Anissa Safitri- Dia yang Kubilang Temanku

871 Kata
Sekarang, aku mau cerita sedikit soal sosok di sub bab ini. Namanya, Anissa Safitri. Perempuan yang memiliki tinggi 155 cm. Berat badan 45 kg. Dia cukup atletis jika dibandingkan denganku. Hobinya main skateboard dan baca n****+, sering me-review isi n****+ itu bersamaku. “Sudah siap berangkat?” Nissa setiap pagi selalu tiba di rumahku. Entah untuk ikut sarapan pagi atau numpang mandi ke rumahku kalau di rumahnya sedang ada kakak perempuannya yang saat pagi pasti mendahului langkah Nissa untuk ke kamar mandi. Dan itu bisa sampai berlarut-larut. Kalaupun Nissa di rumah punya dua kamar mandi, pasti dia akan bersyukur setengah mati. “Sarapan dulu lah,” ucap Nissa yang sudah duduk nyaman di meja makan. Aku pun ikut duduk di sebelahnya. Seperti biasa, bibi sudah menghidangkan banyak makanan. Tanpa basa-basi, Nissa menyantap makanan yang sudah tersedia di meja. Tanpa harus menunggu aku yang memulai makan. Bunda ada jadwal ke kampus pagi-pagi sekali. Tidak selalu begitu dan bukan baru kali ini bunda berangkat tanpa sempat makan bareng bersamaku dan Nissa. Aku biasa saja menyingkapi hal itu. Karena setiap pulangnya bunda, dia pasti mengajakku makan bersama di rumah. Bahkan, ngobrol bareng dengan Bi Asih— asisten rumah tangga di rumah, membicarakan banyak hal. Membahas tentang kampusnya, para mahasiswa, juga membahas tentang bagaimana perkembanganku di sekolah. Aku paling suntuk jika harus membahas topik yang ketiga itu. Pasti aku yang paling disudutkan dan yang harus paling ekstra membela diriku sendiri. “Em.., Grace. Kamu punya keinginan buat lanjut ke mana setelah lulus sekolah?” tanyanya. Kalau aku harus jujur tentang jawaban apa yang sedang aku siapkan untuk pertanyaan Nissa tersebut, tidak ada. Aku tidak menemukan jawabannya. Aku masih baru kelas dua SMA, dan terlalu cepat jika aku harus memikirkan langkah setelah lulus. Masih dua tahun lagi aku menempuh pendidikan SMA. “Kuliah atau kerja? Tapi, melihat dari kondisi keluarga kamu yang sudah berkecukupan seperti ini, kamu pasti kuliah, kan?” katanya lagi. Aku sempat memikirkan jawaban untuk menghargainya bicara. Walaupun, memikirkan aku harus kuliah pun tidak ada ruang di otakku. Aku hanya menikmati apa yang ada dulu. Meskipun banyak anjuran, bahwa seseorang harus punya tujuan dan target yang dibuat untuk diwujudkan. Dan itu harus dibuat sejak awal-awal. “Kuliah deh keknya, Nis.” Aku jawab dengan asal. “Kok kayaknya sih? Kamu tuh harus nentuin dari sekarang. Kalau kuliah, kuliah di mana, jurusan apa. Jangan sampe waktu kelas akhir nanti, jadi makin bingung.” Aku menghelas napas berat. Tidak terlalu menarik saran dari Nissa itu. Soalnya sudah sangat sering aku mendengar masukan yang sama seperti yang diucapkan Nissa. Bahkan tiap hari aku bisa mendengar saran seperti itu. Iya. Dari bunda. Sepertinya, dari segi saran yang seperti itu, aku tidak bisa membedakan mana sosok bunda dan sosok dosen. “Eh, iya… Ayahmu kapan pulang?” tanyanya. “Besok,” kujawab. Pertanyaan seperti inilah yang seharusnya Nissa katakan padaku, singkat, padat, dan jelas. Tapi jawaban setelahnya yang membuat semua urusan semakin lama. Akan lebih banyak lagi yang Nissa ingin tahu setelah aku menjawab, ayahku akan pulang besok. “Waaah… Dapet bingkisan dong bentar lagi dari Om Ferdy,” “Siapa?” kutanya. “Aku lah.” “Ngarep!” kujawab cuek sambil melahap roti lapis. “Sudah tradisi kali, Grace. Setiap Om Ferdy pulang dan tidak melupakan orang yang selalu menemani Grace bermain sejak kecil,” katanya. Dilanjutkannya sambil meraih satu roti tawar lagi. Padahal sudah habis dua roti. Hebat banget daya tampung perutnya. Aku tertawa senang melihatnya yang tidak malu-malu jika di rumahku. “Siapa maksudmu? Bundaku?” “Aku lah,” katanya. “Kok kamu lagi? Bundaku yang selalu menemaniku sejak kecil,” kataku bercanda. Aku juga paham apa yang dimaksudnya. Dia sahabatku. Boneka bernyawa yang hidup menemaniku sejak kecil. Aku bersyukur mengenalnya. Bahkan, jika Tuhan mengizinkan aku menganggapnya sebagai saudara kandung, pasti dengan tulus hati aku menerimanya. “Yeee, belajar jadi perempuan penggoda pagi-pagi nih,” ledeknya. Sudah paham sekali dia dengan sifatku ketika mencoba mencandainya. “Hush! Penggoda kok sama penggoda!” kubalas candanya. Aku tertawa. Dia juga. Nissa berasal dari keluarga yang bisa dibilang tidak menengah ke bawah atau menengah ke atas. Biasa saja. Ayahnya seorang polisi. Bundanya seorang ibu rumah tangga. Walaupun ayahnya seorang polisi, gajinya tidak sebaik dan serapi seragamnya. Pangkatnya tidak terlalu tinggi, karena ayahnya bukan lulusan taruna. Bundanya hanya tamatan SMP saja. Bisa aku simpulkan sendiri, kalau cinta dari ayah Nissa kepada bundanya sangatlah kuat dan bijak. Tidak harus memandang latar belakang pendidikan atau sosial untuk bisa saling mencintai dan berbahagia sampai bisa melahirkan seorang putri yang menggemaskan dan sebaik Nissa. “Sudah puas perutmu?” kataku yang melihat Nissa sudah bersandar di kursi dan tidak lagi menyentuh makanan. “Belum sih, Grace. Cuma mulutku nih yang capek ngunyah terus dari tadi.” “Sudah ah! Berangkat yuk.” Jarak rumah Nissa dengan rumahku tidak bersebelahan. Terlampau cukup jauh. Tapi masih satu wilayah. Dia pakai sepeda jika ke rumahku. Selepas sampai di rumahku dan akan berangkat ke sekolah, kita boncengan naik motorku. Aku tidak melupakan duniaku. Begitu pula dengannya. Kita setiap hari pasti ketemu. Entah waktu masuk sekolah, maupun dihadang liburan yang berpeluang kecil tidak bisa mempertemukan aku dengannya. Tapi, salah satu diantara kita pasti menyempatkan menjenguk. Kalau Nissa sedang tidak ada sepeda, pasti aku yang ke rumahnya. Begitu sebaliknya. Kalau Nissa ada kendaraan, pasti dia yang menjengukku, sekaligus bermain di tempat yang jauh. Itu adalah rutinitas ketika seseorang menjalin ikatan persahabatan. Kamu tahu apa yang menjadi pembeda antara istilah pertemanan dan persahabatan? Makna.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN