18. Keputusan Madie

1652 Kata
“Ada apa Paman?” Gadis itu langsung membuka pintu. Dan betapa terkejutnya dia. Saat ia mendapati ada orang lain di dalam rumah pamannya. Padahal, mereka berdua sudah sepakat untuk menyelidiki ini secara rahasia. “Paman, kenapa dia ada di sini?” sambungnya. Dia segera menutup pintu dan berjalan mendekat. Ia sangat penasaran. Jawaban apa yang akan diberikan oleh pamannya. “Karena dia yang melihat kondisi Ibumu pertama kali.” Harry menatap Lili dengan tajam. Dia tahu, tidak ada pilihan lain. Jalan tikus pun belum tentu ada. Mereka harus menemukan cara mereka sendiri untuk bisa menguak semua kebenaran yang ada. “Paman, please. Sepertinya, aku tidak bisa melanjutkan hal ini. Tolong beri aku waktu untuk bernapas. Paman bisa mengatasi ini sendiri? Ada hal lain yang juga harus aku selesaikan.” Madie mengatakan keresahannya. Dia tidak bisa tinggal diam atas tawaran Ronald. “Baiklah, kalau kau memang ingin melakukan itu. Aku bisa mengatasinya sendiri. Tapi, hal lain apa yang menyita perhatianmu sekarang?” Harry menatapnya serius. “Aku tidak bisa mengatakan hal ini di depan dia!” liriknya ke arah Lili. Perempuan itu pun berdiri. Lalu berpamitan pergi. “Tunggu, kau harus melaporkan segala hal padaku!” cegah Harry. Pria dengan latar belakang hukum itu tentu harus memperingatkan dia. Agar tahu, kalau apa yang dia dengar dan dia katakan di tempat ini harus dirahasiakan. Mulutnya harus tetap terkunci rapat. “Baik Tuan, saya mengerti!” balasnya. Dia mengangguk dan sedikit membungkukkan badan. Kemudian dia pun pergi dari sana. Tepat setelah Lili pergi. Madie mulai bercerita. “Paman tahu bukan, Kakek selalu mendorongku untuk menggantikan posisinya di perusahaan. Itu melelahkan!” gadis itu mendesah. Menyelonjorkan kakinya yang jenjang di lantai. Kepalanya ia sandarkan di sofa. “Ya, aku tahu, sejak dari lama ia ingin kau melakukannya. Karena Elaine tak bisa. Lebih tepatnya tak dia percaya,” balas Harry. Pria dengan wajah tampan itu juga turut duduk di samping keponakannya. “Paman, aku harus menyelesaikan sesuatu. Sebelum aku dipaksa kakek untuk melakukan pendidikan tentang bisnis dan segala macam hal tentangnya!” gadis itu bersemangat. Ada binar di matanya. Dia tersenyum penuh arti. Dan Harry sama sekali tidak suka jika ia ditatap seperti itu. Karena hatinya mudah luluh. Pada akhirnya, dia akan melakukan sesuai dengan permintaannya. “Sudahlah-sudahlah, kau bisa pergi. Lakukan sesukamu. Sebelum masa depan kamu disita oleh Kakekmu Eddy.” Harry berpasrah. Dia harus menyelidiki ini sendiri sampai tuntas. Sampai dia mengetahui kebenaran yang ada tentang kematian sepupunya. “Sungguh? Ah, terima kasih Paman!” peliknya. Tangan panjangnya langsung ia eratkan di tubuh Harry. Sampai pria tampan itu sedikit menahan napas karena sesak. “Lepaskan! Lepaskan! Kau bisa membunuhku!” tolaknya. Segera didorongnya tubuh Madie agar ada jarak di antara mereka. “Wah, tenagamu semakin kuat saja!” lanjutnya. Dia bisa melihat gadis itu hanya cengengesan saja. Bahkan tak merasa bersalah sama sekali padanya. Padahal, ia hampir saja membunuh pamannya sendiri dengan sebuah pelukan yang terlalu erat. “Baiklah, aku pergi!” balasnya. Harry sama sekali tidak curiga. Dia lepaskan gadis itu pergi begitu saja. Tak dicegah olehnya. Tak ditanya lebih jauh ke mana tujuannya. Apa rencananya? Dan juga bagaimana ia akan pergi ke tempat itu. Pengacara dewasa itu lengah. Kali ini, ia tak bisa mencium aroma kejanggalan pada diri keponakannya sendiri. *** Ia tinggalkan ponselnya. Ia juga meninggalkan kartu debet miliknya, setelah menguras uangnya terlebih dahulu. Tanda pengenal