“Maaf, saya baru bisa pulang ke Surabaya hari ini…”
“Dan baru bisa mengabari saya detik ini? Saya nggak ingin lagi berhubungan dengan kamu. Walau sekadar diskusi sekali pun!”
“Maafkan saya, Grace…”
“Saya ada acara besok pagi, biarkan saya istirahat dengan tenang.”
“Acara apa? Di mana? Saya antar, ya…”
“Tidak perlu. Kan, beberapa detik yang lalu saya sudah bilang, saya nggak ingin lagi berhubungan dengan kamu. Artinya, termasuk kamu mengantar saya. Maaf, saya harus masuk. Permisi…”
Aku masuk ke rumah dengan perasaan campur aduk. Membiarkan dia meneriaki namaku: Grace! Grace! Maafkan saya!
Persetan dengan itu, dia seperti hilang di telan bumi semenjak beberapa tahun lalu. Lantas, dia tiba-tiba mendatangi rumahku dan dia terlihat seolah-olah mempekirakan kalau semua yang terjadi denganku baik-baik saja selama ini. Dengan entengnya mengucapkan kata maaf.
Sudahlah, aku tidak punya waktu meladeninya. Aku harus mengingat masa lalu. Tepatnya, sejarah perempuan, bukan lagi sejarahku dengannya.
***
Kami tiba di rumah Bu Ersa pukul 07.00 pagi. Mengingat kejadian semalam yang sedikit mengganggu, tapi aku tidak mau memperlihatkan kalau aku terpikirkan soal hal lain. Bu Ersa sudah sangat antusias menyambut kami. Berharap, kalau ada perwakilan dari anak asuhnya bisa membawa nama baiknya secara personal dan sekolah semakin dihargai setelah ini.
Bu Ersa menyambut kami dengan pertanyaan-pertanyaan bersifat perhatian. Sudah makan atau belum, alangkah baiknya makan dulu sebelum berangkat ke acara, dia mengajak kami makan di rumahnya, sementara kami berdua menolak sebab sama-sama sudah makan. Sopir Bu Ersa sudah selesai menyiapkan mobil.
“Saya tinggal sama orang tua. Jadi istilahnya sama masih numpang.”
Bu Ersa secara blak-blakan membicarakan hal secara personal. Jadi sangat berbeda dengan suasana ketika di kelas saat dia benar-benar serius mengajar. Aku dan Malik agak sungkan menghadapinya. Dia terlalu humble jika di luar sekolah.
“Di sekolah, kalian adalah murid saya. Tapi ketika di rumah, kalian adalah tamu saya. Saya nggak bisa menggurui kalian kecuali kalau kalian sendiri yang meminta saya menjawab pertanyaan seputar pelajaran. Tapi, selama lima belas menit ke depan, kalian adalah tamu saya yang hanya saya beri suguhan dan apa saja yang kalian inginkan. Begitu kalian sudah dalam tempat acara, kalian kembali menjadi murid saya,” katanya dengan ramah.
Meninggalkan motor dan melaju bersama Bu Ersa menggunakan mobilnya. Sopirnya sangat ramah, sering melontarkan candaan, memuji aku cantik, dan katanya, aku ingin dijadikan mantunya. Padahal anak laki-lakinya masih umur lima tahun. Malik tertawa.
Sepanjang perjalanan, kami membicarakan hal teknis seputar acara. Sesekali Bu Ersa menanyakan apakah belajar dan diskusiku lancar dengan Malik. Dia hanya tersenyum bangga. Pasalnya, di beberapa daerah atau di sekolah-sekolah lain, untuk memberikan kesempatan berupa program acara agar para pelajar SMA atau apa pun punya determinasi terhadap peminatan sejarah. Selama ini, kebanyakan pelajar menganggap bahwa pelajaran sejarah adalah pelajaran membosankan, dan bagi kebanyakan pelajar yang hanya dokus menggeluti ilmu-ilmu eksakta menganggap bahwa sejarah itu tidak ada gunanya. Sebab, menekuni bidang sejarah tidak dijaminkan akan mempunyai masa depan yang cemerlang. Mereka lebih memilih hanya fokus mendengarkan guru menjelaskan algoritma, aljabar, dan rumus katrol.
“Semua karena para pelajarnya, sebenarnya. Mustinya campur tangan guru juga bermain di sini. Di sekolah mana pun, guru hanya menyebut murid itu pintar jika murid itu menguasai ilmu-ilmu eksak. Matematik, fisika, atau kimia, misalnya. Sedangkan, murid yang menguasai seni, sastra, sejarah, tidak begitu diperhatikan. Itulah yang menjadi latar belakang mengapa kami, para guru sejarah di berbagai sekolah yang ada di Surabaya, menginisiasi acara ini, agar mereka yang menekuni sejarah, punya kesempatan unjuk gigi dan apa yang dikuasai bisa dihargai oleh publik, bahwasanya sejarah itu penting. Keluasan sejarah membuat para pembelajarnya juga butuh tenaga untuk membaca, menggali informasi, dan lain sebagainya. Ya, saya harap kesempatan ini berguna buat kalian di masa depan.”
“Mungkin benar yang dikatakan Eka Kurniawan, salah seorang penulis, bahwa sekolah tidak mencari orang bodoh untuk diubah menjadi pintar, tapi hampir semua sekolah mencari orang pintar untuk dijejali semua pengetahuan. Nahasnya, sebagian menjadi pintar, sebagian malah menjadi bodoh.” Malik membalas penuturan Bu Ersa dengan radikal.
Bu Ersa membalasnya dengan senyum tipis. Pasalnya, yang dimaksud sekolah itu abstrak. Bisa saja mengarah pada siapa kepala sekolahnya, tapi Bu Ersa kemungkinan paham kalau sekolah yang dimaksud oleh Malik adalah sistem.
“Bahwa seolah-olah kapasitas otak manusia bisa dijejali oleh seluruh pelajaran. Mungkin orang tertentu bisa paham atau menguasai semua, tapi tetap pada akhirnya dia akan konsentrasi pada satu hal sesuai bakat. Menurut saya, sekolah mustinya membantu menemukan dan memfokuskan seseorang pada minat masing-masing. Tidak seperti sekolah STM. Pelajar STM memang difokuskan ke satu bidang, namun dari awal mereka tetap dijejalkan semua mata pelajaran. Pertanyaannya, dari hal apa mereka menentukan kalau teknik mesin, listrik, teknik informatika, adalah salah satu bidang yang sesuai dengan bakat dan minat mereka, sementara di SMP, mereka tetap dijejali dengan seluruh pelajaran yang dijejalkan secara membabi buta.”
Setelah pembicaraan itu, hening kemudian. Bu Ersa duduk di depan di samping sopirnya. Sementara aku dan Malik duduk di belakang. Dia menyandarkan kepalanya. Aku lebih sering bermain ponsel ketika Bu Ersa dan sopirnya sibuk berbicara tentang arus lalu lintas yang macet dan mencari-cari jalan alternatif.
Malik terus mengerjapkan matanya. Kelihatannya dia kelelahan. Inginku mengelus lembut rambutnya. Tapi, takutnya dia masih belum tidur, hanya memejamkan matanya saja. Aku mengurungkan niatku sejenak. Dan mengalihkan ambisiku itu dengan mendengarkan lagu-lagu jazz yang menenangkan.
Aku memejamkan mata. Sedikit bersenandung agar tidak sampai ketiduran.
“Jangan sampai tidur loh, ya..,” tegur Bu Ersa mengingatkan.
“Cuma nyender aja kok, Bu.”
