Madie menenggelamkan dirinya di dalam bak yang penuh dengan air hangat. Busa-busa tebal berada di sekitaran tubuhnya. Aroma terapi telah dia nyalakan. Beberapa api di sumbu lilin yang bergoyang perlahan menambah hangatnya suasana. Pikiran Madie sedang kacau. Ia sedang memikirkan di mana keberadaan Ibunya. Dia sama sekali tak bisa melacak keberadaannya. Terlebih, sang kakek sudah mulai cerewet akan banyak hal. Mengusik kenyamanannya dalam bekerja. Dia sangat tahu, hanya dirinya tumpuan terakhir keluarganya. Dia juga sangat hafal bagaimana sikap sang kakek. Pria yang sudah cukup banyak mengenyam pahit manisnya kehidupan ini. Tidak akan mau merelakan posisi penting itu diduduki yang bukan dari darahnya sendiri. Dan dirinya adalah satu-satunya manusia yang memiliki aliran darah dari sang kakek.
Ibunya? Mana mungkin sang kakek memberikan posisi penting pada seorang wanita yang sangat bucin pada suaminya itu. Gadis itu bahkan bisa menebak. Kalau ibunya bisa saja memberikan semua aset itu pada suaminya. Walau wanita itu tahu dengan sangat jelas. Bahwa sang suami tidak setia. Dia bisa melakukan banyak hal agar sang suami tetap berada di sisinya. Madie tahu betul. Pada saatnya, dia akan diminta menggantikan kakeknya untuk berada posisi itu. Lalu dia akan dipaksa mempelajari banyak hal. Yang mana semua itu hanya akan membuat dia merasa kesal lelah, capek, bahkan merasa benci dengan apa yang dia miliki. Ya, dia sadar betul. Bahwa semua uang yang ada pada dirinya mempermudah segala hal. Tapi, dia tidak ingin pusing memikirkan bagaimana jalannya perusahaan itu nantinya.
Madie mengeluarkan kepalanya dari dalam air. Segera dia usap wajahnya. Menyingkirkan sisa air dan juga busa yang ada di wajah cantiknya. Kemudian ia hirup dalam-dalam udara yang ada di sana. Di sebagian rambutnya terdapat busa yang menempel. Napasnya masih belum stabil. Detak jantungnya juga masih cepat karena menahan napas cukup lama di dalam air. Pada titik terakhir. Dia menarik satu napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Bersamaan dengan itu, detak jantungnya mulai kembali normal.
“Kamu ke mana Bu?” gumamnya pelan. Tidak, dia sama sekali tidak khawatir akan keselamatan Ibunya. Karena dia tahu dengan jelas. Wanita itu menunjukkan bahwa dirinya sedang baik-baik saja saat dia bertemu dengannya di rumah sang kakek. Madie penasaran, apa yang sedang dilakukan oleh Ibunya sekarang. Kenapa juga dia tidak pulang semalam.
Sebuah ketukan di pintu kamar mandinya membuat gadis itu menoleh.
“Amanda? Ada apa?” teriaknya dari dalam kamar mandi. Tapi, tak ada sahutan dari luar kamar. Dia coba acuhkan saja. Tapi, ketukan di pintu kamar mandinya kembali terdengar. Perasannya mendadak tak enak. Dia meraih baju handuk miliknya. Walau dia belum selesai berendam, belum juga membilas tubuhnya dari sabun dan busa yang masih menempel di tubuhnya. Ia segera bangun dan mengenakan baju handuk tersebut. Ia buka pintu kamar mandinya. Dan perasaan buruk itu terjadi dengan nyata. Seakan sebuah lamunan yang langsung dikabulkan oleh Tuhan dalam waktu itu juga.
“Cepat selesaikan mandimu! Temui aku di kantor! Jangan membuat alasan! Aku tidak akan menerima alasan dalam bentuk apa pun!” Eddy memerintah dengan nada tegas. Dia langsung berbalik. Melangkah keluar dari kamar cucunya itu.
Sementara Madie masih tercengang dan tidak percaya. Baru saja dia memikirkan segala hal itu di dalam kepalanya. Lalu, baru saja sang kakek memberikan titah yang tidak bisa dia tolak. Kini, dia merasa menyesal. Seharusnya dia tidak memikirkan hal itu tadi.
“Sial!” umpatnya. Tak ada tempat berlindung jika yang akan dia lawan adalah sang kakek. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Dia harus melakukan apa perintah dari sang kakek. Dengan langkah malas dia kembali ke dalam kamar mandi dan menyelesaikan ritual mandinya dengan cepat. Sebelum banyak ancaman yang akan dia terima dari pria yang baru saja keluar dari dalam kamarnya.
