Dalam diskusi akademik, tidak ada batasan sejauh mana argumen itu diarahkan. Tapi perlu diingat bahwa, dalam diskusi tidak boleh mengedepankan sifat sentimentil dengan asumsi ingin menang sendiri. Tujuan diskusi adalah untuk mengumpulan sebanyak-banyak dan sebaik-baiknya argumentasi. Dan itu hanya mungkin dicapai bila ruang argumen selalu dibuka. Meski ada orang yang diklasifikasikan punya reputasi akademik yang hebat sekali pun, bila sudah masuk dalam wilayah diskusi dengan orang lain, tetap tidak berhak menjadi totaliter dalam mengarahkan argumentasinya. Dia setara dengan lawan-lawan bicaranya.
Nah, yang perlu diingat bahwa di suatu forum, otoritas harus dikesampingkan terlebih dahulu. Kecerdasan seseorang tidak ditentukan melalui otoritasnya, melainkan dilihat dalam pemaparan argumentasinya. Apakah argumentasinya mengandung unsur logis, koherensi, konsistensi atau tidak. Ini sangat penting untuk diketahui publik bahwa mengesampingkan identitas dan penampilan personal untuk mengetahu aktualitas kecerdasan.
Saat ini, tidaklah berpengaruh apakah seorang murid berasal dari SMA favorit atau tidak. Yang dilihat adalah apakah dia benar-benar sebagai seorang murid punya kemampuan atau tidak, yaitu melalau cara berpikir, cara menyusun argumentasi, dan konsistensi dalam mempertahankan argumentasi. Hal ini berlaku dalam situasi sekarang. Masing-masing murid berbondong-bondong menuju sebuah forum untuk menumpahkan pengetahuannya di meja.
Forum acara ini, juga dipublikasi dalam stasiun televisi lokal untuk bisa disaksikan langsung oleh masyarakat. Tetapi, efektivitas responden dalam stasiun televisi juga sangat lambat. Maka dari itu, aku tadi mendengar penjelasan dari moderator acara bahwa acara ini juga akan dipasarkan di youtube, yang merupakan sarana pencari informasi dengan jumlah pengakses luar biasa yang isinya berupa kumpulan video-video dengan akses jangkauan seluruh dunia. Dan ada beberapa media yang akan ikut membantu mempromosikan acara ini. Fungsinya yaitu supaya forum diskusi anak SMA seperti ini bisa diaplikasikan di berbagai sekolah lain. Dan hal itu bisa dicapai bila acara ini memancing banyak penonton di berbagai media sosial.
Ada tujuh sekolah mengirimkan dua perwakilan murid terbaiknya untuk bertarung argumen di acara ini. Reputasi tujuh sekolah ini memang terkenal bagus. Khususnya, antara sekolahku—SMA Negeri 5 Surabaya, yang bisa disebut dengan akronimnya yaitu Smalabaya—dengan SMA Negeri 1 Surabaya, yang biasa dipanggil dengan akronimnya Smasabaya. Delegasi SMA Negeri 1 Surabaya mengirimkan Granada Putri dan Putri Ayu, keduanya sama-sama perempuan. Agaknya, setiba aku di sini memang aku agak sumir ketika mencari jawaban mengapa Malik yang laki-laki diikutkan dalam acara ini yang pembahasannya secara spesifik membahas tentang perempuan. Tapi aku juga menduga kalau musti diupayakan ada penyeimbangan. Oleh karena itu, diperlukan sudut pandang laki-laki. Atau kalau tidak, memang siapa pun bisa membicarakan tentang feminisme karena dalam wialayah ini memang mita tidak hanya berbicara tentang kondisi anatomi tubuh dan pengalaman keperempuanan saja, melainkan juga mengkaitkan dengan kondisi-kondisi sosial. Dan aku paham kalau Malik menguasai itu.
Toh ternyata dalam acara ini tidak hanya Malik semata yang satu-satunya laki-laki. Ada salah seorang delegasi dari SMA Negeri 6 Surabaya (Smanembaya) yang juga laki-laki.
“Sudah sangat jelas. Lebih baik membawa murid perempuan daripada murid laki-laki. Tapi kalau sudah begitu, itu artinya dia benar-benar punya kemampuan.” Malik menanggapi anak laki-laki dari delegasi Smanembaya itu.
Masih ada sekolah-sekolah lain yang membawa delegasi yang mumpuni. Paling tidak, ketiga SMA di atas yang saling berkompetisi merebut reputasi sekolah terbaik dengan melahirkan banyak lulusan yang cemerlang dan mampu meneruskan pendidikan SMA ke perguruan tinggi favorit.
Jelas sekali, tidak hanya para guru sejarah di beberapa sekolah, melainkan juga ada beberapa tamu undangan: budayawan, sejarawan, dan beberapa praktisi pendidikan. Ada juga beberapa pejabat pemerintahan, semuanya hadir di sini. Mereka dipastikan juga berkomentar.
Pak Taji, salah seorang budayawan yang juga menyelami profesi sebagai dalang. Menggeluti sejarah klasik, dan menguasai konsep-konsep sosial zaman kerajaan dengan berbagai intrik masyarakatnya.
Aku merasa begitu bangga bisa satu forum dengan mereka. Mungkin itulah mengapa acara ini bisa terbilang spesial, sebab dihadiri oleh tokoh-tokoh intelektual yang namanya sudah dikenal luas oleh masyarakat.
“Malik?!”
“Hem?”
“Kamu kenal Cak Dlahom?”
“.Em…” Malik sambil menggaruk-garuk janggutnya. “Kenal, salah satu bukunya sudah aku baca dan isinya sudah di luar kepala.”
“Oh, ya?”
“Pak Taji juga. Aku juga sudah beli dan baca buku karyanya.”
Lihat, orang Bandung saja sudah tuntas membaca karya dari seorang tokoh kelahiran Surabaya. Padahal, aku yang sudah lama di Surabaya pun, belum pernah sekali pun membaca karyanya. Aku hanya sering membaca buku karya orang-orang luar dan para penulis perempuan lokal.
“Bu Ersa ngelirik kita beberapa kali.”
“Aku rasa juga begitu. Seolah-olah dia penasaran dengan apa yang akan kita sampaikan. Sementara beberapa opini telah disampaikan.”
“Kita nggak perlu fokus mengejar sebagai pembicara terbaik. Hanya perlu mengutarakan yang kita tahu, Malik.”
Malik kembali membuang muka dan menyaksikan kembali delegasi lain berbicara.
“Kurang lebih sekitar seratus tahun kemudian, John Stuart Mill dan Harriet Taylor, menulis dan mengikuti arus pemikiran Wollstonecraft dalam hal mengkonsepsikan nalar. Tapi, mereka—John Stuart Mill dan Harrie Taylor—memandang nalar tidak utuh secara moral dan sebagai pengaruh pengambilan keputusan mutlak saja, melainkan juga melalui pemikiran yang hati-hati, sebagai pemenuhan diri atau penggunaan akal untuk mendapatkan apa yang dianggap sebagai tujuan. Bahwa menurutku memang perbedaan klasifikasi mereka dengan Wollstonecraft agaknya tidak begitu mengejutkan. Berbeda dengan Wollstonecraft, John Stuart Mill dan Harriet Taylor mengklaim bahwa cara yang biasa untuk memaksimalkan kegunaan maksimal—kebahagiaan atau kenikmatan adalah dengan membiarkan inidividu melakukan dan/atau mengerjar yang dia inginkan, selama mereka tidak saling membatasi satu sama lain dalam pencapaian tersebut. Saya menganggap bahwa, secara sekilas, pemikiran keduanya bisa mengeksplorasi konsep nalar dari Wollstonecraft secara lebih liberal dan membuka ruang sempit tentang konsep rasionalitas agar terbaca dan terlihat lebih luas. John Stuart Mill dan Harriet Taylor juga berangkat dari Wollstonecraft dalam keyakinan mereka, bahwa jika suatu masyarakat ingin mencapai kesetaraan seksual dan keadilan gender, maka masyarakat semestinya mulai harus memberikan kaum perempuan untuk bisa mengakses hak politiknya, serta membuka akses pendidikan buat perempuan seperti yang didapatkan oleh laki-laki. Mary Wollstonecraft yang pernah mencoba bunuh diri sebanyak dua kali, menolak untuk menikah hingga usia yang terbilang lebih lanjut dan memiliki anak di luar perkawinan. Di kehidupan yang lain, John Stuart Mill dan Harriet Taylor menjalani hidupnya dengan agak tidak biasa. Keduanya bertemu pada tahuun 1830, saat Harriet Taylor sudah menikah dengan John Taylor, sekaligus merupakan ibu dari dua anak laki-laki—anak ketiga yaitu Helen, lahir belakangan. John Stuart Mill dan Harriet Taylor segera saling tertarik satu sama lain, baik secara emosional maupun secara intelektual. Mereka mempunyai hubungan yang sangat dekat, selama dua puluh tahun, hingga meninggalnya John Taylor, ketika keduanya sudah menikah. Selama bertahun-tahun sebelum kematian suaminya, Harrie Taylor dan John Stuart Mill secara rutin bertemu untuk makan malam, dan dari waktu ke waktu menghabiskan waktu menghabiskan akhir pekan bersama di sepanjang gaungan pantai Inggris. John Taylor menyetujui pengaturan seperti ini sebagai imbalan atas formalitas eksternal yang diberikan Harriet untuk tetap menjadi istri di dalam rumahnya. Makna dari itu, ada toleransi yang diberikan oleh John Taylor kepada Harriet karena dia tetap melaksanakan tugas formal sebagai seorang istri di dalam rumah. Karena tawar-menawar yang tidak ortodoks ini dengan John Taylor, Harriet Taylor dan John Stuart Mill memiliki waktu untuk menulis, secara terpisah juga kadang bersama, kolaborasi keduanya menghasilkan beberapa esai tentang kesetaraan seksual. Debat akademik tentang siapa yang lebih berhak mendapatkan penghargaan atas gagasan spesifik tertentu dalam esai yang dihasilkan keduanya secara individu bahkan bersama, terus berlanjut. Bagaimanapun, secara general, diakui bahwa Harriet Taylor dan John Stuart Milll secara bersama menulis Early Essays on Marriage and Divorce (1832), bahwa Harriet menulis Enfranchisement of Woman (1851) dan John Stuart menulis The Subjection of Women. Sebagaimana dapat kita lihat nanti, pertanyaan atas siapa yang menulis dengan signifikan, sebab pandangan Harriet dan John Stuart sering kali berbeda. Mengatasnamakan alasan situasi pribadi mereka, fokus John Stuart dan Harriet tentang subjek seperti pernikahan dan perceraian tidak begitu mengherankan. Jauh dari menyetujui satu pemikiran bersama, John Stuart dan Harriet, keduanya seringkali berpandangan berbeda tentang cara terbaik untuk memenuhi kepentingan perempuan dan anak-anak. Sebab Harriet menerima pandangan tradisional bahwa ikatan ibu dan anak, atau yang istilahnya itu ikatan maternal adalah lebih kuat daripada ikatan bapak dan anak—paternal. Harriet Taylor segera berasumsi bahwa ibu adalah orang yang mustinya mengasuh anak-anak jika terjadi perceraian. Oleh karena itu, memperingatkan perempuan untuk hanya mempunyai sedikit anak. Sebaliknya, John Stuart mendorong pasangan untuk menikah dan mempunyai anak pada usia lebih matang, serta hidup di dalam keluarga besar atau di dalam situasi seperti pada sebuah komunitas, sehingga akan meminimalkan efek yang mengganggu kehidupan anak-anak jika terjadi perceraian. Tentu saja, John Stuart melihat bahwa entah itu laki-laki maupun perempuan yang bercerai harus memainkan peranan dalam kehidupan anak-anaknya. Walaupun Harriet tidaklah seperti John Stuart, yang mana tidak melawan asumsi dalam masyarakat tentang peran pengasuhan anak pada perempuan maupun laki-laki, namun dia menentang asumsi di dalam masyarakat tentang obsesi perempuan untuk lebih memilih perkawinan dan tugas sebagai ibu daripada karier dan/atau pekerjaan. John Stuart berpendapat bahwa bahkan setelah perempuan mendapat pendidikan penuh dan hak pilih, kebanyakan perempuan akan memilih untuk tetap berada di dalam ranah pribadi, tempat paling rpivat sekaligus yang paling primer dari perempuan adalah untuk memperindah sekaligus mempercantik diri, daripada mendukung kehidupan. Sebaliknya, Harriet berpendapat Enfranchisement of Woman bahwa tugas perempuan dan laki-laki adalah untuk mendukung kehidupan. Perempuan, menurutnya, seharusnya tidak hanya mencari kesempatan untuk membaca buku dan memasukkan suara dalam pemilu. Mereka juga harus mencari kesempatan untuk menjadi partner laki-laki dalam usaha dan keuntungan, risiko dan pendapatan dari industri produktif. Oleh sebab itu, Harriet mengestimasikan bahwa bila masyarakat memberikan perempuan pilihan yang bonafide antara mengorientasikan kehidupannya untuk satu fungsi k**********n dan konsekuensinya di satu sisi, dan menulis buku yang hebat, menemukan dunia baru dan membangun kerajaan yang besar, di sisi lain hanya sedikit perempuan yang akan merasa puas dengan apa yang didapatnya di rumah atau apa yang dapat ditawarkan oleh rumah yang elok.”
“Dengar? Putri Ayu, delegasi Smasabaya, kedua kalinya delegasi sekolah mereka memaparkan teori yang sama persis. Tokoh aliran feminisme liberal itu banyak padahal, nggak hanya Wollstonecraft, Harriet dan John Stuart, tapi mereka hanya menjelaskan tentang dirinya saja.”
“Sudahlah, nggak usah terlalu menggerutu lagi kalau soal itu.”
Sementara sikap Malik yang tidak terlihat khawatir itu, membuatku semakin bingung apa yang mustinya aku lakukan. Bu Ersa melirik ke arahku dan Malik secara bergantian. Aku seperti melihat ekspresi menenangkan di wajahnya. Semua yang dikatakan oleh Granada dan Putri Ayu itu adalah materi yang secara spesifik kami kaji di kelas.
“Ada suatu hal yang bisa dilakukan oleh perempuan dan sangat berpotensi menghancurkan d******i laki-laki. Maka terbukalah ruang persaingan antara laki-laki dan perempuan. Persaingan itu sendiri telah dianggap layak untuk mengesampingkan perempuan. Meskipun John Stuart meyakini kalau perempuan akan berhasil dengan baik dalam setiap dan semua persaingan dengan laki-laki, dia mengaku bahwa pada waktu-waktu tertentu, perbedaan jenis kelamin biologis akan memberikan peluang dan keuntungan besar bagi laki-laki. Seperti Wollstonecraft, John Stuart menyangkal adanya perbedaan intelektual atau moral antara laki-laki dan perempuan. Dia menyatakan, saya tidak mengetahui contoh yang lebih jelas dari ketidakpedulian yang dinafikkan oleh dunia, termasuk oleh kelompok laki-laki yang terpelajar dan diturunkan bersama dengan pengaruh lingkungan sosial, daripada penghargaan bodoh mereka yang rendah terhadap intelektualitas dan pujian bodoh mereka atas moral dan karakteristik perempuan.”
Putri Ayu masih mengoceh dengan lincah. Semua audiens menyimak dengan peneuh keseriusan. Poin-poin penting yang aku tulis di kertas sedikit banyak nggak akan aku pakai sebagai acuan argumen. Sebab kebanyakan poinku adalah garis besar pemikiran tiga tokoh di atas. Dan aku nggak mungkin memaparkannya lagi. Probably, situasi ini yang juga dicemaskan oleh Bu Ersa.