Sepanjang perjalanan menuju hotel, pikiran Darren dipenuhi oleh berbagai macam pertanyaan. Tak terhitung berapa banyaknya dia menghela nafas. Cecilia juga sepertinya tidak berniat untuk membuka pembicaraan.
Bli Nyoman, supir kantor berinisiatif untuk mengantar mereka berdua makan malam di sebuah restoran yang cukup terkenal di Ubud. Mendengar kata restoran, perut Darren seketika merasa keroncongan.
Saat tiba di tempat makan yang dimaksud Bli Nyoman, ternyata restoran sudah penuh karena sudah memasuki jam makan malam. Dan mereka harus menunggu sekitar 15 menit sampai beberapa pengunjung menyelesaikan makannya.
"Apa kita makan di tempat lain saja yang tidak begitu penuh pengunjung?" tanya Darren yang mulai merasa lelah dan lapar.
"Sepertinya ada restoran lain yang berjarak 3 gang dari sini, tapi tidak terlalu terkenal. Apakah Bapak mau ke sana?" tanya Bli Nyoman kembali.
"Kita makan di sana saja, Bli. Perut saya sudah protes berat.' Sambar Darren sambil memegang perut.
Darren bersyukur dalam hati meskipun tidak begitu ramai, restoran ini memiliki cita rasa yang sangat enak. Bahkan Darren melihat Cecilia dan Bli Nyoman yang sangat menikmati nasi campur ayam. Sedangkan dia memilih nasi biasa dengan lauk sate lilit daging ikan dan ayam betutu.
Dua hari kemudian, mereka berdua sudah siap untuk mengawasi pembangunan resort yang ternyata berada di luar Ubud. Darren memutuskan untuk memakai kemeja katun berlengan pendek agar tidak merasa kepanasan.
Lagi-lagi terdengar suara ketukan sepatu yang beradu dengan lantai dan itu membuat Darren kesal. Apa mungkin dengan memakai sepatu hak tinggi itu Cecilia seakan menegaskan keberadaannya tanpa harus banyak berbicara?
Pria itu lalu menoleh dan berdecak kesal saat melihat Cecilia yang memakai high heels setinggi 10 centimeter. Darren mengurungkan niatnya untuk menegur Cecilia saat mengingat kelakuan gadis itu yang menyebalkan. Biar saja gadis angkuh itu merasakan sendiri betapa susahnya memakai sepatu hak tinggi di lokasi pembangunan resort. Siapa suruh dia begitu keras kepala.
"Ada yang salah dengan penampilan saya?" tanya Cecilia dengan sinis.
"Ya kamu pikir saja atau nanti di lapangan akan merasakan sendiri," jawab Darren sambil melangkah menuju restoran yang ada di hotel ini.
Keduanya menyelesaikan sarapan hanya dalam waktu 15 menit saja karena Bli Nyoman sudah menunggu di luar hotel. Penampilan pria asli Bali ini terlihat lebih kasual dengan kaus polo berwarna navy dengan celana panjang hitam dan sepatu sport. Melihat sepatu yang terlihat nyaman itu membuat Darren terpikir untuk memakainya pada besok hari dan seterusnya untuk memudahkan kegiatannya yang berada di luar ruangan selama seharian penuh.
"Mbak Cecil, apa tidak sebaiknya Mbak memakai sepatu atau sandal yang lebih rendah? Karena lokasi yang kita tuju agak menanjak dan biar Mbak Cecil juga nyaman jalannya," ternyata Bli Nyoman memiliki pemikiran yang sama dengan Darren.
"Saya tetap akan memakai sepatu ini, Bli. Dan tenang saja saya sudah terbiasa memakai sepatu hak tinggi." Darren mendengkus saat mendengarnya.
Kalau sudah terbiasa, mengapa Regina berkata jika dia sering terluka bahkan cedera karena sepatu yang memiliki hak tinggi itu?
"Tapi Mbak, dengan hak yang tinggi dan agak tipis itu saya khawatir jika Mbak akan kesulitan berjalan," ucap Bli Nyoman kembali.
"Terima kasih atas perhatiannya, Bli. Sekali lagi saya tegaskan jika saya sudah terbiasa memakai sepatu hak tinggi seperti ini. Jadi tidak perlu mengkhawatirkan saya," timpal Cecilia dengan nada penuh percaya diri.
