"Aruna, kalian gak makan, Nak?" tanya suara sang Ibu yang tengah berkutak di dapur sendirian.
"Eh, Una, yok bantuin Ibu," ajak Rosa.
"Emang kamu bisa masak?"
"Hahaha. ya bisa lah."
"Ya udah. Kamu temenin Ibu dulu, aku mau ke atas shalat Magrib dulu," kata Aruna bangkit dari duduknya dan menoleh sesaat melihat sang Ibu yang sedang memasak sendirian, karena sebentar lagi jam makan makan malam.
Aruna mau kerja karena ingin membantu keuangan ibunya, kasihan sekali ibunya itu, nasibnya hampir sama dengannya, ditinggalkan karena perempuan lain, meskipun sang Ibu tidak bercerai dengan sang Ayah. Ibunya itu masih mempertahankan rumah tangganya meskipun sudah tidak dinafkahi.
Aruna sempat menyalahkan sang Ayah atas apa yang terjadi kepadanya,
karena Sang Ayah yang selalu menyakiti ibunya, jadinya karma jatuh kepadanya. Ia yang balik di sakiti oleh suaminya dan meninggalkannya hanya karena wanita lain.
Plak!
Tepukan di pundaknya terasa, ia menoleh sesaat dan melihat Rosa yang kini terheran-heran.
"Kamu kenapa, sih? Kenapa kamu berdiri di situ dan melongo? Karena masa lalu?" tanya Rosa sengaja meledeknya.
"Untuk apa aku memikirkan masa lalu? Ya udah aku shalat dulu, kamu gak mau bareng?" ajak Aruna sekalian.
"Gak deh. Nanti aja," jawab Rosa menggeleng.
"Gak ada tuh nanti-nanti aja kalau udah berkaitan dengan kewajiban kita sebagai muslimah. Shalat itu wajib." Aruna memberi ceramah singkat untuk mengingatkan sahabatnya agar tidak berpikir untuk menunda shalat.
"Memangnya apa yang kamu dapatkan dari shalat? Kamu terluka, 'kan?"
"Rosa, kewajibanku sebagai seorang muslimah gak ada hubungannya dengan luka hatiku. Allah mungkin sedang mempersiapkan sesuatu untukku," kata Aruna menggeleng, mendengar ucapan Rosa yang seolah-olah menyalahkan Allah atas apa yang terjadi kepada Aruna.
"Udah, kamu shalat aja sendirian, aku mau bantuin Ibu, kasihan," kata Rosa lalu melangkahkan kakinya meninggalkan Aruna yang masih berdiri ditempatnya. "Eh udah adzan magrib," tambahnya.
"Astagfirullahul adzim," ucap Aruna lalu melangkah menuju kamarnya.
Semenjak pisah dengan Sigit, ia jadi seorang muslimah yang taat pada agamanya, ia mengenakan hijab dan tidak bertelanjang kepala lagi, dia sudah mengupgrade diri sendiri menjadi wanita yang lebih baik, karena ingin tetap melindungi harga dirinya sebagai seorang wanita.
Aruna pernah terluka, ia sampai sakit berhari-hari dan Sigit tidak pernah sekalipun menengok kondisinya, Sigit malah berkata kepadanya, jangan manja. Dan, kembali membandingkan dirinya dengan Hasfina yang lebih baik dan lebih mandiri dibandingkan dirinya.
Aruna menggantungkan harapannya pada Sigit, karena Sigit sangat memanjakannya dulu. Setiap menangis, Sigit selalu saja mengelus rambutnya. Semuanya hilang seketika dan semuanya
Rosa dan ibu temannya itu sedang berkutat di dapur, Rosa bukan orang yang sering memasak, ia tidak tahu memasak sama sekali, tapi membantu menyuci sayuran, memetiknya, dan cuci piring, ia bisa melakukannya.
Antara dirinya dan Aruna berbanding balik jauh sekali, Aruna bisa segalanya, bisa memasak, mencuci pakaian, dan melakukan semua pekerjaan rumah. Namun, Rosa malah tak tahu apa-apa.
