Aruna melangkah menuju dapur, dan melihat Rosa dan ibunya tengah menata makanan di atas meja.
"Siapa tamunya, Nak?" tanya sang Ibu.
"Teman Rosa, Bu," jawab Aruna. "Ros, kayaknya teman kamu datang. Apa kamu yang memberitahu dimana rumahku?" tanya Aruna menatap Rosa dan menunggu jawaban.
"Temanku? Siapa?" tanya Rosa tak tahu apa-apa. Ya memang dia tak tahu apa-apa, tentang yang datang hari ini pun dia tak tahu.
"Pria yang aku temui di mall Kemang," bisik Aruna. "Masih tak tahu?"
"HA?" Spontan mata Rosa membulat, ia tak mengenal pria yang Aruna temui, jika pria itu datang kemari, lalu siapa yang memberitahu?
"Kenapa kamu terkejut? Tidak mungkin dia datang jika bukan kamu yang memberitahu," geleng Aruna. "Temani aku menemuinya."
"Oh iya. Kamu duluan saja. Aku akan membuatkan minum, setelah itu aku susul," kata Rosa menggaruk leher belakangnya yang tak gatal. Ia bingung bagaimana bisa menjelaskan situasi itu pada Aruna.
"Aku gak mau, Ros, kamu aja yang temenin dia dan aku yang akan membuatkan minum, mau atau enggak, kamu harus mau dan bertanggung jawab, karena kamu yang mengajaknya kemari, pasti akan canggung kalau aku yang menemani dia, jadi cepetan, temui dia, aku yang akan membawakan minum," tolak Aruna lalu melangkah menghampiri ibunya.
Oh iya ini kesempatan baik buat Rosa untuk meminta kerja sama pria yang Aruna temui di Mall Kemang.
Rosa bergegas menemui pria yang bernama Seno, sementara Aruna sedang membuat minum.
"Siapa yang datang, Nak?" tanya Sasmita penasaran.
Semenjak Aruna bercerai, tak pernah ada pria yang datang kemari, Aruna menutup diri dari seorang pria, ia tak mengenal siapa pun dan tak pernah mengajak teman pria kemari, bagi Aruna, karirnya adalah yang penting saat ini, rasa trauma dengan pernikahan yang lama membuatnya menutup diri sampai ia benar-benar sembuh.
"Teman Rosa, Bu," jawab Aruna.
"Teman pria apa wanita?"
"Pria."
"Terus kenapa Rosa harus bertanggung jawab?" tanya Sasmita. Wajar jika seorang Ibu menanyakan hal itu, bukan mengusik privasi anaknya, melainkan ia tak mau anaknya mengalami kegagalan lagi.
"Sebenarnya ... Rosa kenalin temannya ke Una, dan Una udah nemuin temennya itu di Mall Kemang hari ini, Bu. Dan, Una gak tahu kenapa pria itu kemari. Ya pasti di undang Rosa sih, Bu, pasti," jawab Aruna. "Karena pertemuan itu yang atur Rosa, jadi Rosa harus bertanggung jawab nemenin temennya, Una gak enak sebenarnya, Bu."
"Gak enak kenapa, Nak?"
"Gak enak lah bu, kalau Mas Sigit—" Aruna tak sadar mengatakan itu, ia masih mengira Sigit akan cemburu jika ia menemui pria lain. Sigit sudah punya kehidupan baru dan kini bahagia bersama pilihannya, lalu Aruna mengatakan hal itu tanpa memikirkan apa pun.
Ibunya itu menggelengkan kepala dan tahu betul bagaimana perasaan Aruna, bukan hal yang mudah bercerai di usia pernikahan yang terbilang cukup singkat, bukan singkatnya pernikahan, namun selama apa hubungan itu terjalin.
Sebelum Aruna menikah dengan Sigit, Aruna sudah satu tempat tinggal layaknya suami istri dengan Sigit, keduanya hidup bersama dan bangun tidur di ranjang yang sama, tanpa ikatan pernikahan, hingga pada akhirnya Aruna meminta Sigit untuk melamarnya dan memberikan bukti pada Sasmita bahwa Sigit itu serius padanya.
Lima tahun menjalin hubungan dengan Sigit, tiga tahun hidup bersama dan akhir dari segalanya adalah setelah tujuh bulan menikah. Bukan soal pernikahan mereka yang singkat namun ini soal hati yang terpaut. Mengapa harus di jadikan janda setelah semua yang mereka lalui? Jadi, hubungan yang terjalin lama tak tentu akan bersama selamanya?