Bu Ersa belum tahu kalau Malik sudah terlewat pulas. Inginku segera membangunkannya, tapi aku tidak tega. Dia kelihatan lelah dan tidurnya sangat pulas. Aku akan membangunkannya nanti ketika sudah dekat dengan lokasi acara, meski aku tidak tahu di mana tepatnya lokasi itu.
Tidak lama kemudian, ketika aku masih sibuk bersenandung sambil memejamkan mata, kepala Malik merosot dan menimpa bahuku. Aku terkejut seketika. Aku berusaha mengembalikan posisi kepalanya seperti semula. Namun, karena takut dia terbangun atas tindakanku dan dia menyalahartikan upayaku, aku membiarkannya.
Berselang beberapa menit, dengan posisi kepala Malik yang bersandar di bahuku, aku baru ngeh dan takut kalau Bu Ersa menemui hal ini. Tidak ada pilihan lain selain menyingkirkan kepalanya.
Aku perlahan-lahan menggeser posisiku ke kiri, dan menahan kepalanya dengan kepalaku. Aku angkat posisi kepalanya dan mengusahakan agar kepalanya nyaman bersandar di kursi mobil.
“Malik! Sudah sampai!” Aku menggoyang-goyangkan tubuhnya.
Bu Ersa yang baru tahu kalau Malik usai tertidur, hanya bisa menggelengkan kepalanya dan memaklumi. Aku berjalan beriringan dengan Bu Ersa dan menemui pelajar-pelajar dengan seragam berbeda dari sekolah lain. Malik sibuk mengusap-usap matanya dan izin ke kamar mandi untuk membasuh muka. Aman. Dia tidak kelihatan lecek usai dia tidur tadi. Semoga kelelahannya tidak mempengaruhi performanya ketika acara dimulai nanti. Aku tahu Malik punya kompetensi yang baik buat mengetahui suatu kondisi. Dia tidak hanya membawa dirinya dan pengetahuannya sendiri. Dia membawa nama sekolah dan kepercayaan Bu Ersa, khususnya.
Aku dan Bu Ersa menunggu di luar. Menyapa dan saling lempar senyum dengan delegasi sekolah lain. Beberapa kali Bu Ersa dihampiri oleh teman guru dari sekolah lain. Agaknya, lingkup pertemanan Bu Ersa juga luas. Ada seorang guru dari sekolah yang tempatnya lumayan jauh dari sekolah tempat dia mengajar, tapi saling mengenal satu sama lain.
Bu Ersa berkali-kali melihat jam yang melingkar di tangannya. Tampaknya, dia lelah menunggu Malik yang memang lama di kamar mandi.
“Lama banget, sih!” Aku menggerutu ketika sosoknya baru terlihat setelah sekian lama.
Kami segera masuk gedung dan berkumpul di satu tempat bersama yang lain.
Ada meja panjang eksklusif buat para pelajar delegasi sekolah. Ada meja-meja buat buat para guru dengan di atasnya ada minuman dan beberapa makanan ringan yang sudah disiapkan begitu kami semua dipersilakan masuk.
Semua saling bersalaman dan menduduki tempat masing-masing. Berselang beberapa menit, aku mulai sedikit merasa tegang ketika moderator mulai memasuki tempat acara dan mengingatkan kalau acara akan segera dimulai.
Beberapa pelajar mempersiapkan catatan-catatan kecil di kertas mereka. Tidak ada yang membawa buku bacaan. Nampaknya, tekanan dan pemandangan intelektual ini sudah aku rasakan tepat aku tiba di sini. Aura-aura intelektual mereka sudah tercium olehku. Mereka seperti maniak-maniak sejarah. Terlihat seperti sudah melahap banya buku-buku sejarah.
“Baik, kita akan memulai acaranya…”
Semua sudah bersiap. Baik para pembicara dari kalangan pengajar, juga para evaluator, para guru yang hadir. Bu Ersa melemparkan senyum padaku dan Malik. Aku melirik Malik yang seperti tidak ada beban psikis sama sekali. Padahal aku tertekan betul dengan tampang-tampang delegasi dari sekolah lain.
