankah pendapat Harriet mengkhianati bias kelasnya tentang pandangan perempuan yang sudah menikah dan perempuan yang belum menikah tapi sudah bekerja itu gimana ya, bun?"
“Ketika membahas lebih jauh pandangannya bahwa baik perempuan yang sudah menikah maupun yang belum dan harus bekerja, Harriet memang mengkhianati bias kelasnya. Menyadari bahwa tidak ada seorang perempuan pun dapat menjadi istri dan ibu sekaligus pekerja yang hebat, tanpa bantuan yang signifikan dari pihak lain. Harriet pula mengatakan kalau perempuan pekerja atau perempuan karier istilahnya yang mempunyai anak, dia akan membutuhkan asisten rumah tangga untuk meringankan bebannya. Hal ini mengindikasikan bahwa dia atau Harriet itu merupakan sosok yang beruntung. Sebelum tahun 1850-an, hanya permepuan kelas menengah atas, sepertinya yang cukup mampu untuk mempekerjakan asisten rumah tangga untuk mengerjakan pekerjaan domestik bagi dirinya. Oleh sebab itu, Harriet yang disebut sebagai produk keberuntungan kelas, hanya memberikan cara bagi perempuan kaya untuk mendapatkan semuanya tanpa dapat memberikan saran bagi perempuan miskin untuk dapat menjalani kehidupan yang sama utuhnya.”
"Tulisan ketiganya mungkin bagi saya tidak mencakup secara luas perempuan dengan berbagai latar belakang. Tapi bagaimanapun juga, tulisan dia membantu memuluskan jalan terjal bagi perempuan miskin, seperti juga bagi perempuan kaya, untuk mendapatkan akses yang sama untuk masuk ke ruang publik. Begitu juga tulisan John Stuart, dia mencoba menggagas dalam The Subjection of Women, kalau kebebasan sipil, serta kesempatan ekonomi layaknya laki-laki, masyarakat akan ikut merasakan utilitasnya. Seorang warga negara yang mempunyai semangat terhadap publik, seorang pasangan yang mempunyai kapasitas untuk menjadi stimulasi intelektual bagi suaminya, suatu penggandaan masa dari kekuatan mental yang tersedia untuk pelayanan yang lebih tinggi bagi kemanusiaan, dan sejumlah besar perempuan yang bahagia. Tidak selayaknya Wollstonecraft, yang cenderung menafikkan dengan tidak memberikan penekanan pada contoh dari sedikit perempuan yang telah menerima pendidikan maskulin sehingga memperoleh keberanian dan ketetapan hati. John Stuart menggunakan apa yang disebut sebagai perempuan luar biasa untuk menguatkan pendapatnya, bahwa semua distingsi yang diyakini ada antara perempuan dan laki-laki adalah semata-mata perbedaan average. Menurut John Stuart, tidak seorang pun yang mengetahui sejarah manusia dapat berpendapat bahwa seluruh laki-laki adalah lebih kuat dan lebih pintar daripada seluruh perempuan. Sebab perempuan kebanyakan nggak bisa melakukan sesuatu yang bisa dilakukan seperti oleh laki-laki kebanyakan.”