"Aruna shalat?" tanya sang Sasmita, Ibu Aruna.
"Iya, Bu, dia sedang shalat." Rosa mengangguk.
"Ibu seneng banget melihat Aruna akhirnya bisa beraktifitas kembali, ia bekerja dan menjadi wanita karir sekarang, Ibu bangga kepadanya, Ibu gak pernah sama sekali berpikir Aruna akan sekuat itu, tapi Ibu sudah melihatnya sendiri bahwa Aruna lebih kuat dibandingkan Ibu." Sasmita membuang napas halus.
"Gak ada yang bisa mengalahkan betapa kuatnya Ibu, karena Ibu udah berbesar hati berbagi suami dengan wanita lain. Alasan saya gak nikah dulu karena pengen nyari kehidupan sendiri dan mandiri, gak harus bergantung pada orang lain. Apalagi yang namanya suami, Bu," geleng Rosa seraya menaikkan sayur cah jamur ke piring lauk, karena Sasmita sudah memasaknya dan Rosa tinggal menyajikannya.
"Gak boleh gitu, Nak, yang namanya jodoh gak bisa kamu hentiin, kalau nanti udah waktunya pasti deh kamu akan bertemu dengan jodohmu. Jadi, jangan pernah mengatakan itu, karena nasib seseorang itu beda-beda."
Satu jam kemudian, setelah Aruna shalat, Aruna keluar kamar dan hendak ke dapur, tapi ketukan pintu terdengar, menandakan bahwa ada tamu yang datang.
"Aku yang akan membukanya, Ros, kamu bantuin Ibu aja."
Rosa yang tadinya mau membuka pintu langsung melangkah kembali ke dapur, dimana sajian makanan sudah siap tinggal dipindahkan ke atas meja makan.
Rumah Aruna sederhana, karena ia bukan orang kaya. Meskipun sederhana dan kecil, tapi rumah ini adalah rumah peninggalan ayahnya sebelum ayahnya itu meninggalkan rumah dan ikut dengan perempuan lain.
Aruna lalu membuka pintu dan deg, siapa yang datang, itu mengejutkannya sekali.
"Kamu? Kamu teman Rosa, 'kan? Ngapain kamu kemari?" tanya Aruna, bingung saat ini, karena ia tidak tahu kenapa pria yang bernama Seno itu ada di rumahnya dan kini berdiri melambaikan tangan, juga tidak mengucapkan salam.
"Kita ketemu lagi," kata Seno.
"Apa yang kamu lakukan di sini? Rosa yang memberitahumu kalau saya tinggal di sini?" Aruna menautkan alis. Pasti Rosa.
"Seorang tamu gak di izinkan masuk?" tanya Seno.
Aruna lalu berkata, "Ya sudah. Kamu boleh masuk."
Aruna menggaruk leher belakangnya yang tak gatal, ia bingung bagaimana bisa seorang pria yang baru ia temui, ada di rumahnya? Ya kemungkinan Rosa yang memberitahu Seno, dimana ia tinggal, atau Rosa yang mengajak Seno kemari.
Aruna memperbaiki penampilannya, ia juga bingung kenapa ketika melihat Seno datang, ia spontan memperbaiki penampilannya dan hijab yang ia kenakan. Sederhana tapi begitu cantik.
Aruna lalu melangkahkan kakinya dan menghampiri Seno, karena ketampanan Seno yang begitu paripurna, berhasil membuat hati Aruna yang sudah lama tak terisi itu menggebu-gebu di dalam sana. Aneh sekali, bukan? Tapi, yang namanya perasaan, tak ada yang tahu akan berlabuh kepada siapa. Bukan tentang siapa yang membuat hati berdebar, tapi ini tentang siapa yang membuat nyaman.
Seno dengan tatapan mautnya berhasil membuat Aruna spontan melihat penampilannya, ia tak mengenakan sesuatu yang aneh, ia tak berdandan, lalu mengapa Seno menatapnya demikian?