“Satu cara untuk bereaksi terhadap keterbatasan feminisme liberal adalah dengan tidak mempedulikan pemikiran ini sebagai gerakan kulit putih borjuis. Pada intinya, itulah yang dilakukan oleh Ellen Willis dengan artikelnya The Conservatism of Ms yang terbit tahun tujuh puluh lima, yang mempersalahkan majala Ms, salah satu dari organ utama feminisme liberal, karena menekankan garis besar gagasan kelompok pseudofeminis. Setelah mengumpulkan beberapa gagasan dalam garis ini, Ellen Willis mencatat kalau penekanan kumulatif feminis liberal adalah pengabaian atas kebutuhan perempuan yang semakin mendesak untuk menghancurkan patriarki dan kapitalisme, serta penegasan atas kemampuan yang seharusnya dimiliki perempuan untuk dapat berhasil di dalam sistem yang ada. Apa pun yang ditawarkan oleh Ms, yang ditawarkan bukanlah feminisme: paling bagus, Ms adalah pengembangan diri, filsafat pembebasan individu yang hanya relevan bagi orang-orang elit, pada dasarnya, Ms merupakan fantasi majalah perempuan terkini. Alih-alih perempuan seksi atau ibu rumah tangga yang sempurna, kini memiliki citra baru yang harus dipenuhi, yakni perempuan terbebaskan. Fantasi ini yang gagal diinterpretasikan sebagai feminisme, menyesatkan beberapa perempuan, meyakinkan yang lain kalau pembebasan perempuan tidak ada hubungannya dengan mereka dan menjebak perempuan ke dalam tangan-tangan yang sesungguhnya menentang perubahan yang nyata atas kondisi perempuan. Kritik Willis mungkin tidak mencapai target pada waktu itu, namun Ms telah banyak berubah sejak pertengahan tahun tujuh puluhan. Para editornya telah menampilkan artikel yang memperlihatkan, misalnya bagaimana kelasisme, rasisme, dan heteroseksisme, saling berhubungan dengan seksisme, dan oleh karena itu, menciptakan opresi bagi perempuan tertentu secara berlipat dua, bahkan berlipat tiga. Lebih jauh lagi, feminis liberal, kecuali beberapa orang tertentu, bergerak menjauh dari keyakinan tradisional kalau setiap perempuan yang ingin membebaskan dirinya dapat melaksanakannya, secara individu dengan melemparkan yang mengkondisikannya dan secara sepihak menolak feminitasnya.”
Karena ulah Malik yang pertama kali memulai untuk mengkritisi pembicara pertama tadi, membuat pembicara dari delegasi lain ikut memberikan komentar lain di luar jatahnya berbicara.
Oh iya, yang mengikuti acara ini tidak hanya para pelajar dari sekolah negeri saja. Melainkan juga ada dua sekolah swasta yang mengirimkan delegasinya. Empat pelajar dari masing-masing sekolah swasta itu mempunyai kapasitas yang tidak kalah dengan sebagian delegasi di sini yang berasal dari sekolah negeri.
Acara ini telah berlangsung tiga puluh menit sejak moderator mulai mempersilakan pembicara pertama berbicara. Interupsi di buka lebar, dibatasi hanya misalnya terjadi ketegangan.
“Kamu bingung? Diam saja dari tadi?” Malik menggertakku.
“Iya. Semuanya opini sudah disampaikan. Pembicara terakhir adalah aku.”
“Ucapkan opini yang kamu kuasai. Setelah sudah mengalir dan suah percaya diri, lanjutkan dengan pemaparan sudah kamu pelajari baru-baru ini. Kalau kamu sudah percaya diridan mantap dengan opinimu, orang lain bisa memperhatikanmu dengan tenang. Bgeitu juga lawan bicaramu. Jangan tunjukkan keraguanmu sebagai bumerang lawan untuk menyerangmu. Aku bisa mengkritik mereka semua, karena aku melihat keraguan dan tidak kematangan mereka dalam pemaparannya,” jawab Malik.
“Jadi…”
“Ya, kamu bisa mengamati artikulasi, gerak-gerik, dan kegugupan pembicara hanya dari kerancuan kalimat dan penyampaiannya. Mungkin secara strutur bahasa tadi memang betul-betul sama. Tapi tidakkah kamu perhatikan bahwa mereka sangat tergantung pada catatan yang mereka bawa?”
“Jadi…”
“Yap, untuk mengejutkan orang baru. Apalagi kalau dianggap dia adalah lawan bicaraku. Aku harus melakukan sesuatu yang tidak mencolok,” senyum liciknya mengakhiri bisik-bisikku dengannya.
Ini anak memang paling bisa kalau jadi pusat perhatian.
“Kini mereka percaya kalau pencapaian yang sangat sederhana seperti misalnya menciptakan peluang kerja yang setara bagi perempuan memerlukan usaha yang lebih banyak daripada usaha individu seorang perempuan, tujuan itu akan menuntut usaha dan semua masyarakat yang berkomitmen untuk memberikan pendidikan awal yang sama bagi anak-anak perempuan dan laki-laki, juga untuk mengakhiri prasangka yang pada gilirannya akan menuntut redistribusi besar-besaran atas sumber daya dan perubahan kesadaran yang besar. Kesetaraan seksual tidak dapat diraih melalui keinginan kuat individu perempuan semata. Juga yang penting yaitu perubahan besar di dalam struktur sosial dan psikologis yang paling dalam. Feminisme liberal jauh dari kematian, feminisme liberal bahkan mungkin mempunyai masa depan yang radikal menurut estimasi Jean Bethke Elshtain. Untuk segala keterbatasannya, kekuatan feminisme liberal tidak dapat disangkal. Kita berhutang kepada feminisme liberal atas tujuan reformasinya di bidang pendidikan dan hukum yang telah memperbaiki kualitas hidup perempuan. Sangatlah diragukan kalau tanpa usaha feminis liberal, begitu banyak perempuan yang bisa mencapai posisi profesional dan posisi kerja yang lebih tinggi. Sudah jelas, ada hal yang lebih dari feminisme dari sekadar reformasi pendidikan dan hukum yang ditujukan: pertama-tama untuk meningkatkan status pekerjaan dan profesi perempuan. Namun, reformasi seperti itu tidak seharusnya diremehkan ataupun dikenang sebagai pencapaian masa lalu. Feminis liberal masih mempunyai pekerjaan sebelum pencapaian pendidikan, hukum, dan profesi atau pekerjaan semua perempuan dapat dipastikan.”
“Baik, terima kasih delegasi SMA PGRI 1 Surabaya atas pemaparannya. Selanjutnya pembicara yang terakhir yaitu dari Grace Sima Wandanaya, delegasi SMA Negeri 5 Surabaya.”
Setelah pembicara dan audiensi bertepuk tangan menyambut pembicara baru hendak berbicara, aku mulai menanggalkan bolpoinku di meja dan menggeser catatanku seolah-olah aku tidak membutuhkan itu. Aku melirik Malik sebentar, dia nyengir tipis. Kemudian tatapan Bu Ersa menyuruhku untuk berbicara dengan penuh percaya diri.
Aku tidak bisa berbohong. Aku begitu gugup. Di depanku terdapat tokoh-tokoh hebat, juga ada para guru yang mampu melahirkan para pelajar yang berkompeten seperti Ira, Granada, Rafly, Puyu, dan lain-lain.
Kalau kamu ingin bisa meyakinkan orang tentang ucapanmu walau itu sekadar opini, ucapkan dengan penuh percaya diri.
Aku teringat saran bunda yang sangat menyentuh, benar-benar menyambar ingatanku di waktu yang tepai.
“Malik!” Aku menggertak Malik yang tiba-tiba mencolek pinggulku sehingga aku merasa geli.
Gertakanku baru saja membuat setiap orang yang berada di ruangan melihatku. Mostly, mereka tertawa.
“Biar nggak grogi,” bisiknya.
Dan benar saja, hal itu memang ampuh melupakan sejenak kegugupanku. Semua orang terlihat menunggu-nunggu opini dan nada suara baru.
“Silakan.” Moderator memberikan panggungnya padaku.
“Menjelang usia tiga belas tahun, seorang gadis kecil sangat dekat dengan kakak perempuannya, dan dia merasa bangga telah mendapat kepercayaannya ketika kakaknya diam-diam bertunangan dan kemudian menikah: berbagi rahasia adalah sesuatu yang bisa diterima hanya di kalangan orang-orang dewasa. Gadis kecil itu tinggal dengan kakaknya selama beberap waktu, namun ketika kakaknya memutuskan untuk membeli seorang bayi, gadis kecil itu merasa cemburu dengan saudara iparnya dan kepada bakal si bayi. Gadis kecil itu mulai merasakan beberapa masalah internal dan ingin dioperasi karena radang usus buntu. Operasinya berhasil, namun selama tinggal di rumah sakit, gadis kecil itu hidup dalam keadaan agitasi yang keras: dia bertindak kasar dengan perawat yang tidak disukainya: dia coba merayu dokternya dengan mengatakan dia tahu segalanya dan berusaha mendapatkannya untuk melewatkan malam bersamanya—mungkin saja dokter itu tidak akan setuju, tapi berharap ini akan menerimanya sebagai seseorang yang sudah dewasa. Gadis kecil itu menyalahkan dirinya sendiri atas kematian adik lak-lakinya beberapa tahun yang lalu. Dan khususnya lagi, dia merasa yakin kalau mereka tidak membuang usus buntunya atau tetap meninggalkan sebagian di dalam tubuhnya: pengakuan kalau dia telah menelan sekeping uang logam barangkali diartikan agar dilakukan