"Udah kamu temenin aja temen kamu dulu, jangan membuatnya lama menunggu." Sasmita menyuruh putri semata wayangnya itu untuk kembali ke ruang tamu.
Aruna lalu kembali menghampiri Rosa dan juga pria yang bernama Seno.
Rosa menoleh dan menggaruk leher belakangnya yang tak gatal, ia tak tahu bagaimana caranya menjelaskan pada Aruna bahwa yang datang ke rumahnya hari ini, bukan temannya.
"Kalian ngobrol aja dulu, biar aku bantuin Ibu masak," kata Rosa bangkit dari duduknya dan tersenyum simpul. Rosa cepat-cepat kembali ke dapur.
"Kamu ngapain kemari?" tanya Aruna tanpa basa-basi.
"Saya kemari mau menemui kamu," jawab Seno. "Saya datang hanya mau meyakinkan sesuatu dalam diri saya, saya sepertinya tertinggal sesuatu."
"Apa maksudnya? Tertinggal bagaimana? Apa yang tertinggal?"
***
Pagi menunjukkan pukul 7.40, Aruna tiba di hotel tempatnya bekerja, hal pertama yang ia lihat setibanya ia di hotel adalah dua orang yang kini sedang mengambil kunci kamar di resepsionis.
Dua orang itu adalah Sigit dan Hasfina, Tiba-tiba saja jantung Aruna berdetak begitu kencang, ada rasa cemburu yang mendalam, ada rasa kesal dan ada rasa tak memiliki harga diri, di patahkan oleh pria yang begitu lama menjalin kasih dengannya, dan mereka pernah bermimpi hanya maut yang dapat memisahkan mereka. Namun, nyatanya?
Aruna menggelengkan kepala, ia hendak masuk ke lift namun langkahnya terhenti ketika namanya dipanggil.
"Bu Aruna!" panggil resepsionis itu
Aruna menoleh dan tersenyum, " Ya?"
"Bu, saya boleh minta tolong? Tolong antarkan Bapak dan ibu ini ke kamar 301? Soalnya petugas belum ada yang masuk."
Kenapa harus Aruna? Ya hotel ini mengutamakan kenyamanan para tamunya, jadi setiap tamu yang datang akan di antarkan sampai ke kamarnya dan di jelaskan beberapa hal yang perlu.
"Baiklah. Mari saya antar," kata Aruna bersikap baik-baik saja. Semua sudah berakhir, tak ada lagi yang perlu ia sesalkan. Keputusan Sigit mengusirnya dari rumah kala itu, menaruh trauma besar di hati Aruna.
Aruna dan pasutri itu masuk ke lift dan lift membawa mereka ke lantai 3, dimana kamar mereka. Setibanya di sana, Aruna mempersilahkan keduanya masuk dan ia menyalakan semua lampu kamar.
"Di lobby ada kolam renang dan tempat spa, ada juga tempat karaoke, memiliki restoran terbaik, dan ada ruang Gym juga, nanti silahkan hubungi resepsionis untuk mendaftar." Aruna menjelaskan, lalu membuka tirai menggunakan remote control. "Ini remote control tirai, ini remote AC dan ini remote televisi," tambahnya.
"Bagaimana kabarmu?" Pertanyaan itu muncul dari mulut Sigit, setelah banyak hal yang ia lalui untuk bangkit dari kerterpurukan, Sigit menanyakan kabarnya? Sungguh terlalu.
"Mbak apa kabar?" Kali ini Hasfina yang bertanya.
"Kenapa kalian menanyakan kabar saya? Bukankah kalian sudah lihat sendiri?" Aruna mencoba tenang. Sebuah pengkhianatan datang dari keduanya, Hasfina yang ia kenal sebagai sepupu jauh Sigit yang begitu baik pada keluarga Sigit, diam-diam mengejar Sigit. Lalu seorang Sigit yang ia percayai akan memberikannya kebahagiaan malah memberikannya luka.
"Jadi, kamu kerja di hotel ini?" tanya Sigit lagi.
"Saya kerja di sini atau tidak. Bukan urusanmu. Kalau begitu, saya permisi," kata Aruna hendak melangkah namun genggaman tangan Sigit terasa di lengannya. Aruna berbalik dan menautkan alisnya.
"Kita perlu bicara," kata Sigit.