Darren sampai dirumah sekitar jam 6 sore, mobil Pajero berwarna putih yang sudah terparkir di garasi menegaskan jika sang ayah sudah pulang. Seketika dia merasa was-was dengan ancaman yang tadi dilontarkan oleh Cecilia melalui pesan jika akan melaporkannya kepada sang ayah.
"Tenang Darren, cuma mangkir sesekali enggak akan buat kamu bodoh," ucap Darren sambil mensugesti diri.
"Darren, kamu sudah makan? Kalau belum kamu mandi dulu terus turun untuk makan malam. Bunda kamu masak banyak sekali," suara sang ayah yang berat langsung terdengar saat Darren memasuki rumah.
"Belum, Yah. Oke kalau begitu Darren mandi sebentar ya," ucap Darren yang segera menaiki tangga untuk menuju kamar.
"Ayah tunggu, Darren." Meskipun hanya 3 kata Darren merinding saat mendengarnya.
"Yah, setidaknya jangan berbicara serius terus saat berada di meja makan. Perbuatan kalian yang terakhir kali membuat Bunda stress," Darren meringis saat sang bunda mulai menyentil kenangan yang ingin dia lupakan.
Saat itu dirinya masih SMA dan sedang terburu-buru sebab kesiangan akibat bergadang semalaman demi untuk menyelesaikan satu orderan menerjemahkan sebuah n****+ berbahasa Inggris yang mana tenggat waktunya adalah hari besok.
Darren mengunyah nasi goreng seafood pedas buatan Regina seperti orang yang tidak makan berhari-hari dan membuat Giovani menegur sang putra dengan keras.
"Darren, jangan makan terlalu cepat nanti yang ada kamu tersedak.”
Darren segera menjawab dengan mulut penuh dengan makanan yang membuat ucapannya tidak terdengar jelas dan itu membuat sang ayah murka dan langsung memarahinya. Darren yang kurang tidur dan lelah langsung tersulut amarahnya, dia menyahut Giovani dengan keras dan tak lama perdebatan yang cukup sengit terjadi di meja makan. Regina memegang tengkuknya, bingung harus melakukan apa melihat keduanya yang sudah seperti hewan predator yang saling mengancam.
Untung saja Intan yang belum berangkat ke kantor langsung menenangkan suasana dan meminta Darren untuk segera berangkat ke sekolah. Sejak dari situ Intan mewanti-wanti ayah dan adiknya untuk tidak melakukan adu argumentasi saat sedang makan.
"Darren, ayo ke ruang makan jangan malah melamun saja."
Tepukan lembut di pundak membuat Darren menoleh dan menyadari jika Regina berdandan meskipun hanya sebatas riasan tipis dan gaun selutut yang memiliki motif bunga mawar merah dengan latar hitam.
"Bunda koq cantiknya awet banget, pakai pengawet ya?" goda Darren yang mengerlingkan mata ke arah Regina.
"Anak ini makin pintar menggombal ya sejak tinggal di Amerika. Jangan Bunda yang dipuji dan digombalin, pacarmu juga," sahut Regina yang tertawa melihat kelakuan anak bungsunya.
"Kita makan dulu baru setelah itu bicara." Giovani berbicara sebelum memimpin doa berkat untuk semua makanan yang terhidang di atas meja.
"Ayo jangan melamun saja cepat makannya karena ada banyak hal yang mau Ayah tanyakan kepada kamu," ucapan itu membuat Darren menoleh ke arah Giovani yang sedikit sekali makannya.
"Sepertinya Ayah benar tidak nafsu makan akhir-akhir ini. Makannya koq sedikit sekali, Yah?" tanya Darren dengan nada serius.
"Ayah memang sudah lama porsi makannya sedikit. Badan tua ini rasanya untuk mengecap makan saja tidak ada rasa nikmatnya," jawab Giovani yang sedang meminum kuah sup di mangkoknya.
