Di saat semua orang sedang mencari keberadaan dirinya. Madie sedang tertidur lelap. Dia menikmati istirahat malamnya dengan tenang. Tanpa ada gangguan. Pikirnya sudah tak ada lagi hal yang harus dia pertahankan di rumah besar itu. Satu-satunya alasan dia tetap berada di sana hanyalah sang Ibu. Tapi, setelah dia melihat peti yang diturunkan ke dalam liang kubur hari itu. Tak ada lagi yang mampu membuat dia tetap bertahan di sana.
Eddy mengerahkan banyak orang untuk mencari. Memetakan posisi terakhir yang terekam oleh kamera pengawas. Kemudian sebagian dari mereka juga pergi ke bandara. Mengecek nama-nama penumpang di sana. Nihil! Tak ada!
Bukan Eddy namanya, kalau dia mengumumkan kaburnya sangat cucu. Dia masih berusaha terlihat tenang. Agar saham perusahaannya tak terpengaruh oleh isu. Termasuk tentang kematian sang anak. Ia bahkan hanya mengabarkan dia sakit. Tak ada penyelidikan polisi. Untuk sementara dia menyimpan semuanya sendiri.
“Panggil Harry ke sini!” perintahnya. Ini masih tengah malam. Dan dia memaksa keponakannya untuk datang ke rumahnya. Bawaannya menurut. Mereka menjemput Harry dengan paksa. Membuat pria yang belum sempat mengumpulkan kesadarannya itu terhuyung. Dia baru membuka pintu, tapi sudah digandeng oleh mereka dengan gapitan tangan yang kuat.
“Ada apa ini?” protesnya. Tapi tenaganya masih belum terkumpul. Jadi, dia hanya bisa mengoceh dan memprotes cara mereka menjemputnya.
“Tuan Eddy meminta kami menjemput Anda!” jawab salah seorang darinya. Dari rupanya, ia tampak seperti pimpinan dari para penjaga.
“Paman?” tanya Harry masih dengan setengah sadar. Langkahnya sudah mulai tegak. Tapi kesadarannya masih belum penuh secara sempurna.
“Iya!”
“Ada apa?” Harry bingung. Dia tidak tahu apa-apa. Mendadak dijemput secara paksa di tengah malam seperti itu. Pamannya memang keterlaluan, dia bisa sangat kejam dalam setiap hal pada semua orang. Bahkan pada keponakannya sendiri.
“Tuan akan berbicara langsung pada Tuan besar. Saya tidak berhak ikut campur, jadi mohon tenang. Anda bisa melanjutkan tidur di mobil.” Pria itu berbicara dengan sopan. Tapi suaranya terdengar menyeramkan, bagi Harry sekalipun.
“Oke, aku akan berjalan sendiri. Tak perlu mengapitku seperti ini!” pasrahnya. Kedua pria berbadan besar itu melepaskan Harry. Membiarkan dia berjalan sendiri.
Bukannya tidak mau tidur, dia memang tidak bisa tidur akibat dibangunkan dengan cara seperti itu. Sekarang, kepalanya menjadi pusing. Perasaannya tidak enak. Tidak mungkin masalah biasa yang akan dia hadapi. Karena Eddy langsung menjemputnya di tengah malam. Pasti, ini adalah masalah yang cukup serius.
“Sudah sampai Tuan,” ucap penjaga itu padanya.
Masih dengan piama tidurnya, Harry bergegas turun untuk menemui sang paman. Eddy sudah menunggu di ruang tamu. Ia langsung berdiri, saat melihat Harry membuka pintu.
“Harry, apa kau tahu di mana Madie berada?” tanya dia tanpa basa basi lagi.
Harry yang baru saja datang mendapatkan pertanyaan seperti itu sangat terkejut.
“Madie? Bukannya dia kembali lagi ke vila?” Harry menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Hanya sebagai refleks kebingungan yang dia rasakan.
“Kalau dia ada di sana, aku tidak akan menyuruh kamu datang di tengah malam seperti ini!” balas Eddy dengan mata melotot. Kecemasan yang ada di wajahnya tampak jelas. Hal ini membuat Harry jadi ikut panik.