Moderator menjelaskan ulang mekanisme acara yang sama persis dengan penuturan Bu Ersa padaku tempo hari.
“Baik, saudari Granada Putri dari SMA Negeri 1 Jombang, dipersilakan menuturkan argumentasinya…”
“Mary Wollstonecraft menulis pada saat kondisi sosial dan ekonomi di Eropa sedang terpuruk. Sekitar tahun 1759 hingga 1799. Hingga abad ke-18, pekerjaan produktif telah dilakukan, yang mana pekerjaan produktif itu adalah pekerjaan yang menghasilkan pendapatan untuk menghidupi sebuah keluarga, baik oleh laki-laki maupun perempuan. Tetapi kemudian, kekuatan industri kapitalisme mulai menarik keluar tenaga kerja keluar rumah dan kemudian memasuki ruang kerja publik. Awalnya, proses industrialisasi ini bergerak perlahan dan tidak teratur, dan meninggalkan dampak besar kepada perempuan borjuis yang sudah menikah. Dan perempuan dalam kelompok ini merupakan perempuan-perempuan yang pertama-tama merasakan tinggal di rumah dan tidak mempunyai pekerjaan produktif yang harus dilakukan. Sebab mereka, perempuan-perempuan itu menikahi para profesional dan pengusaha yang relatif kaya. Jadi perempuan ini tidak mempunyai intensif untuk kerja di luar rumah atau melakukan pekerjaan produktif di dalam rumah, jika mereka mempunyai beberapa pelayan. Karena diabaikan kekuatan nalarnya, untuk menjadi manusia bermoral penuh perhatian, motif, dan komitmen yang lebih dari sekadar kenikmatan pribadi, dia akan menjadi sangat emosional. Nah, istilah ini yang seringkali dihubungankan Wollstonecraft dengan hipersensitivitas, narsisme yang ekstrim dan pemanjaan diri yang berlebih-lebihan. Karena secara umum penilaiannya yang negatif atas emosi dan penilaian yang tinggi atas nalar, sebagai kapasitas yang membedakan antara manusia dari binatang, nggak mengherankan bila Wollstonecraft sangat membenci Emile, karya dari Jean-Jacques Rousseau. Dalam buku itu, Rousseau menggambarkan perkembangan rasionalitas sebagai tujuan pendidikan paling penting bagi laki-laki, tetapi tidak bagi perempuan. Rousseau berkomitmen terhadap dimorfisme seksual, suatu pandangan yang berpendapat bahwa laki-laki yang rasional adalah pasangan yang tepat bagi perempuan yang emosional. Juga menurut pandangannya, laki-laki harus dididik dalam nilai-nilai. Misalnya, keberanian, pengendalian diri, keadilan, dan kekuatan mental. Sementara perempuan harus dididik dalam nilai-nilai, misalnya kesabaran, kepatuhan, temperamen yang baik dan kelenturan. Karena itu, murid laki-laki yang idel bagi Rousseau adalah yang seperti Emile, yang akan mempelajari tentang kajian kemanusiaan, ilmu sosial dan juga ilmu alam. Sementara, murid perempuan yang ideal bagi Rousseau adalah seperti Sophie, yang menyibukkan diri dengan musik, kesenian, fiksi, dan puisi sembari mengasah keterampilannya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah. Rousseau mengharapkan bahwa dengan mengasah kapasitas mental Emile, dan membatasi kapasitas mental Shopie, akan menjadikan Emile sebagai warga negara yang dapat menentukan nasibnya sendiri, serta menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab dan menjadikan Shopie sebagai istri yang penuh pengertian dan tanggap. Mempelajari pemikiran Mary Wollstonecraft yang mengkritik Rousseau terhadap proyeksi Shopie sebagai perempuan, bahwa Wollstonecraft berpendapat bahwa asupan n****+, puisi, musik, dan perhatian kepada penampilan terus-menerus, akan menjadikan Shopie sebagai kelemahan, bukan sebagai pelengkap suaminya. Dia—Shopie—akan menjadi makhluk dengan daya pikir yang lemah, dan bukan mempunyai penalaran yang baik. Hormonnya akan semakin meluap, hasratnya meledak-ledak dan emosinya akan mengalami pasang-surut yang cepat. Dampaknya kemudian, maka Shopie akan kesulitan atau bahkan tidak bisa menjalankan tugas kesehariannya sebagai seorang istri, dan terutama sebagai ibu.