"Makanya Bunda banyakan masak sup biar Ayah kamu minum kuahnya yang udah ada sari daging dan sayuran. Oh iya setelah ini kamu minum jus buah bit, wortel dan jahe," timpal Regina yang segera berdiri dan menuju dapur.
Giovani mengajak Darren ke ruangan tamu setelah mereka menyelesaikan makan.
Pria berkulit eksotis itu segera mengikuti langkah kaki Giovani yang sudah mulai pelan ini. Saat mengamati punggung sang ayah dengan cermat, Darren menyadari jika bahu yang dulu tegap itu kini kian merosot seakan tidak kuat lagi menahan beban gempuran usia yang bertambah tua.
Regina membantu Giovani duduk serta mencarikan posisi yang nyaman dengan menambahkan banyak sekali bantal sofa di sekitar pria itu. Semua perlakuan kecil yang dilakukan sang bunda seakan menyiratkan suatu hal yang tidak diketahui Darren di antara keduanya.
"Jadi benar apa yang dikatakan oleh Cecilia jika ada seorang gadis bule yang mencari kamu di kantor tadi siang lalu setelah itu kamu pergi keluar dan mengendarai mobil sendiri," ucap Giovani dengan suara yang sudah terdengar renta itu.
"Bunda terkejut saat Pak Ridho datang kemari dengan ojek untuk mengambil motornya," Darren menoleh ke arah sang bunda yang saat ini sedang asyik memijat tangan sang ayah seakan itu adalah hal yang membahagiakan untuknya.
"Iya Bunda, tadi pacar Darren yang dari Boston datang dan minta ditemani untuk cari tempat tinggal sementara. Cuma karena hujan aku mengantarnya ke hotel dan langsung pulang ke rumah," jelas Darren yang tidak ingin Kathleen disalah pahami.
Raut wajah keduanya mengerut seakan sedang mempertimbangkan sesuatu hal yang berat. Apakah ini pertanda jika keduanya tidak menyetujui hubungannya dengan Kathleen? Pikir Darren dalam hati.
"Seberapa pentingkah gadis itu jika dibandingkan dengan perusahaan ini?" sebuah pertanyaan dari Giovani yang entah kenapa sulit dia jawab.
Darren hanya terdiam menikmati tatapan penuh kekecewaan yang dilemparkan sang ayah.
"Perusahaan ini juga penting," ucap Darren sambil menelan saliva dengan susah payah seakan ada yang mengganjalnya.
Namun Darren tahu jika harus melanjutkan perkataannya jika tidak ingin keduanya merasa cemas akan kelangsungan dari Sanjaya Group.
"Tapi Kathleen juga penting buat hidup aku, Yah. Dan melihat kemarin dia jauh-jauh menyusul dan berniat untuk tinggal di Jakarta membuat Darren semakin yakin jika Kathleen adalah jodohnya aku. Semoga saja kami bisa menikah secepatnya dan Kathleen akan membantu di perusahaan," nafas pria itu agak tersengal saat menuturkan apa yang dia rasakan dalam satu tarikan nafas.
"Ayah mengerti jika di usia kamu sekarang, rasa untuk lebih berkenalan dengan lawan jenis itu besar. Tapi Ayah harap apapun yang akan kamu lakukan, hendaklah memakai akal dan pertimbangan yang matang," ucap Giovani yang mulai mengantuk.
Matanya terlihat memerah dan menguap beberapa kali, membuat Darren melirik jam dinding yang masih menunjukkan angka 8 dan bertanya dalam hatinya apakah setiap orang yang sudah tua lebih gampang merasakan kelelahan.
"Masalah pacarmu itu kapan-kapan ajak dia kemari dan biarkan Bunda yang menilainya sebagai sesama perempuan. Sekarang kamu bisa naik ke kamar karena kami sudah mengantuk," ucap Regina.
"Biar aku bantu Bunda memapah Ayah," tawar Darren yang melihat sang Regina agak kesulitan membangunkan Giovani dari duduknya.