"Sudahlah Bli, ayo kita jalan sekarang. Nanti kita keburu terlambat dari jadwal yang telah ditentukan." Sambar Darren tak lama kemudian karena tidak ingin mendengar perdebatan yang tidak berguna.
Helaan nafas panjang dikeluarkan oleh Bli Nyoman. Pria itu takut terjadi apa-apa dengan Cecilia yang bersikeras memakai sepatu hak tinggi itu.
Perjalanan mereka memakan waktu 45 menit dari penginapan. Saat tiba di lokasi pembangunan, Darren meringis karena melihat betapa terjalnya jalan yang harus mereka lalui dengan berjalan kaki dengan sepatu pantofel ini. Dan ditambah dengan bebatuan yang semakin menambah tingkat kesulitan mereka mencapai lokasi.
"Mbak Cecilia," panggilan Bli Nyoman membuat Darren mengalihkan pandangannya ke arah gadis angkuh yang tidak berekspresi apapun itu. Membuat Darren tidak tahu apa yang yang sedang Cecilia pikirkan saat ini.
Darren menunggu sesaat dan karena gadis angkuh ini hanya diam saja, maka dia berasumsi jika Cecilia dapat melewati jalanan yang curam dan cukup licin dengan sepatu hak tingginya itu. Dengan cepat Darren berjalan meninggalkan Cecilia yang masih terpaku di tempatnya berdiri.
Tak lama pria itu mendengar suara hembusan nafas pendek dengan intensitas tinggi dan reflek menoleh ke belakang. Tampak Cecilia yang kesusahan berjalan dengan kedua tangan memegang apapun yang dapat diraihnya.
Melihat Cecilia seperti itu membuat Darren takjub juga, gadis angkuh itu tidak mengeluh ataupun mengeluarkan gerutuan yang biasanya dilakukan oleh para wanita kebanyakan. Bahkan Kathleen saja bisa mengomel seharian saat dia mengajak sang kekasih mendaki gunung yang jalurnya cukup ramah untuk ibu hamil dan anak-anak.
Memikirkan Kathleen tiba-tiba membuat Darren resah, sedang apa gadis itu sekarang? Apakah kemarahannya tidak juga mereda meskipun sudah lewat sebulan dari terakhir kali mereka berjumpa?
"Sebaiknya Bapak jangan terlalu banyak melamun, karena kita sudah tiba di lokasi pembangunan resort." Suara menyebalkan Cecilia memecahkan lamunan Darren mengenai Kathleen.
Gadis angkuh ini semakin menyebalkan sekali di mata Darren, seakan dia selalu mencari gara-gara dengannya. Darren melihat Cecilia yang segera menyapa beberapa orang dari pihak kontraktor dan bertanya beberapa hal mengenai resort yang akan dibangun.
"Saya akan memperkenalkan anaknya Bapak Giovani yang baru menyelesaikan kuliah dan juga akan mengawasi pembangunan resort ini selama 3 bulan ke depan. Silakan Pak Darren," ucap Cecilia segera memanggil nama Darren dengan lembut.
Perlakuannya itu tak ayal membuat Darren tercengang, tidak menyangka jika gadis angkuh itu dapat melakukan pencitraan di muka umum. Pria itu lalu menghampiri Cecilia yang memasang wajah tersenyum manis yang membuat Darren merinding saat melihatnya. Sangat tidak cocok dengan kepribadian Cecilia yang arogan dan kasar itu.
Setelah sesi perkenalan usai, tibalah waktunya untuk peletakan batu pertama yang akan Darren lakukan bersama-sama dengan pihak investor dan kontraktor. Cecilia hanya mengekor di belakang pria itu persis seperti bodyguard yang sedang melindungi majikannya.
"Pak Darren mau makan apa?" tanya Cecilia dengan mata memandang lurus ke arah Darren.
Kedua mata itu tak lama bersirobok dan manik mata Cecilia yang hitam sepekat malam seakan menarik Darren untuk terus berlama-lama memandangnya. Jantungnya segera berpacu dengan cepat seakan habis berlari selama 1 jam tanpa henti.
"Pak Darren!" Sebuah teriakan memutus kontak mata mereka berdua. Darren reflek memegang dadanya karena terkejut.
"Jadi Bapak mau makan apa?" tanya Cecilia kembali dengan raut wajah jutek.