“Tidak mungkin, tadi dia jelas bilang kepadaku akan kembali ke vila. Lalu, ke mana dia kalau tak ada di sana?” pikiran buruk melintas di kepala Harry. Dia tadi dengan santainya menyuruh gadis itu pergi. Karena dia sama sekali tidak mengira hal ini akan terjadi. Kalau dia tahu, dia akan mencegahnya agar tetap berada di rumahnya.
“Aku tak tahu dia kemana, karena itulah kau ada di sini! Karena biasanya dia terus menempel padamu.” Apa yang dikatakan Eddy memang benar. Gadis itu selalu menempel pada Harry. Karena tak ada orang dewasa lain yang bisa memahaminya sebaik pamannya itu.
Harry terduduk di lantai. Pikiran buruk terus melintas. Segala ucapan Madie kembali terngiang di kepalanya. Tentang dia sibuk dan harus melakukan sesuatu. Dia merasa lalai. Karena tidak bisa mengetahui hal itu. Dia berada sangat dekat. Tapi fokusnya teralihkan. Lalu, apa yang harus dia lakukan sekarang?
“Ada apa? Apa terjadi sesuatu?” Eddy menjadi semakin cemas karena melihat Harry yang terduduk lemas. Kalau orang paling dekat dengannya sampai tidak tahu gadis itu berada di mana. Tentu ini bukanlah kabar yang baik.
“Aku akan meneleponnya!” ucapnya.
“Tidak perlu!” Eddy melemparkan ponsel Madie ke hadapan pria itu. Refleks dia menangkapnya. Lalu, sekarang tidak ada lagi hal yang bisa mereka lakukan. Wajah Harry menjadi semakin muram.
“Masih beruntung di beberapa bandara tidak ada nama dia. Setidaknya, dia masih berada di sekitar sini. Kalau begitu, kau kembali pulang saja. Kita akan melanjutkan pencarian besok pagi!” lanjut Eddy. Pria tua itu segera berbalik badan dan meninggalkan keponakannya yang sedang duduk di lantai.
Ponsel di genggamannya adalah satu-satunya petunjuk yang bisa dia kupas hingga tuntas. Gegas dia pergi, tentu dengan meminta mereka mengantarkan dirinya kembali pulang. Ia terlalu malas tidur di rumah Eddy. Tak ada hal menyenangkan di sana.
Sesampainya di rumah, ia segera membuka ponsel Madie. Ia tahu sandinya. Terlalu mudah baginya. Dia lihat semua pesan dan panggilan terakhir. Tak ada yang aneh. Bahkan orang yang ada di panggilan terakhirnya adalah dirinya. Lalu, dia melanjutkan membuka galeri. Foto-foto yang ada di sana cukup banyak. Lalu, dia menemukan foto rumah Antoni. Beserta anak dan selingkuhannya.
“Dokter itu! Ya! Dia pasti tahu sesuatu!” pikir Harry. Kini, dia menyesal. Kenapa tak menyimpan nomor dokter tersebut saat berada di sana. Sekarang, dia harus kembali ke sana untuk memastikan kebenarannya. Apakah pria itu tahu keberadaan Madie atau tidak.
***
Gadis itu terbangun dengan tubuh yang segar. Dia sudah lama tidak merasa bebas dan ringan seakan melayang seperti sekarang. Dia bebas melakukan apa yang ingin dia lakukan. Hal pertama yang harus dia lakukan adalah keluar dari penginapan dan berpindah tempat. Sebelum ada orang yang mengenalnya mengetahui posisinya. Kalau itu sampai terjadi, dia harus siap untuk segera kembali ke rumah dengan segala tuntutan padanya.
Gadis itu telah rapi, dengan kunciran rambut tinggi. Topi hitamnya masih menemani. Begitu juga dengan jaket oblongnya. Dua benda itu membantu dia menyamarkan wajah dan proporsi tubuhnya.
