Waktu berlalu dan Rindu senantiasa menunggui Gavin di rumah sakit. Awalnya dia hanya memaklumi keberadaan Rindu, namun perlahan dia melihat ketulusannya di setiap perhatiannya.
Saat semua orang sudah tertidur di malam hari, Gavin terbangun dan melihat Rindu terjaga sendirian.
Tidak ada hal yang dia lakukan, Rindu hanya duduk menyentuh tangan Gavin dan mengusapnya pelan.
"Tuhan, apa benar aku memiliki hubungan dengannya?" batin lelaki itu.
Waktu berlalu, masih dengan rutinitasnya seperti biasa, Rindu bolak-balik ke rumah sakit membawa bekal yang beraneka rupa. Gavin mulai terbiasa dengan perhatian dan makanan buatan ibunya.
Tiba di rumah sakit, Rindu terkejut mendengar teriakan Gavin yang melenguh kesakitan. Luka-luka Gavin membengkak luar biasa. Lelaki itu meringis, memejamkan mata meredam rasa sakitnya. Sang mama dan Devon terlihat begitu prihatin.
"Ma, kaki Gavin Ma," keluh pemuda itu tidak tahan lagi.
"Mama akan panggilkan dokter, tenang ya sayang."
"Ach! Sakit."
Rindu tidak tahu harus bagaimana? Nagita menuju ke luar dan Rindu meletakkan barang-barangnya di atas nakas. Saat Gavin menjerit kesakitan. Gadis itu justru membawa tangan Gavin menyentuh pipinya.
Gavin yang tadinya menjerit spontan terdiam kebingungan melihat apa yang dilakukan Rindu.
"Gavin tenanglah, dokter akan datang dan memberikan obat." Rindu menyapu pelan keringat yang membasahi kening Gavin.
Pandangan mereka bertemu, kukit Rindu sangat halus dengan pipi tembem yang mungil. Gavin terkesiap karena menyetuh wajah gadis itu.
"Kau akan baik-baik saja, heem, percaya padaku."
Dokter datang memasuki ruangan. Rindu melepaskan tangan kekasihnya. Seolah tak rela jauh dari Rindu. Gavin berbalik mengenggamnya tangan gadis itu erat.
"Tetap di sini," pintanya.
Rindu terkesiap. Dia lalu mengangguk ringan dan mepet ke samping pemuda itu.
Nagita berdiri di samping dokter.
"Dokter, kaki dan tangannya membengkak, tolong lakukan sesuatu," ucap sang mama.
Dokter memeriksa lukanya dan mundur dengan tenang.
"Pembengkakan ini normal, Bu. Nanti akan reda sendiri, tidak perlu khawatir."
"Tapi, dokter. Rasanya sangat sakit," ucap Gavin menderita.
Genggaman tangan Gavin kian erat, dan Rindu spontan mengusap rambutnya. Perhatian kecil itu membuat Gavin sedikit salah tingkah.
"Sabar ya, nanti suster akan memberikan obat. Rasa sakitnya tidak akan hilang namun setidaknya akan menguranginya sedikit."
Dokter selesai, Suster memeriksa selang infus dan alat lainnya lalu keluar dari ruangan.
Gavin tak bisa menggerakan kakinya membuat lelaki itu sangat frustasi.
"Sampai kapan Gavin harus gini, Ma! Gavin nggak tahan lagi."
Rindu termangu ditempatnya.
"Sabar, Nak. Mama juga bingung, mama udah tanya dokter dan mereka akan memberikan obat."
"Bukan hanya rasa sakitnya yang menyiksa, Ma. Gavin nggak mau berbaring terus di atas tempat tidur."
"Gavin," ucap Rindu.
Pemuda itu kesal, dia melepaskan tangan Rindu karena kecewa.
Ceklek.
Pintu terbuka, Ardian baru saja kembali setelah menghilang beberapa hari. Melihat putranya cemberut dia pun bergabung dan berdiri di samping sang istri.
"Ada apa ini? Kok mukanya cemberut?"
Gavin menahan rasa sakit, yang luar biasa.
"Papa dari mana aja? Anak kita sakit tapi papa malah keluyuran," omel Nagita.
"Papa lagi bicara dengan salah satu temen di Singapura. Mereka sedang mengatur jadwal untuk pemeriksaan Gavin."
Rindu tersentak.
"Maksud papa apa?" tanya Nagita.
"Minggu depan, Gavin akan berangkat ke Singapura untuk melakukan rentetan pemeriksaan."
Nagita menatap putranya.
"K-kok mendadak om?" ucap Rindu memberanikan diri.
"Kami tidak memiliki pilihan, Gavin harus di tangani secepatnya agar dia bisa kembali berjalan normal."
"Iya, Pa. Gavin nggak mau terus-terusan berbaring seperti ini," timpal pemuda itu.
Gamang, Rindu dan hatinya bingung harus bagaimana. Di satu sisi dia tak ingin berpisah namun di sisi yang lain. Dia juga ingin melihat Gavin kembali seperti semula.
"Harap kamu mengerti dengan keputusan kami, Nak," ucap Ardian pada Rindu.
Gavin menoleh menatapnya, pemuda itu masih tak memiliki rasa atau mengingat kebersamaan mereka.
"Baik, Om. Saya paham kok. Semoga Gavin bisa segera sembuh."
Nagita mendekat, lalu memeluk Rindu.
"Kami melakukannya demi kebaikan Gavin. Terimakasih sudah mau memahami."
Rindu kehilangan senyumnya.
"Iya Tante, Rindu sangat mengerti.
Setelah membantu Gavin makan siang, Rindu pun pamit pulang.
Rindu menyusuri jalan yang berliku, dia sengaja tidak memesan taksi dan memilih berjalan santai.
"Jika Gavin pergi, bagaimana denganku? Apa dia akan melupakan aku, apa dia kan kembali?" Pertanyaan itu terus berputar di kepala Rindu.
"Nggak, aku nggak boleh egois. Benar kata orang tua Gavin, Gavin harus ditangani secepatnya."
**
Waktu berlalu seiring Rindu terus sabar menunggu kasihnya, keberangkatan Gavin pun semakin dekat. Luka itu sudah mendingan dan Gavin kini belajar menggunakan kursi roda.
Gavin tampak tidak puas dengan semua itu namun apa boleh buat dia tak bisa berjalan menggunakan tongkat untuk saat ini
"Bagaimana persiapannya?" tanya Nagita pada suami dan juga putra sulungnya.
"Udah ready kok, Ma. Papa juga udah pergi ke kepala sekolah Gavin untuk meminta izin."
Rindu mendengarkan semua itu di tempat duduknya.
Hari ini mereka akan menuju ke bandara Rindu dan yang lainnya akan mengantar Gavin sampai ke bandara.
"Maksudnya apa, Om bertemu dengan kepala sekolah kami. Kan sementara ini kami memang mendapatkan libur om. Jadi, tidak perlu meminta izin," ucap rindtu sopan
Ardian dan Nagita menoleh ke arahnya sungguh mereka sangat tidak nyaman menyampaikan berita itu.
"Rindu," ucap Devon. Lelaki itu membawa Rindu keluar.
Gavin menatap mereka dari belakang.
"Ada apa, Kak. Kenapa Rindu dibawa ke sini?" tanyanya heran.
"Kami meminta maaf, sungguh aku dan orang tuaku."
Kening Rindu mengeryit.
"Maksud kakak, apa?"
"Begini Rindu, untuk sementara waktu pendidikan Gavin akan dipindahkan ke Singapura."
Deg.
Rindu terkejut, napas gadis itu tersenggal di tenggorokan.
"Kakak nggak bercanda, kan ?" ucapnya.
"Tidak Rindu, ini adalah pilihan yang terbaik Gavin akan kelelahan jika harus bolak-balik antara Singapore dan Indonesia."
Tubuh rindu luruh sempoyongan. Beruntung ada Devon yang sigan menangkapnya.
"Maafkan kami, Rindu. Tapi ini semua demi kebaikan Gavin. Keluargaku sudah siapkan segalanya.
Tangis Rindu luruh di wajah cantiknya.
"Itu artinya aku akan berpisah dengannya, dia tidak mengingatku, tidak saling bertemu akan membuat semuanya semakin parah."
"Jangan pikirkan itu Rindu, jika ingatannya kembali dia pasti akan segera menemuimu."
Rindu menggeleng tidak yakin.
Devon membantunya duduk di kursi lalu duduk berjongkok di hadapannya.
"Aku janji akan selalu mengingatkannya tentangmu, kau memiliki nomor ponsel ku juga nomor ponsel Gavin. Kita akan selalu berkabar, sekarang kan sudah ada video call."
Rindu mengganggu pasrah teman-temannya sudah datang Erika Andra dan juga agatha mengetahui gavin akan berangkat ke singapura hari ini membuat mereka terkejut luar biasa
Hei kalian sudah datang kebetulan sekali ucapan devon
Agatha mendekat menyentuh tangan devon
Kak apa benar gak silahkan pindah sekolah
Dengan berat hati devon menyampaikan kenyataannya
Ya mau bagaimana lagi
Erika merasa kasihan pada rindu sahabatnya itu langsung duduk di samping rindu dan memeluknya
Rindu lo Nggak papa
Rindu berusaha tegar dia menyangka air matanya dan tersenyum
Nggak papa kok kalian gak usah mikirin aku
Gavin memainkan kursi rodanya sedetik kemudian rindu dan teman-temannya memasuki ruangan
Bro lu beneran akan pergi tanya sandra
Meski Gasing tidak mengingatnya pemuda itu mengangguk menghargai pertanyaannya
Hari ini lho lupa sama kita lupa sama hubungan kita persahabatan kita semoga di sana peringatan lu cepet pulih
Andra memeluknya menepuk pelan bahu gavin
Terima kasih
Agatha pun mendekat dia memberikan sebuah kado
Apa ini tanya gavin penasaran
Itu adalah kiriman dari anak-anak tahu satu kau sehat kau selalu mengunjungi adam jalanan di perempatan
Davin menoleh ke depan meminta kepastian kakaknya itu mengangguk ringan membuat graffiti tersenyum untuk pertama kali setelah dia kecelakaan
Sampaikan terima kasihku kepada mereka
Tentu hati-hatilah di sana ada niat pulang gak vin