rontgen terhadap dirinya. Keinginan untuk dioperasi—khususnya pembuangan usus buntu—kerap kali dijumpai pada seseorang dalam usia seperti ini: gadis-gadis muda dengan cara ini mengekspresikan fantasinya tentang p*******n, kehamilan dan melahirkan. Mereka merasakan sesuatu secara samar-samar mengancam dalam diri mereka. Mereka berharap agar pembedahan menyelamatkan mereka dan bahaya yang tidak dikenal ini yang sedang menanti mereka. Sementara bukan kemunculan menstruasi yang hanya mengungkapkan takdir keperempuannya pada si gadis. Fenomena yang lain juga meragukan telah muncul di dalam dirinya. Sejauh ini kepekaan seksualnya ada pada klistorisnya. Tidak gampang untuk mendeteksi apakah m********i kurang lazim bagi anak gadis ketimbang anak laki-laki: dia melakukannya selama dua tahun pertamanya, bahkan mungkin sejak bulan-bulan pertama dalam kehidupannya: tampaknya dia sudah meninggalkannya pada usia sekitar dua tahun, lalu melakukannya lagi di kemudian hari. Penyesuaian anatomi dari batang yang tumbuh di daging laki-laki membuatnya lebih menarik perhatian untuk disentuh daripada sebuah selaput yang terletak di daerah tersembunyi. Namun peluang untuk mengadakan kontak—seorang anak memanjat tali atau pohon atau mengemudikan sepeda—gesekan dengan pakaian, tersentuh ketika bermain atau bahkan inisiasi dari teman bermainnya, anak-anak yang lebih besar atau orang dewasa, mungkin saja kerap membuat si gadis sadar akan sensasi yang dia usahakan untuk dia bangkitkan dengan menggunakan tangan. Dalam banyak kegembiraan semacam ini, saat dimiliki, adalah suatu sensasi yang independen: kegembiraan tersebut memiliki karakter dari segala hiburan kanak-kanak yang lazim dan menyenangkan. Si gadis hampir tidak menghubungkan seluruh kenikmatan pribadi ini dengan suratan keperempuanannya: hubungan seksualnya dengan laki-laki, bila memang ada, secara esensial hanya berdasarkan rasa ingin tahu. Dan sekarang dia merasakan dirinya terombang-ambing oleh emosi di mana dia tidak mengenali dirinya sendiri. Sensitivitas daerah-daerah tertentu di dalam tubuhnya berkembang dan ini begitu banyak terdapat dalam diri seorang perempuan, sehingga sekujur tubuhnya bisa saja dianggap sebagai daerah yang sensitif secara seksual. Kenyataan ini diperlihatkan padanya melalui pelukan-pelukan keluarganya, ciuman kasih sayang, sentuhan wajar dari seorang penjahit pakaian, dokter atau tukang potong rambut, melalui belaian sayang pada rambutnya atau tengkuk lehernya, dia mulai sadar, dan sering dengan sengaja mencari mencari sensasi yang lebih dalam relasi permainan, dalam bergumul dengan anak laki-laki atau perempuan. Sekarang masuk dalam kritik kedua bahwa perempuan tidak hidup dengan nalar dan otonomi semata. Dalam Feminist Politics and Human Nature, Alison Jaggar merumuskan kritik kedua kepada feminis liberal, yang ditunjukkan kepada konsep-konsep yang dianggapnya sebagai fundamental terhadap feminisme liberal. Layaknya Jean Bethke Elshtain, Jaggar mengkritisi feminis feminis liberal, terutama atas apa yang dipandangnya sebagai konsep feminis liberal mengenai diri. Menurut Jaggar, feminis liberal mengkonsepsi diri sebagai agen yang rasional dan otonom, yaitu diri laki-laki. Menyadari kalau tidak setiap orang dapat memahami mengapa rasionalitas dan otonomi adalah laki-laki, Jaggar secara teliti menjelaskan pendapatnya, pertama-tama dia menunjukkan kalau karena feminis liberal menempatkan keistimewaan manusia pada rasionalitas dan otonomi manusia, keduanya disebut sebagai dualis normatif—pemikir yang berkomitmen terhadap pandangan kalau fungsi dan kegiatan pikiran adalah dengan cara tertentu, lebih baik daripada fungsi dan kegiatan ragawi. Makan, minum, ekskresi, tidur dan bereproduksi bukanlah menurut pandangan ini, kegiatan manusia yang paling esensial, karena anggota dari spesies binatang lain juga melakukannya. Sementara, apa yang memisahkan manusia dari penciptaan binatang lain adalah kapasitasnya untuk berpikir, berimajinasi dan memahami.”
Aku memaparkan dengan lancar. Tidak ada kegugupan sedikit pun. Sebab yang aku sampaikan adalah opini yang pernah aku bahas dengan bunda sebelumnya. Malik benar, aku bisa menjadi sangat percaya diri dengan cara ini. Aku meliriknya sebentar yang dibalasnya dengan senyuman puas.
“Saya ingin melanjutkan argumentasi saya…”