“Bagaimana kalau aku potong rambut saja?” dia bergumam. Kebetulan sekali di depannya ada sebuah salon. Langkahnya mantap berjalan ke arah sana. Memutuskan untuk memangkas rambutnya agar terlihat berbeda.
Dengan roti isi di tangan, dia memesan tempat.
“Saya akan menghabiskan sarapanku dulu,” ucapnya pada si pemotong rambut yang sedang bersiap untuk melayaninya.
“Baik Nona,” balas perempuan itu.
Setelah gigitan terakhir, dia segera kembali. Duduk dengan santai dan memerhatikan setiap helai rambutnya yang dipotong dengan rapi oleh petugasnya.
“Sepertinya akan lebih baik kalau diberi warna. Bagaimana dengan warna coklat? Agar lebih gelap,” tanya dia pada petugas itu.
“Ya, saya rasa akan cukup bagus dengan kulit Anda yang bersih. Mau dicat sekalian?” tawarnya. Siapa yang akan menolak pelanggan. Tak ada. Karena semua itu tentu akan mendatangkan banyak uang untuk dirinya.
“Baiklah, ubah rambutku, sehingga aku benar-benar menjadi orang yang berbeda.” Madie telah memantapkan hatinya. Ia akan mengubah semua yang ada pada dirinya. Agar tak tertangkap oleh sang kakek. Dia sudah cukup menderita. Kini, saatnya dia melakukan apa yang dia inginkan. Bukan hanya melakukan segala perintah yang diberikan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya.
Gadis itu sudah terlalu muak dengan segala drama yang ada. Segala kebohongan, dan juga kekangan yang dia terima. Para orang yang lebih dewasa darinya selalu saja mengatakan bahwa semua yang mereka lakukan adalah untuk kebahagiaannya. Untuk masa depannya. Untuk kenyamanan dan keamanannya. Sementara itu, mereka mengesampingkan perasaan seorang gadis yang juga ingin bebas melakukan apa yang dia inginkan.
Madie terdiam. Menatap bayangan dirinya di cermin. Gadis itu telah kehilangan rambutnya yang panjang. Satu, dua, tiga, gunting yang digunakan oleh pemotong rambut itu terus bergerak. Memangkas rambutnya secara teratur. Setiap sisi kanan dan kiri telah dia ratakan dengan sempurna. Sesekali, ia menariknya untuk menyamakan panjangnya. Selesai.
“Bagaimana? Anda suka?” perempuan itu bertanya. Setelah ia meletakkan gunting dan melepaskan penutup pakaian agar tak terkena rambut yang jatuh karena dipotong.
“Bagus sekali, warna coklat yang cukup gelap. Rasanya itu akan membuat aku terlihat lebih segar,” pinta Madie. Perawatannya kembali dilanjutkan. Sebuah katalog disodorkan ke depannya. Netranya memindai, memilih warna gelap mana yang paling cocok untuknya. Setelah berdiskusi cukup lama. Dia akhirnya menunjuk sebuah warna. Keduanya setuju dan saling mengangguk. Gadis itu merasakan dirinya bebas. Senang sekali bisa pergi ke salon tanpa harus melakukan laporan pada orang lain tentang apa yang akan dia lakukan. Tentang perawatan yang akan dia pilih. Atau izin mengecat warna apa yang disetujui. Semua itu kini bisa dia lakukan sendiri. Hidupnya lebih terasa hidup sekarang.
Sementara itu, Harry sedang bersiap untuk segera pergi menemui Ronald. Ia mengemudikan mobilnya dengan kencang. Berharap dia bisa cepat sampai di tempat dokter tersebut. Ia langsung berlari, saat sudah menginjakkan kaki di sana. Besar kemungkinan Madie berasa di sana. Karena ini adalah tempat paling asing dan terbaru yang Madie tunjukkan kepadanya.
“Mohon maaf Tuan, permisi! Anda akan ke mana?” seorang perempuan dengan pakaian putih menghadang jalannya. Dia menatap tegas pada Harry. Pria itu menebak kalau perempuan ini adalah asisten atau perawat yang bekerja untuk si Ronald.