"Saya... saya makan yang paling mudah dicari saja," ucap Darren yang masih seperti orang bingung. Bahkan jantungnya masih berdetak dengan kencang.
"Nasi goreng atau ayam betutu?" tanyanya kembali.
"Nasi goreng saja, oh iya saya mau minum air mineral sama kopi botol rasa alpukat," jawab Darren sambil menoleh ke arah lain, tidak berani memandang wajah Cecilia.
"Oke, tunggu sebentar," ucap Cecilia.
Namun baru saja gadis itu berjalan beberapa langkah, seseorang memanggilnya dan mengajak berbicara. Darren menyimpulkan jika ada masalah yang serius dari ekspresi wajah keduanya. Cecilia kerap menulis di tabletnya sambil mengangguk paham. Dan setelah pembicaraan itu selesai, gadis itu menuju ke arah Darren dengan setengah berlari. Hal itu tak pelak membuat Darren meringis ngeri saat membayangkan jika hak sepatu yang tipis itu akan patah dan akan membuatnya terjungkal. Pria itu baru dapat menghembuskan nafas lega saat gadis itu sudah berdiri di depannya.
"Pak, sepertinya kita harus kembali sekarang karena ada beberapa pihak yang akan memboikot pembangunan resort ini. Untuk alasannya pihak kontraktor juga belum menemukan yang pasti, hanya desas desus yang beredar jika uang kompensasi yang kita tawarkan itu kurang." Darren mengangguk saat mendengar penjelasan dari Cecilia.
"Oke kita pulang dulu sekarang dan baru besok temui para pihak yang memboikot untuk membicarakan penyelesaiannya," ucap Darren, lalu berjalan meninggalkan lokasi pembangunan ini.
Kenapa di saat pembangunan sudah dilaksanakan ada masalah seperti ini? Seakan ada pihak yang sengaja menghambatnya. Darren segera menyulut rokok lalu menghisapnya untuk meredakan sedikit ketegangan dan rasa kesal yang bergelayut di d**a.
"Aduh!" Suara teriakan Cecilia tak lama terdengar dan membuat Darren terkejut saat menoleh ke arahnya.
Beberapa lemparan batu kerikil kecil mengenai tubuh gadis itu, dengan cepat Darren menarik tangan Cecilia untuk segera meninggalkan lokasi yang sudah tidak kondusif lagi. Namun baru setengah perjalanan mereka berlari sebuah batu kerikil yang agak besar menghantam lengan Darren dan membuatnya reflek menarik pegangan Cecilia hingga terlepas.
Ternyata itu bukanlah akhir dari kesialan yang Darren alami. Terdengar suara patahan kecil yang tidak diketahui berasal dari mana, setelah itu sesuatu yang cukup berat dan empuk menabraknya hingga terjatuh.
Darren memejamkan mata sembari menahan sakit yang terasa di kedua tangan dan kaki. Hingga beberapa saat kemudian pria itu merasakan hembusan nafas panas yang mengenai wajahnya. Dengan perlahan Darren membuka mata dan melihat wajah Cecilia dari jarak yang begitu dekat.
"Pak..." Suara rintihan Cecilia terdengar lirih di telinga Darren bahkan tak lama kedua pipi gadis itu bersemu merah.
Shit! Detak jantungnya malah kembali berdebar dengan kencangnya. Mereka berdua sama-sama terkejut saat sesuatu yang keras mengganjal di antara bagian bawah mereka berdua.
Dasar ular sanca tidak tahu diri! Bisa-bisanya dia terbangun disaat genting seperti ini. Maki Darren dalam hati.
"Pak...Bisa cepat turun dari tubuh saya?" tanya Cecilia dengan wajah menoleh ke samping kiri dan dengan kedua pipi yang semakin memerah.
"Maafkan saya. Kamu bisa berdiri?" tanya Darren setelah duduk di sebelah tubuhnya yang masih berbaring dengan pose sensual.
Dengan kasar Darren mengusap wajah, berada bersama dengan gadis ini ternyata bukan hanya membuat tekanan darahnya menjadi tinggi tapi juga membuat sesuatu di dalam tubuhnya bergejolak dengan hebat.
Semoga saja tidak akan ada kejadian naas lainnya saat dia bersama dengan Cecilia.