Di ruang tamu, Antoni bersikap sok bijaksana. Dia menyapa dan memberikan sambutan istimewa pada sang mertua. Rapi, Eddy sedang tidak ingin berbasa-basi.
“Tak perlu bersikap seperti itu. Lakukan saja tugasmu di kantor. Selama kau masih dibutuhkan di sana! Jangan lupa, Elaine adalah satu-satunya alasan kau masih berada di kursi tempatmu duduk!” katanya. Laku dia segera pergi setelah melontarkan kata-kata sindiran yang cukup menyakitkan hati pria tersebut.
Antoni tak mempunyainya keberanian untuk menjawab. Dia hanya mengangguk dan menunduk patuh. Dalam hati dia terus mengumpat. Tapi, sama sekali tidak mempunyai waktu yang tepat untuk melontarkannya dengan lantang. Lebih tepatnya, dia tak mempunyai keberanian untuk melakukan itu. Karena rasa takutnya kehilangan aset lebih besar daripada rasa bencinya pada sang mertua.
***
“Nona, makanan sudah siap!” panggil Amanda dari luar pintu. Sebuah ketukan kecil mengawali ucapannya.
“Ya, sebentar lagi aku akan turun. Apa kakek masih di bawah?” jawab Madie. Dia membuka pintu. Menatap dengan tajam pada Amanda. Apa yang dilakukan Madie membuatnya terkejut. Hampir saja dia kelepasan berteriak.
“Tidak ada Nona, Tuan Eddy sudah pergi setelah menemui Ayah Nona.” Amanda mengatakan apa yang memang diketahuinya.
“Ah, begitu, rupanya kakek sudah mulai mencampuri urusanku sekarang. Aku harus pergi lebih cepat sepertinya.” Madie berbicara sendiri. Lalu, saat Amanda bertanya, “Pergi? Ke mana Nona?” barulah dia tersadar. Bahwa dia kelepasan. Seharusnya, tak ada yang tahu rencana kepergiannya itu. Dia harus mengunci mulutnya rapat-rapat. Agar semuanya bisa berjalan sesuai dengan rencana yang sudah dia persiapkan.
“Tak ada! Maksudku pergi ke kantor kakek! Ya, aku akan segera sarapan. Tunggu saja di bawah!” balas Madie. Dia cepat-cepat menutup pintu dan menyelesaikan persiapan dirinya. Di harus rapi dan menawan setiap kali bertemu dengan kakeknya. Kalau tidak, dia akan mendapatkan banyak sekali kritikan darinya. Dan kritikan itu akan berlangsung lama. Dia tidak suka hal itu terjadi.
Madie baru saja menyuap makanan ke dalam mulutnya. Tapi, ada hal yang mengganggu kegiatannya itu.
“Masih sempat sarapan? Ayo berangkat sekarang!” suara itu terdengar kian menyebalkan bagi Madie.
Gadis itu segera meletakkan sendok dan garpunya ke meja. Nafsu makannya mendadak hilang. Harinya dimulai dengan keburukan hari ini. Maka, dia harus bersiap untuk hal yang lebih menyebalkan lagi sepanjang hari ini. Madie beranjak berdiri. Antoni tersenyum puas. Karena dia merasa masih bisa mengatur anak gadisnya yang sudah semakin dewasa itu. Sayangnya, hal itu hanya ada di dalam pikiran Antoni sendiri. Madie kembali duduk. Gadis itu hanya merapikan pakaiannya saja. Lalu kembali menyantap sarapannya.
“Silakan berangkat lebih dulu. Sepertinya ada hal yang ingin kakek sampaikan pada Ayah. Jadi, bersiaplah untuk duduk di kursi yang lebih rendah. Atau bahkan, duduk di bawah!” balasnya. Ringan sekali lidah gadis itu mendorong perkataan yang menyakitkan itu agar terucap.
Antoni hampir saja meluapkan emosinya. Tapi, ini bukanlah saat yang tepat untuk berdebat dengan anak sendiri. Merayu, membual, dan bahkan mencari wajah di depan Eddy adalah tujuannya sekarang. Agar posisinya tetap aman. Dia melanjutkan melangkah.
“Jangan terlalu percaya diri dengan apa yang sedang kamu miliki sekarang!” pria itu dengan sombongnya mengucapkannya dengan keras. Padahal, posisinya sama sekali tidak aman di perusahaan tersebut. Berbeda dengan posisi Madie nantinya.