"Tidak usah, Nak, Ayah hanya ingin dibantu sama Bunda. Kamu cepat tidur, Ayah sudah meminta Cecilia datang besok jam 07:30." Dengan tangan kanannya yang mulai dipenuhi keriput sang ayah memberikan tanda penolakannya.
Darren melihat punggung keduanya yang semakin menjauh dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Bahkan di dalam kamar dia tidak dapat terlelap memikirkan semua tingkah laku dari orang tuanya yang semakin aneh. Reaksi Giovani yang menginginkannya segera menggantikan posisinya sebagai CEO juga belum Darren temukan alasan yang kuat. Jika bertanya pada Cecilia, dia yakin tidak akan mendapatkan hasil yang memuaskan.
Tadi sang ayah berkata jika sudah meminta Cecilia datang besok pada jam 07:30 pagi. Darren penasaran juga dengan transportasi apa gadis itu tiba di rumah ini. Apakah motornya sudah selesai diperbaiki atau belum? Dan sedang apa juga Cecilia saat ini? Darren mengambil iPhone dan melihat foto-foto mereka selama berada di Ubud. Gadis itu juga sempat memakai pakaian khas Bali dengan riasan yang sangat cantik, membuat Darren tidak akan pernah bosan memandangi wajah cantiknya itu.
Sedang asyiknya Darren memandangi foto Cecilia, Darren terkejut saat iPhone yang ada genggaman tangannya berbunyi dengan keras dan nama Kathleen terpampang jelas di layar. Seketika itu Darren merasa bersalah karena sempat melupakan Kathleen dan mulai memikirkan Cecilia lebih dalam setelah keduanya berada di Ubud. Apakah perbuatannya ini dapat dikatagorikan selingkuh?
Akhirnya Darren memutuskan untuk tidak menerima panggilan telepon itu dan mengubahnya menjadi mode getar. Dia tidak ingin mendengarkan gerutuan yang keluar dari mulut Kathleen saat ini dan lebih memilih untuk memenuhi pikirannya dengan berbagai asumsi yang dapat dicerna oleh otaknya.
Terlalu banyak berpikir membuat Darren terlelap dengan sendirinya hingga sinar matahari yang menembus kamar menjadi pertanda jika sang Bunda sudah memasuki kamarnya.
Seusai sarapan Darren berjalan menuju ruang tamu untuk menunggu Cecilia yang sedikit terjebak kemacetan. Gadis itu berkata jika dia akan berjalan kaki menuju ke sini karena hanya tinggal berjarak 200 meter dari tempatnya berada.
"Nanti akan aku kenalkan pada Kathleen setelah dia sudah mendapatkan tempat tinggal dan membereskan urusan yang lain," ucap Darren kepada kedua orang tuanya.
"Dasar BUCIN!''
Ketiganya serempak menoleh ke arah suara dan melihat Cecilia yang tampak lebih berani dengan blazer merah berlengan pendek yang dikancingkan, leher blazer itu berbentuk v yang tidak terlalu rendah. Dipadukan dengan rok hitam, high heels dan tas hitam yang membuatnya terlihat cantik dan gahar. Rambutnya hanya diikat satu dan memakai anting yang memiliki hiasan permata yang berwarna merah juga.
Darren kembali dibuat tertegun dengan tampilan gadis sombong ini. Matanya seakan tidak mau lepas memandangi Cecilia yang memakai riasan mencolok tapi tetap terlihat elegan untuknya. Deru nafasnya yang memburu dan keringat yang bercucuran seakan menegaskan jika dia berlari untuk menuju kemari. Anehnya meski dalam keadaan berantakan seperti ini, Cecilia masih terlihat cantik dalam pandangan Darren.
Gawat! Kalau seperti ini terus dia akan sepenuhnya terpikat akan kecantikan wajah dari gadis sombong yang sedang menatapnya dengan kesal. Darren seperti berkhianat di belakang Kathleen karena mencintai gadis lain selain dirinya.