Antoni, pria dengan rambut cepak itu sedang menarik rambutnya asal. Mendapatkan sebuah pesan singkat dari nomor anaknya. Bahwa sang Ibu masih belum pulang juga. Ditelepon tak bisa. Sementara dia harus tetap berada di rumah Elaine. Kalau dia lengah dalam situasi ini. Maka, akan berakibat fatal nantinya. Dia tidak ingin segera diusir dari sana karena masih banyak hal yang harus dia selesaikan. Dia harus mengamankan asetnya. Sebelum Eddy akan bertindak dengan terang-terangan kepadanya.
Kini, ponselnya berdering. Nama Lucas tertera di sana. Dia juga pusing. Tak diangkat anak itu pasti akan semakin cemas. Diangkat pun nanti dia sendiri yang bingung harus mengatakan apa pada anak laki-lakinya itu. Dia meremas rambutnya semakin keras. Suara erangannya terdengar sangat frustrasi.
“Argh! Bagaimana ini bisa terjadi? Ke mana kamu Eliza?” gumamnya sendiri. Sebelum akhirnya dia memantapkan hati untuk mengangkat telepon dari anaknya.
“Ya, Lucas, ada apa?” tanya dia sok tenang. Berpura-pura tidak tahu. Bersikap biasa, padahal dalam hati sedang berkecamuk hebat.
Suara di seberang telepon terdengar terisak-isak. Suara ingus yang terus disedot olehnya pun sangat jelas menyapa pendengaran Antoni.
“Ibu, Ibu di mana Ayah?” rengeknya. Anak laki-laki itu memang bukan lagi anak kecil. Tapi, bukan pula anak besar yang bisa mengatasi emosinya dengan baik. Dia masih terlampau manja. Karena kedua orang tuanya memang melakukan hal itu di setiap harinya.
“Tenanglah, mungkin Ibumu sedang belanja di mall. Ya, bisa jadi dia sedang membelikan kami baju. Makanya, dia sampai dia tidak sempat mengangkat telepon darimu.” Antoni mencoba menghibur anaknya. Mencoba membesarkan hati sang anak. Agar tak lagi cemas. Dan tak mengganggunya dalam melakukan rencananya. Pasalnya, dia juga tidak bisa berkutik sekarang. Kalau dia sampai keluar dari rumah hari ini. Bisa dipastikan Elaine pasti mengadu pada Eddy. Dan semua hal yang dia miliki akan lenyap tak bersisa. Sementara dirinya tak ingin hal itu sampai terjadi.
“Mana mungkin! Aku bukan anak kecil lagi Ayah! Aku tahu, Ibu tidak pernah mengabaikan aku! Apa Ayah tidak mempunyai jam? Tak bisa mengecek sekarang jam berapa? Mana ada Mall yang masih buka di jam ini Ayah!” teriaknya. Sangat melengking, sampai membuat Antoni harus sedikit menghindarkan telepon itu dari telinganya. Tak berselang berapa detik. Hal yang selanjutnya terdengar oleh Antoni adalah sebuah suara yang begitu keras. Dia menerka, kalau sang anak telah melemparkan ponselnya karena merasa kesal padanya.
“Lucas! Lucas!” panggil Antoni. Tapi, tidak ada jawaban. Apa yang dia pikirkan memang benar adanya. Lucas telah melemparkan ponselnya dengan keras ke lantai. Dia telah berlari menuju kamar. Mengacaukan semua hal yang ada di dalamnya.
“Sial!” umpat Antoni. Dia mengusap wajahnya dengan kasar. Dia tahu benar. Dia tidak bisa melakukan apa-apa saat ini. Entah apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dia bingung, kacau, dan juga risau. Ini bukanlah kejadian yang bisa dianggap maklum. Karena bukan sifat Eliza mengabaikan seperti itu. Dia masih bergelut dengan semua pemikirannya sendiri. Apa harus tetap di rumah. Atau pergi saja. Pada akhirnya, dia mencoba menghubungi Elaine istri sahnya. Berharap dia bisa mendapatkan izin untuk pergi beberapa jam. Karena dia sendiri juga tidak tahu. Ke mana istrinya itu pergi saat ini.
“Halo!” sapa Elaine dengan lembut. Seperti biasa, dia bersikap normal dan tak menunjukkan rasa senang yang sedang dia rasakan saat ini.
“Halo, sayang, kamu ada di mana? Kenapa jam segini masih belum pulang juga?” balas Antoni dengan penuh perhatian. Ya, semua yang dia lakukan tentu mempunyai tujuan. Termasuk sikap manisnya sekarang.
“Aku sedang menginap di rumah teman. Maaf tak mengabari kamu. Mungkin, besok aku akan pulang. Setelah makan siang!” balas Elaine. Salah satu sudut bibirnya terangkat. Dia tersenyum tipis, manis, namun sinis. Sebuah pembalasan dendam paling sempurna sedang dia lihat dengan kedua netranya sendiri.
“Benarkah?” sebuah respons yang terlalu refleks membuat nada bicaranya terdengar riang. Dan dia akhirnya menutup mulutnya sendiri. Karena menyadari bahwa dia telah membuat sebuah langkah yang salah.
“Wah, ada apa ini? Apa kami sebegitu senangnya kalau aku tak berada di rumah?” sindir Elaine dengan anggunnya. Satu alisnya terangkat. Ya, dia menyadari. Pasti sang suami sedang berada di tengah rasa bingung. Mencari keberadaan istri simpanannya. Seorang selingkuhan yang pantai dihukum dengan kedua tangannya sendiri.
Merasa tersindir, dan dia juga menyadari akan kesalahannya itu. Antoni menggigit bibir bawahnya. Resah, dan ragu untuk membalas ucapan dari istrinya.
“Bu-bukan begitu sayang, aku... Aku sedang mempersiapkan sesuatu untukmu. Ya, ya... Ada sebuah kejutan untuk kamu. Jangan terlambat pulang ya!” Sebuah kilah yang datang di saat yang sempurna. Bisa menjawab seperti itu saja dia sudah merasa beruntung. Ia bahkan mengusap dadanya sendiri. Mencoba untuk tetap tenang dan tak terdengar gembira karena istrinya sedang tidak ada di sana.
Elaine menghela napasnya, dia tahu itu hanyalah kebohongan dari suaminya. Dia tahu dan sangat tahu. Kenapa sang suami merasa senang saat mendengar dia akan pulang besok.
“Ah, benarkah? Baiklah aku akan pulang besok! Dan tidak akan terlambat. Aku harap, kejutan itu akan membuat aku benar-benar terkejut!” balas Elaine sambil tersenyum.
“Ah, kamu bisa mempersiapkan semuanya sekarang. Aku ada urusan. Jaga rumah baik-baik ya! Ada banyak mata yang sedang mengawasi kamu!” lanjutnya. Telepon langsung ditutup olehnya.
Antoni yang semula merasa bisa mencari Eliza, kini semua pupus sudah. Tak mungkin dia bisa pergi dari rumah. Sementara Elaine telah memberikan dia sebuah peringatan yang sangat jelas. Ya, dia sedang diawasi banyak mata. Semua geraknya pasti terekam dengan sempurna. Dan akan banyak hal yang bisa membuat dia kehilangan semua pencapaiannya. Memang selalu ada hal yang harus dikorbankan. Seperti saat ini. Pria bertubuh besar itu berpikir keras. Mencoba memilih hal mana yang lebih besar baginya. Apakah harta, atau istrinya sendiri. Dan pada akhirnya, logikanya bekerja dengan sangat sempurna. Dia harus memilih untuk tetap diam, tenang, dan tidak melakukan apa pun. Agar semua yang dia miliki bisa tetap berada di tempatnya. Bisa tetap ada dalam genggamannya. Dia harus menjaga semua itu dengan baik. Kalau bukan dia sendiri, siapa yang akan menolong dirinya nanti. Ya, dia memilih diam. Duduk bersandar di samping tempat tidur. Masih terus mencoba menghubungi selingkuhannya. Walau sudah nyata-nyata tidak akan pernah terhubung lagi.
Sementara itu, di tempat lain. Sebuah bangunan di tengah hutan yang masih rapat. Sebuah bangunan yang di kelilingi oleh pagar tinggi dan juga pepohonan yang lebat. Elaine duduk sambil mengisap rokoknya. Dingin malam dia cegah merayapi dirinya dengan sebuah selimut tebal. Ayunan yang sedang dia duduki bergerak pelan. Alunan itu membuat dia merasa tenang. Dia besok akan memulai ritual pembalasan dendamnya. Dia akan melakukan semuanya besok. Semua rasa sakit yang dia rasakan selama ini akan dia limpahkan pada orang lain. Ya, orang itu adalah rasa sakit paling besar yang ada dalam hidupnya. Dan dia harus segera menyingkirkan hal itu dengan segera.
***
Elaine membuka mata, dan dia sedikit terkejut melihat dirinya tengah berasa di tempat tidur yang besar dan nyaman. Empuk dan hangat. Dia mengusap matanya perlahan. Mencoba mengumpulkan semua energinya. Sudah saatnya untuk menyapa mentari. Agar semangatnya datang dengan penuh.
“Ah, rupanya Ronald melakukannya lagi. Kenapa dia membawaku masuk ke dalam kamar kosong. Harusnya, dia juga berada di sini!” Elaine bergumam sendiri. Kemudian tertawa kecil dan mulai menurunkan kaki jenjangnya ke lantai. Dia melakukan peregangan ringan. Kedua tangan lembutnya membuka gorden dengan bersamaan. Hingga membuat terpaan sinar mentari mendarat di wajah cantiknya.
“Selamat pagi, aku tak pernah merasa sesemangat ini! Ah, aku harus bergegas mandi dan sarapan!” ucapnya pada diri sendiri. Tapi, sebuah ketukan di pintu menarik perhatiannya. Dia menoleh dan memerhatikan pintu tersebut. Pintu terbuka, dan wajah tampan Ronald ada di sana. Menyapa paginya dengan indah.
“Selamat pagi. Tak aku sangka kamu sudah bangun!” sapanya. Dengan mantel yang tebah sedang dia kenakan. Dia melangkah masuk dengan perlahan. Mendekat ke arah Elaine yang sedang berdiri di depan jendela.
“Ya, saat seperti ini, harus bangun lebih pagi. Sarapan sudah siap?” balas Elaine. Kini, dia meningkatkan kedua lengannya di leher Ronald.
“Apa kau sedang menggodaku sekarang? Atau kau berubah pikiran setelah melihat wajah tampanku ini? Bagaimana? Mau tidur sekarang?” godanya. Dia sengaja mendorong punggung Elaine. Agar jarak mereka semakin dekat. Kedua pasang mata itu saling menatap. Saling menelisik satu sama lain. Jarak kedua bibir nan merah itu begitu dekat. Satu gerakan saja, bisa membuat mereka akan saling melumat. Pada akhirnya, Elaine tersadar. Dia tidak akan melakukan itu.
“Tidak Ronald! Ini adalah hari pembalasan paling sempurna! Dan jangan berani-berani kamu mengacaukannya! Wajah tampan kamu itu, tidak akan mengecohku!” ucap Elaine dengan penuh usaha. Ya, dia hampir saja kehilangan kendali atas dirinya. Sihir mata yang dilemparkan Ronald begitu membuainya.
Ronald terkekeh pelan. Senyuman manis yang ada di bibirnya sungguh menggiurkan. Tatapan mata yang begitu lembut. Tampak penuh dengan cinta dan ketulusan. Tangan pria itu mencoba membelai rambutnya. Tapi Elaine menepis dengan gerakan pelan dan lembut.
“Tidak Ronald!” tolaknya lagi. Ia segera berpaling dan mempersiapkan dirinya untuk hari ini. Tapi, sesaat dia berbalik badan dan kembali mendorong d**a bidang milik pria tersebut.
“Keluarlah! Aku akan mandi. Kau tidak berniat menunggu sampai aku selesai mandi kan?” sebuah kerlingan mata nan genit dilemparkan olehnya.
Ronald tersenyum tipis, kepalanya bergeleng pelan. Netra miliknya masih menatap tubuh indah yang baru saja menutup pintu kamar mandi tepat di hadapannya. Lagi, hatinya masih berdebar. Rasa itu masih ada. Masih sama besarnya. Masih saja terasa sama seperti di awal rasa. Dengan senyum yang masih terhias di wajahnya. Dia melangkah pergi keluar dari kamar tersebut.
***
“Dari mana saja kamu?” pertanyaan itu menyambut kedatangan Madie. Membuat langkahnya terhenti. Gadis itu memutar bola matanya kesal. Dia baru saja masuk ke dalam rumah. Dan disambut dengan sebuah pertanyaan yang sangat tak ingin dia jawab. Tentu saja dia malas. Untuk apa menjawab pertanyaan dari seorang pria yang sudah tak menganggapnya ada. Seorang pria yang sok berwibawa. Menanyakan kenapa anak gadisnya pulang di pagi hari. Sementara dirinya telah melakukan pengkhianatan pada keluarganya sendiri. Munafik!
Dia menghela napas panjang, melirik sekilas. Lalu melanjutkan langkahnya lagi. Ia sama sekali tak berminat untuk berbicara dengan sosok tersebut.
“Madie! Aku bertanya padamu!” lantang suara Ayahnya memanggil dirinya lagi.
Hal itu membuat Madie kembali berhenti. Membalikkan badannya, kemudian kedua netranya menatap lurus ke dalam netra sang Ayah. Dengan langkah perlahan. Madie berjalan ke arahnya.
“Apa yang Ayah harapkan dari aku? Menjawab pertanyaanmu tadi?” Madie bersikap tidak sopan. Tapi, dia merasa perlu melakukannya. Menunjukkan pada sang Ayah, bahwa dirinya telah dewasa dan bukan lagi anak sekolahan yang harus pulang sebelum jam sembilan malam.
Antoni sama sekali tidak menyangka. Bahwa anak gadisnya kini telah sangat berani menjawab perkataannya dengan nada kasar.
“Ah, baiklah akan aku jawab. Tak perlu memandangku dengan tatapan menyebalkan seperti itu. Aku dari rumah paman Harry. Apa itu cukup menjawab pertanyaan tadi?”
“Aku rasa cukup. Jadi, jangan berteriak lagi. Apalagi memanggil namaku dengan nada seperti tadi!”
Madie melangkah pergi. Tapi, dia berbalik badan lagi. Kali ini, bukan karena panggilan dari ayahnya. Tapi, dia ingin sang Ayah tahu. Bahwa dirinya telah mengetahui semua kebusukan yang selama ini disimpan olehnya rapat-rapat.
“Kalau anak bernama Lucas itu, pasti hanya akan menunduk dan menurut pada Ayah. Jadi, lakukan saja hal itu padanya! Jangan padaku!” tutupnya. Lalu dia kembali berjalan menuju kamarnya.
Beberapa pasang mata yang ada di sana tak berani menatap pada perbincangan kedua Ayah dan anak itu. Mereka menepi ke sisi tembok. Menundukkan kepala mereka. Kalau bisa, mereka bahkan akan menutup telinga setiap kali ada perbincangan di dalam rumah tersebut. Seperti saat Madie melangkah melewati mereka. Hanya Amanda yang berani mengikuti langkah gadis muda itu. Karena dia adalah asisten pribadinya. Dia menoleh ke arah rekannya yang lain. Mereka hanya bisa memberikan semangat dengan gerakan tangan yang di kepalkan di bawah. Amanda hanya mengangguk pelan. Tak berani mengeluarkan suara sama sekali.
“Tak perlu!” cegah Madie pada Amanda yang baru saja meletakkan tangannya di knop pintu. Gadis itu menarik tangannya perlahan. Tak ada pertanyaan. Hanya sebuah anggukan kepatuhan.
“Aku ingin sendiri sekarang. Tolong siapkan sarapan kita satu jam lagi.” Dia masuk ke dalam kamar dan langsung menutup pintunya. Terlalu banyak permasalahan yang ada. Dia harus segera menjernihkan pikirannya dengan berendam di air hangat. Dengan banyak busa dan juga aroma terapi yang menenangkan.
Sementara Amanda merasa lega. Dia tak perlu berurusan dengan Madie di saat temperamennya sedang tidak stabil seperti sekarang. Dia terhindar dari siksaan mental untuk saat ini. Dia memejamkan mata, mengusap d**a, dan bersyukur di dalam hatinya. Segera menuruni anak tangga. Sarapan harus tersaji dalam satu jam. Dia harus bergegas.