dia simpan dengan baik. Beberapa potong pakaian dia kemas dengan rapi ke dalam sebuah tas ransel. Tak banyak yang dia bawa. Pikirnya, dia bisa mengambil sisanya nanti. Dia masukkan sisa barangnya ke koper. Dan dititipkan ke sebuah tempat penitipan barang. Mobilnya pun dia tinggalkan tetap ada di vila dekat pantai tersebut. Karena, kalau dia mengendarai mobilnya. Maka dia akan segera ketahuan sedang berada di mana. Ini adalah saat yang tepat baginya untuk menghilang dari kehidupan aslinya. Ia sudah terlalu muak dengan semua hal yang ada. Tentang tuntutan pendidikan, tara krama, cara bicara, sampai tentang masa depannya pun diatur sedemikian rupa. Ia tak bisa mengambil langkahnya sendiri. Dia tidak bisa memutuskan apa yang dia sukai secara lantang. Hanya bisa berkata, terima kasih Ayah, terima kasih Kakek. Siap Kakek, aku akan melakukannya. Dan segala macam bentuk kepatuhan lainnya. Dia harus sempurna, cantik, baik, dan juga cerdas. Dia harus menguasai banyak hal. Musik, olahraga, juga akademik. Semua hal yang ada pada dirinya harus sempurna. Tak boleh cacat sedikit pun. Karenanya, kini dia merasa muak. Setelah kepergian Ibunya. Dia harus segera melakukan keinginan kakeknya. Menjadi penerus perusahaan sebesar itu. Terlalu banyak hal yang harus dia pahami. Dan dia tak suka hal semacam itu. Dia ingin melepaskan diri. Dia harus bisa pergi dari sana tanpa terdeteksi. Gadis dengan rambut panjang itu mencangklong tas ranselnya. Menguncir rambut hingga berbentuk cepol. Kemudian mengenakan topi hitam. Agar wajahnya bisa tertutup dan bisa mengelabui banyak orang yang mungkin saja mengenalnya. Ia berikan tiket kereta pada petugas. Beruntung dia lolos dan bisa segera masuk ke dalam kereta. Setelah sampai di tempat duduk sesuai dengan tiketnya. Gadis itu semakin membenamkan wajahnya dengan topi. Agar tak ada satu pun orang yang bisa mengenalkan wajahnya. Dia harus pergi secara diam-diam. Agar semua hal yang dia ingin tinggalkan tak bisa mengendus keberadaannya. Sayangnya, beberapa mata memerhatikan dia dan berbisik-bisik. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Intinya, Madie merasa risi. Karena dia merasa kalau dirinyalah yang sedang diperhatikan oleh mereka. Dia harus segera menghindar. Di stasiun berikutnya. Dia terpaksa harus turun. Sebelum ada orang yang benar-benar mengenalinya. Dengan langkah cepat dia berjalan turun. Menuju tempat sepi, dia ingin makan sesuatu untuk mengisi perutnya. Saat itu, dia melihat ada sebuah super market. Segera ia masuk dan mencari beberapa makanan. Pilihannya hanya jatuh pada mi instan dan juga beberapa roti. Ia harus menyimpan makanan. Agar kalau sewaktu-waktu dia lapar, bisa segera menyantapnya. Tak perlu harus berkeliling untuk mencari makanan lagi. Lama dia berjalan menjauh dari tempat dia berasal. Dia harus mencari tempat untuk istirahat sekarang. Sebuah kursi di tepi jalan. Tempat di mana orang-orang biasa menunggu bus tertangkap penglihatannya. Dia memutuskan untuk duduk agar lelahnya sedikit berkurang. Tak berselang lama. Bus datang, beberapa orang yang menunggu bus segera naik. Dia menoleh ke sana-sini. Hanya dia yang tersisa. Bergegas, dia ikut masuk ke dalam bus. Walau dia tidak tahu, ke arah mana bus ini akan pergi. Beruntung, masih ada sisa kursi yang kosong. Sayangnya, dia kalah cepat dengan seorang pria yang juga baru saja menaiki bus. Pria itu bahkan menyingkirkan madie dari jalannya. Agar dia bisa duduk di tempat tersebut. “Hey! Jadi orang yang sopan! Aku yang lebih dulu naik!” ucap Madie kesal. Ditariknya pakaian pria tersebut. Agar dia mau berdiri dan memberikan tempatnya pada