“Ucapan itu sama sekali tidak cocok untuk seorang pria yang sudah mengkhianati istri dan juga anaknya! Lihat saja bagaimana Kakek akan bertindak nanti!” balas Madie tak mau kalah. Pria itu hampir menghentikan langkahnya. Tapi dia mencegah dirinya sendiri. Dia tidak boleh gegabah dalam melakukan apa pun mulai sekarang.
***
Di tempat lain. Elaine sedang bersenang-senang dengan mainan barunya. Dia tampak tertawa puas. Sesekali dia merekam kejadian itu. Lalu kembali fokus melakukan banyak hal yang dia sukai. Ruangan yang dibatasi dengan kaca tebal itj menjadi saksinya. Seberapa tangan lembut itu mampu memberikan siksaan yang begitu luar biasa. Bibir yang biasanya tersenyum sangat manis dan menunjukkan keanggunan miliknya. Mampu mengucapkan kata demi kata yang bisa membuat seseorang di dalam ruangan itu tak bisa berkutik.
Elaine menempelkan kedua tangannya di dinding kaca. Dia memejamkan mata. Entah bagaimana ceritanya. Dia merasa begitu tergugah karena mendengar jeritan kesakitan yang ia saksikan sendiri. Senyum di wajahnya sama sekali tidak pudar.
“Bisa kau masukkan ular ke dalam sana? Tak perlu yang berbisa, yang biasa saja. Kalau ular berbisa dan mematuknya, dia bisa mati nanti. Permainan baru dimulai. Aku masih ingin menikmati semua prosesnya! Ah ya, seratus ekor ya!” pintanya manja. Dengan sentuhan lembut di pundak kiri Ronald. Pria itu hanya mengangguk setuju dan menuruti semua keinginan wanita tersebut.
“Jangankan ular, kau minta singa pun aku masukkan!” balasnya.
Sebuah jawaban yang sungguh di luar dugaan. Elaine membelalakkan matanya dengan senang. Bibirnya refleks tersenyum dan mengucapkan terima kasih tanpa mengeluarkan suara.
Ronald mengirim pesan pada penjaga. Sesuai dengan apa yang Elaine katakan. Dalam hitungan menit. Semua tersedia. Apa yang diucapkan oleh Elaine dikabulkan. Dua orang dengan tubuh besar masuk ke ruangan. Pintu pembatas yang terbuat dari kaca menunjukkan semuanya. Eliza begitu takut. Dia mundur selangkah demi selangkah.
“Keluarkan aku dari sini! Kau tidak tahu siapa aku hah?” teriaknya. Mencoba melawan. Mencoba meyakinkan diri sendiri. Bahwa dia masih bisa menggunakan Antoni sebagai tameng untuk mendapatkan kenyamanan.
Tapi, kedua pria itu sama sekali tidak menghiraukannya. Mereka baru saja membuka dua kotak besar. Digulingkannya kedua kotak itu oleh mereka. Kemudian keduanya segera keluar dari ruangan. Dari balik pintu mereka menekan tombol pembuka kaca pembatas. Bersamaan dengan itu, ular-ular itu kemudian keluar. Melata, tersebar ke sebagai sudut ruangan. Eliza hanya bisa berteriak. Menjambak rambutnya sendiri. Kini, dia berada di atas tempat tidur. Berteriak ketakutan, bahkan terlihat hampir setengah tidak waras.
Keadaan di dalam ruangan kaca itu benar-benar mencekam baginya. Ular itu begitu banyak. Dan dia tak tahu harus melakukan apa agar semua ular itu tak menyakiti dirinya. Ya, hanya karena dia tidak tahu bahwa mereka tidak berbisa. Sebuah ketidaktahuan kadang akan memberikan kenyamanan. Namun lebih sering menghadirkan rasa waspada yang berlebihan.
Sementara itu. Di luar ruangan kedua netra Elaine tampak begitu puas memandangi suasana di dalam ruangan tersebut. Dia mengetuk dinding kaca tersebut. Memang tak bisa terlihat dari tempat Eliza. Siapa yang sedang mengawasinya sekarang. Tapi, tetap saja Eliza menatap dengan tajam pada sisi tersebut.
“Apa kau menyukainya?” suara Elaine terdengar mengejek. Pengeras suara yang ada di ruangan Eliza menyampaikan ucapannya. Begitu juga suara tawa yang terdengar begitu menyebalkan di telinga Eliza.
“Kau hanya berani berada di balik dinding kaca itu? Kau bukanlah lawanku! Siapa kau!” teriak Eliza. Dia semakin tidak bisa menahan diri. Berjingkrak hingga membuat beberapa ular mulai melata ke arahnya. Kemudian dengan seluruh keberanian yang tersisa. Dia mencoba untuk menendang-nendang mereka. Agar tetap berada jauh dari dirinya.
Suara tawa Elaine begitu keras, terdengar puas setelah ia mendengar Eliza memintanya untuk dilawan secara langsung.
“Jangan terpancing! Bukan saatnya untuk masuk ke dalam sana sekarang!” cegah Ronald. Dia tahu betul bagaimana Elaine dan segala sifat tidak mau kalahnya. Sebuah tantangan akan selalu dia hadapi. Termasuk pancingan dari Eliza.
“Kau terlalu mengenalku! Baiklah-baiklah aku tidak akan masuk ke dalam sana!” sorot mata sayu itu menatap Ronald. Membicarakan dengan bahasa mata. Apa yang seharusnya dilakukan oleh pria itu untuk membungkam mulut lancang Eliza kepadanya. Gelayut manja yang dia lakukan membuat Ronald semakin paham.
“Sesuai dengan permintaanmu.”
Dikirimkan lagi sebuah pesan pada para penjaga. Agar melakukan apa yang diminta oleh Elaine. Dan tak berselang lama. Seorang pria berbadan besar yang sebelumnya mengirimkan kotak berisi ular ke dalam ruangan tersebut kembali masuk ke dalam sana. Dia berjalan dengan langkah tenang. Sementara Eliza mundur-mundur ketakutan.
“Apa yang akan kau lakukan sekarang? Kau tidak berani melawanku dan menyuruhnya masuk ke sini sekarang?” sindir Eliza. Dengan suara tawa yang mengakhirinya. Dia menatap pada dinding kaca tersebut sekali lagi. Dengan tatapan penuh kebencian dan dendam. Terlalu banyak hal yang seharusnya dia lakukan. Tapi dia terjebak di sana sekarang. Selain itu, dia juga tidak bisa memberi kabar pada anak kesayangannya. Dan semua itu semakin membuat hatinya hancur dan menyimpan ribuan dendam.
Elaine tak peduli. Dia hanya menikmati pemandangan tersebut dengan senyum di wajahnya. Pria berbadan besar itu mulai mendekat. Menarik tubuh Eliza. Memikulnya, menjambak, bahkan merobek pakaian yang ada di badan wanita tersebut. Sekuat apa pun dia berusaha melawan. Tetap saja tenaganya tidak akan bisa menandingi kekuatan yang dimiliki oleh pria tersebut. Tubuhnya terlempar, kepalanya terbentur, dan pakaiannya robek. Hingga membuat sebagian tubuhnya terekspose. Dia mencoba menutupinya dengan kedua tangan. Dengan suara yang tercekat dia memaki dan berteriak-teriak. Sebuah pertunjukan yang semakin menyenangkan bagi Elaine.
Pria itu menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Hingga bunyi kretek itu terdengar jelas oleh mereka. Elaine jadi semakin bersemangat.
“Apa yang akan dia lakukan?” tanyanya senang.
“Lihat saja, akan terjadi sesuai dengan apa yang kamu inginkan!” balas Ronald tenang.
Pria di dalam ruangan itu mendekat ke arah Eliza. Wajah mereka berdua bertemu. Eliza yang ketakutan masih mencoba bertahan. Dia meludah ke arah wajah pria tersebut. Raut kemarahan muncul di wajah sang pria. Urat-uratnya bahkan tercetak dengan jelas karena dia mengepalkan tangannya dengan kuat. Dan itu adalah awal dari penyesalan paling dalam yang ada dalam hidup Eliza. Tubuhnya dibanting, pakaiannya dirobek semakin besar, dan tubuhnya dijamah tanpa izin darinya. Pukulan-pukulan penolakan yang dia lakukan tak ada artinya. Semua kejadian itu terjadi. Semakin ganas karena rasa amarah yang memenuhi pria tersebut. Ia lakukan semua hal buruk pada wanita tersebut. Tak ada ampun, tak ada rasa kasihan, dia meluapkan semuanya dengan melakukan perlakuan yang begitu menghina padanya.
Kejadian brutal itu terjadi di luar komando. Tapi, Elaine menyukainya.
“Waaaaah!” dia bertepuk tangan ringan. Dia semakin bersemangat dengan menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Dia benar-benar menyukai keadaan itu. Suara tangis, ketakutan, dan juga keputusasaan tampak begitu sempurna. Membuat wanita itu semakin puas dengan pembalasan yang ada.