“Saya akan bertemu dengan Dokter Ronald!” jawabnya singkat. Ia akan melangkah, tapi perawat itu menghadangnya.
“Maaf Tuan, Dokter Ronald sedang ada pasien. Apakah Anda sudah membuat jadwal dengannya?” tanya dia lagi. Ingin memperjelas urusan apa yang akan dia lakukan dengan cara terburu-buru seperti itu.
“Janji? Saya tidak perlu membuat janji untuk bertemu dengannya! Minggir kamu!” didorongnya tubuh perawat itu hingga menjauh dari tempatnya berdiri. Pria itu segera menuju ruangan Ronald.
Bukannya mengetik pintu, pria itu langsung membukanya. Hingga membuat terkejut orang yang sedang berada di dalam ruangan tersebut. Kedua orang yang ada di dalam ruangan tercengang.
“Dimana Madie?” tanya dia langsung. Tanpa basa-basi lagi. Dia sudah tidak sabar mendengar jawaban darinya.
“Maaf Tuan, saya sedang ada pasien! Anda bisa menunggu sebentar di luar!” tegas Ronald. Dokter itu berdiri dan menarik lengannya kuat. Mendorongnya keluar dari ruang praktiknya.
“Maaf Dokter, pria ini mendorong saya dan menerobos masuk!” perawat itu menjelaskan apa yang terjadi.
“Pastikan pria ini tidak masuk secara mendadak seperti tadi. Kau tahu peraturannya! Dan kau!” Ronald menunjuk tepat ke wajah Harry.
“Diam dan tunggu? Kalau tidak, aku bisa membuat kau menyesal telah datang ke sini secara tidak sopan!” ancamnya.
“Kau tidak berhak mengancamku! Kau seharusnya mengatakan padaku! Dimana kau menyembunyikan keponakanku? Dimana Madie?” teriaknya. Dia sudah tidak bisa menahan amarahnya. Kedua tangannya mencengkeram jas dokter yang digunakan oleh Ronald.
Perawat itu mundur selangkah. Dia tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi di sana.
“Madie? Anak Elaine? Dia pergi?” Ronald tersenyum tipis.
“Baguslah dia pergi, dia tidak harus merasakan apa yang dirasakan oleh Elaine selama ini. Dia tidak ada di sini, kau boleh mengecek ke seluruh gedung! Dia tidak akan kau temukan di sini. Karena dia pergi atas kemauannya sendiri. Dia pergi untuk mendapatkan kebebasannya.” Ronald mengatakan itu dengan santainya. Walau kedua tangan Harry bisa saja menonjok wajahnya kapan saja.
“Saranku, biarkan di pergi. Kalau kau memang orang penting baginya. Dia akan menghubungimu! Tenang saja!” lanjutnya. Ronald sangat percaya diri. Dia tentu bisa membaca raut wajah Harry yang sedikit melunak. Apa yang di katakan memang benar adanya. Harry menyadari itu. Bahwa Madie memang tidak bebas berada di bawah pengawasan Eddy secara langsung seperti sekarang.
Perlahan, pria itu melepaskan cengkeraman tangannya di jas Ronald.
“Aku akan mencarimu lagi! Jika Madie masih belum menghubungiku dalam satu minggu. Aku akan membuat kau menyesal!” ancamnya. Sebenarnya dia tahu, dalam hatinya yang terdalam dia paham. Kalau Madie tak ada hubungan dengan pria itu. Dan dia tampak jujur dengan apa yang telah dia sampaikan. Kalau Madie memang menganggapnya penting. Pasti dia akan menghubungi dirinya.
“Oke, silakan. Walau semu itu akan sia-sia. Karena aku memang tidak ada hubungannya dengan menghilangnya keponakanmu itu!” balas Ronald masih dengan sikap yang santai.
Harry berbalik, kembali ke mobilnya. Memukul-mukul setir mobilnya. Kekesalannya memuncak. Tapi, dia tidak bisa melakukan apa-apa sekarang. Selain menunggu kabar dari keponakannya itu secara langsung.
“Sial!” umpatnya.