Madie. Tapi, pria itu tidak mau. Dia cuek saja dan tetap duduk di tempatnya. “Jangan berisik!” teriak si sopir. “Maaf Pak, silakan jalan!” balas Pria itu. Bukannya menjawab ucapan Madie. Dia malah semakin mengacuhkannya. Sama sekali dia tidak berminat untuk berdebat. Dia pikir kalau dia lebih dulu duduk di sana. Dan itu adalah haknya untuk tetap duduk di sana sampai ia berada di tempat tujuan. Gadis itu tak ingin memperpanjang masalah. Dia mengambil napas panjang dan memilih untuk berpindah tempat berdiri. Agar dia berada lebih jauh dari si pria yang menyebalkan baginya. Hingga akhirnya dia menemukan sebuah kursi kosong setelah melampaui beberapa halte. Segera ia duduk dan menikmati santainya duduk dalam perjalanan yang entah ke mana itu. “Pemberhentian terakhir!” Teriak sang sopir. Madie terkejut. Dia baru terbangun. Dia rupanya tertidur sepanjang perjalanan. Dia mencoba mengumpulkan kesadarannya dalam waktu singkat. Segera berdiri dan turun dari bus. Dia tidak tahu berada di mana. Ia juga asing dengan tempat tersebut. Hal yang ada dalam pikirannya sekarang adalah di mana dia harus beristirahat. Sementara ponsel saja dia tidak punya. Dalam hati, dia memutuskan untuk segera membeli ponsel esok hari. Untuk malam ini, dia harus mencari penginapan atau hotel yang terdekat untuk bisa tidur dengan nyenyak. Sementara itu, di sebuah rumah besar kembali terjadi kegemparan. Setelah kabar duka itu menyelimuti seluruh rumah. Eddy kelabakan, saat dia tidak bisa menghubungi cucunya. Telepon itu terhubung tanpa ada yang mengangkat. Hanya dalam hitungan menit ia langsung menyuruh anak buahnya untuk mengecek vila di tepi pantai tersebut. Dua orang pria dengan badan besar mengebut di jalanan. Menuju tempat yang dimaksudkan oleh sang bos. Sayangnya, kondisi vila itu rapi dan bersih. Sama sekali tidak ada tanda-tanda kekerasan di sana. Lalu, saat salah satu dari mereka mencoba menghubungi sebuah nomor. Dering ponsel menyapa pendengaran mereka berdua. Diikuti asal sumbernya. Ternyata berasal dari kamar mandi. Mereka mengendap-endap menuju kamar mandi. Dan saat akhirnya membuka pintunya. Kamar mandi itu kosong. Hanya sebuah kamar mandi, dan ponsel itu tergeletak di dekat wastafel. “Tuan, Nona Madie tidak adai vila.” Dia melaporkan pada Eddy tenang apa yang dia lihat di sana. Tentang ponsel yang ada di dalam kamar mandi. Juga kondisi vila yang rapi dan bersih. “Bos!” penjaga yang satunya menyela. “Ada apa?” balas yang satunya lagi. Pria yang tadi memanggil menunjukkan temuannya. Ada kartu debet, kartu kredit, dan beberapa kartu keanggotaan lain. “Tuan, sepertinya Nona muda memang sengaja pergi. Ponsel, dan segala macam kartunya ada di vila ini. Hanya koper dan barang yang dia basa saja yang tidak ada.” “Apa? Cepat cek seluruh kamera pengawas! Cepat temukan dia!” perintahnya. Suaranya memang tegas. Tapi, ada getaran ketakutan yang tersirat di dalamnya. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Madie tidak bisa ditemukan. Semua sudah dia atur sedemikian rupa. Tapi, kalau Madie tak ada. Semua yang sudah dia persiapkan tidak ada artinya. “Baik Tuan!? Saya akan segera melapor jika menemukan sesuatu.” Eddy langsung menutup telepon. Dia duduk di kursinya. Memegangi kepala yang mendadak terasa sangat nyeri. Karena ia harus mendapatkan kabar tidak menyenangkan ini secara mendadak. Kehilangan sang anak masih terasa sakit baginya. Lalu, kini sang cucu juga menghilang entah ke mana. Cucu perempuannya itu memang susah diatur. Tapi, dia sama sekali tidak menyangka kalau gadis itu akan sangat berani kabur seperti itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN