Perihal usiaku yang mencapai angka 17 tahun, sebentar lagi aku akan mempunyai kartu identitas baru. Katanya, di angka usia ini, seseorang bisa dibilang sudah mampu berpikir hampir layaknya orang dewasa. Yang membedakan hanya jam terbang atau pengalaman. Nissa—temanku—usianya sama denganku dan tidak ada hal yang membedakan di antara kami. Pemikiran dan pengalaman-pengalaman ke-perempuanan kami juga standar-standar saja, mungkin yang membedakan hanya obsesi saja, sih. Visi setelah lulus SMA, misalnya. Aku tahu, dia termasuk remaja dengan latar belakang keluarga yang sederhana, namun, terlepas dari itu, Nissa termasuk manusia yang lebih pantas mendapat istilah “kaum terdidik”. Obsesinya untuk masuk ke peguruan tinggi jauh lebih tertata rapi dibandingkan denganku—yang masih berantakan. Padahal, Nissa sering mengakui kalau keluargaku lebih mampu dibandingkan keluarganya sendiri
“Tuhan telah menggariskan takdir pada setiap hambaNya. Bukan hanya kelebihan, ada sisi kekurangannya juga. Dan sekarang, yang kamu lihat dari keluargaku adalah hanya sisi lebihnya saja. Beruntung kita masih punya orangtua lengkap.” Di suatu pagi, aku mendengar sikap pesimistis dari Nissa, sekaligus secara implisit pula, dia protes kalau: kenapa dia tidak berada di posisiku dengan notabene keluarga yang mampu? Aku tidak marah, hanya sedikit tersinggung. Kenapa pemberian Tuhanku seperti tidak pantas untuk dia syukuri? Padahal secara ekonomis, dia juga tidak susah-susah amat. Dan, inilah kurangnya Nissa. Yang paling menyayangkan darinya adalah obsesinya tidak seharusnya berjalan beriringan dengan rasa pesimis dan kecenderungan menuntut lebih.
Selama aku masih dalam kondisi waras, aku tidak mengkhawatirkan orientasi ke depanku setelah lulus SMA seperti apa. Aku bukan mengikuti alur atau cenderung berleha-leha karena kamu menganggap mamaku seorang dosen—yang dianggap bisa menuntun langkahku ke depan, tanpa aku harus repot-repot mikir. Memang benar, tapi setiap keputusanku juga kadang berlainan dengannya. Apalagi menyangkut hal-hal yang belum pernah kurencanakan. Kalau seorang anak punya kisah hidupnya sendiri, kenapa harus tumpang tindih dengan ego orangtua yang cenderung menuntun ke sana- ke mari?
Kalau bicara soal hak dan wewenang, aku tidak bisa membantah. Secara fungsional, orangtua kan, memang begitu. Mengarahkan anaknya untuk seperti apa, bagaimana, dan lain-lain. Tapi, satu esensi orangtua yang paling penting menurutku adalah mendukung. Karena mendukung itu bisa meminimalisir pressure pada anak, mengecilkan potensi keributan antara orangtua dan anak. Apakah bundaku seperti itu?
Bisa dibilang, beliau cukup rasional jika menyangkut aku. Misalnya, tidak memberikan suatu dogma yang menyebabkan aku terkekang dan menjadi pribadi yang tak percaya dengan kapasitas diri sendiri, karena dogma yang sifatnya melekat permanen sebagai ajaran yang tidak bisa dibantah dalam hal apapun. Seperti halnya Nissa, untuk urusan pendidikan, dia dibebaskan memilih: mau kuliah atau tidak, itu terserah dia. Bukan satu perintah permanen yang justru berpotensi menimbulkan tekanan buat dirinya.
***
7 Juni 2015
Pagi itu, aku berjalan lirih menuju rumah. Walaupun sebenarnya belum mau pulang. Ditemani hujan gerimis, membuatku malas beranjak, tapi aku harus pulang. Karena Nissa mengabari kalau dirinya sudah tiba di rumahku, aku memutuskan menerobos gerimis itu. Jalanan lengang. Aspal nampak licin dan berbahaya. Setiba di halaman rumah, air hujan berhenti mengena. Bau tanah yang khas setelah diguyur hujan. Pintu rumah terbuka lebar.
Sebentar Nissa, tahan rasa laparmu.
Setelah tenang usai mengendus bau tanah yang pekat segarnya itu, aku menyapa mereka. Ada ayah yang sedang duduk di meja makan. Bi Asih sedang pulang kampung, yang mempersiapkan makanan sementara yaitu kami—aku dan Bunda. Terlihat bunda dan Nissa yang tampak sibuk di dapur menyiapkan hidangan. Aku menenteng totebag yang berisi: kentang, saus, dan beberapa bumbu dapur. Kami mulai bekerja seperti layaknya perempuan tulen pada umumnya. Gesit mengupas kentang, mengolah bumbu, dan bernyanyi.
“Sepupuku mau pindah ke sini besok.” Nissa nyeletuk.
“Sepupu yang mana?” Responsku biasa saja, sembari meneruskan mengiris potongan kentang yang terakhir.
“Sepupu dari Bandung. Ikut ayahnya karena dipindahtugaskan ke sini. Dan sepertinya dia juga akan mendaftar di sekolah kita nanti.”
Aku agak terkejut mendengar kalimat terakhir Nissa. Meskipun masih dalam sikap yang biasa-biasa saja, karena aku tidak ada hubungannya dengan itu.
“Terus?”
“Untungnya dia laki-laki, otomatis dia nggak akan merepotkanku karena harus mengajaknya ke sana- ke mari, membantu membeli bedak atau mengajaknya ke tempat untuk membeli skincare yang cocok.”
“Dia seumuran dengan kita?”
“Iya. Dan dilihat dari kacamata perempuan, Malik bisa dibilang ganteng, sih.”
“Malik?”
“Iya. Malik, namanya.”
“Untung aku nggak pakai kacamata. Jadi yang bilang dia ganteng, aku nggak termasuk.”
Bunda cengengesan di seberang.
Untuk urusan cowok, bunda paling agresif mengatur itu. Bukan dalam hal memberikan kriteria cowok yang begini-begitu, tapi mengembalikan ke diriku sendiri supaya hati-hati dan tidak gegabah terpengaruh circle. Sekali ruang gerak lingkungan kita mengandung karakter yang membabi-buta untuk pacaran, biasanya kita akan mudah terpengaruh dengan kebiasaan itu. Dan untungnya, Nissa pun bukan termasuk perempuan yang mempermasalahkan soal keamatirannya soal pacaran, dia santai-santai saja. Tidak seperti di era sekarang yang kalau malam minggu dilalui sendiri, lalu frustasinya setengah mati: bukankah Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan—laki-laki dan perempuan—kenapa malam minggu hanya sendiri?
Yang aku khawatirkan tentang masalah percintaan adalah karena mendatangkan segala sesuatu yang serba salah. Terlalu percaya, tapi celah untuk berbohong dari manusia yang tidak bisa dipisahkan. Terlalu menyayangi, tapi ada potensi untuk tidak dihinggapi. Terlalu mencintai, bisa saja nanti ditinggal pergi. Di sisi lain, kalau melakukan segala sesuatu yang serba nanggung itu tidak enak. Makanan saja kalau enak, kita biasa mengatakan “enak banget”, meski sepuluh menit berlalu rasanya menjadi hambar. Tapi, kenapa beda halnya dengan mengatakan “cinta banget”? Seperti ada perasaan cemas setelah megucapkannya.
Sekaligus menurutku, laki-laki itu bukan seperti martabak. Yang setelah habis kenikmatannya bisa dibeli atau dibuat lagi. Laki-laki yang nikmat itu lebih sulit—sulit dicari, dipahami, dan dimiliki sampai mati.
Ah, kenapa hari ini aku jadi mengatakan demikian.
Tapi, kau setuju tidak?
Ayahku sedang di rumah, dan dia akan kembali bekerja setelah aku sudah aktif kembali masuk sekolah. Menarik sebenarnya jika membahas tentang ayah. Coba aku kasih pertanyaan yang potensial mengganggu otak kalian, yang sebelumnya aku juga mengalaminya, tapi, sudah kutemukan jawabannya. Sudah kujelaskan di bab pertama, tentang pekerjaan ayahku. Gajinya tidak sedikit. Tapi pertanyaanku, kalau disuruh memilih: gaji banyak tapi jarang pulang (kerja jauh dari rumah) atau gaji biasa saja (cukup) tapi sering pulang?
Kalau suaraku bisa membatalkan ego ayahku, mungkin dia tidak perlu menunggu hari raya atau tahun baru untuk bisa pulang dan berjumpa dengan kami. Tapi, aku sadar dengan kompetensiku yang sekarang. Walau memang aku anaknya, tapi keputusan yang dirasa benar, tetap masih dipegang oleh orang dewasa atau dalam hal ini orangtua. Ya baiklah, jika ayahku sehat dan tidak neko-neko di sana, sementara aku biarkan saja dia dengan egonya. Aku belum bisa menjamin hal-hal yang menurutku benar itu baik buat keluarga kami. Ada kalanya, kebenaran menurut pribadi itu harus disimpan baik-baik sendiri, sebelum kebenaran itu tidak diterima dengan benar menurut oranglain dan alhasil mendatangkan keributan. Ribut adalah sesuatu yang aku hindari. Apalagi menyangkut orangtuaku.
27 Juni 2015
Sekolah telah aktif kembali hari ini. Aku naik ke kelas 11, aku jurusan IPS. Bab berikutnya akan kujelaskan kenapa aku lebih memilih Ilmu Pengetahuan Sosial, terlepas dari latar belakang lingkungan anak-anak sosial yang “katanya” nakal-nakal dan kalah kodratnya dibandingkan anak-anak IPA.
Aku mendatangi kelas baruku yang ternyata lain dengan kelas Nissa. But, I’m okay. Itu sudah biasa, mengingat di kelas 10 pun aku juga tidak satu atap kelas dengannya. Dan perbedaan itu tidak memecah kami.
Model penataan tempat duduk kelasku dibuat satu kursi dan satu meja per satu orang. Jadi sengaja dibuat begitu agar merumitkan rencana pelajar jika mau menyontek. Aku melihat papan kelas yang biasa ditempel denah kursi duduk dan mencari namaku di sana. Setelah kutengok kursinya, ternyata sudah ada orang yang menempati. Tapi, setelah aku pastikan berulang kali, yang ditempati oleh pria itu adalah tempat dudukku. Aku menghampirinya. Waktu itu dia sedang menunduk, membaca buku. Aku tidak tahu buku apa yang sedang dibacanya. Dan name tag di dadanya tidak terlihat.
“Permisi,” sapaku pelan.
Dia mendongak. Wajahnya tampak asing.
“Sesuai denah di papan, ini tempat dudukku,” ujarku pelan, sehingga tidak tampak menyinggung cowok itu atas keteledorannya.
Dia kaget. Lalu bangkit dari duduknya. Terlihat name tag-nya. Tertulis: Malik.