Penawaran yang diberikan kepada Shopie agar bisa seperti Emile adalah dengan mendapatkan pendidikan yang memungkinkan dirinya untuk mengembangkan kapasitas rasional dan moral, yang mampu untuk menggali potensinya sebagai manusia yang lengkap. Terkadang, Wollstonecraft menyampaikan argumentasinya yang lebih berfokus kepada kesetaraan pendidikan dalam istilah utilitarian. Dia mengkalim bahwa, tidak seperti perempuan lain yang cenderung lebih emosional dan bergantung pada orang lain, yang mana mereka terbiasa untuk mengindari tugas-tugas domestik dan lebih memilih untuk memanjakan hasrat tubuhnya. Perempuan yang cenderung emosional seperti itu lebih identik menjadi anak perempuan yang pengamat, saudara perempuan yang penuh kasih sayang, istri yang setia dan ibu yang berakal.
Bagaimanapun juga, tidak semua argumentasi Wollstonecraft dalam konsep pendidikan adalah utiliter. Wollstonecraft menegaskan, jika nalar adalah poin untuk membedakan antara manusia dengan binatang, maka perempuan dan laki-laki keduanya mempunyai kapasitas ini. Maka dari itu, masyarakat harus mampu menyediakan sistem pendidikan yang sama kepada perempuan, seperti juga yang diberikan kepada laki-laki, sebab semua manusia berhak atas pendidikan yang sama. Semua manusia berhak atas peningkatan kapasitas nalar dan moralnya. Sehingga mereka sungguh-sungguh dapat menjadi manusia yang utuh.
Setiap jengkal dalam A Vindication of the Right of Woman, Wollstonecraft mendorong perempuan untuk menjadi pengambil keputusan yang otonom. Sementara, untuk mencapai itu, langkah utama yang harus diberikan adalah melalui pendidikan. Meskipun Wollstonecraft menganggap bahwa otonomi perempuan tidak lepas dari pengaruh ekonomi dan politis laki-laki, dia mengatakan bahwa perempuan yang sangat terdidik tidak harus mandiri secara ekonomi, taau aktif secara politis untuk menjadi manusia yang otonom. Bahkan Wollstonecraft mengabaikan gerakan perempuan untuk memperoleh banyak suara sebagai sesuatu yang membuang-buang waktu, karena anggapannya, seluruh representasi hukum semata-mata adalah cara penanganan yang nyaman untuk mencari suaka sebuah despotisme atau tirani.”
“Malik!” Aku membisik dengan ketus.
“Hem?” Dia bergumam sambil memperhatikan—dengan gaya bodo amat—pembicara yang bernama Granada Putri itu.
“Penuturan dia sama persis sama yang pernah dibahas di kelas!”
“Biarin aja, kan emang standar kurikulumnya sama dengan sekolah kita…”
“Tapi, kalimatnya benar-benar sama. Aneh nggak, sih?!”
“Ingat yang pernah dikatakan bunda? Kalau lawan bicaramu adalah teman berdiskusi yang baik. Dia akan mampu menguasai retorika yang kita sendiri pun sudah pernah mengatakan itu. Hanya saja, langkah kita ke depan musti lebih maju darinya.”