Selesai makan siang bersama, Rindu pun pamit untuk segera pulang. Baginya tidak baik tinggal di sana berlama-lama apalagi Gavin hanya bersama para Artnya.
"Vin, aku pamit ya."
"Mau kemana? Baru juga selesai makan."
"Pulang, lagian kamu juga nggak kenapa-napa."
Rindu membawa tupperware milik mamanya masuk ke dalam tas bawaannya.l.
"Jangan pulang dulu dong, bentar lagi. Gua kesepian di sini. Nggak ada temen."
"Kalau kesepian, keluar sana jalan-jalan. Ajak Andra kek, siapa kek."
Gavin mendelik.
"Males gua, ngajak Andra otomatis ngajak Erika juga. Masa iya gua jadi kambing conge nyaksiin mereka pacaran."
Rindu tertawa, itulah yang dia rasakan kemarin di sekolah.
"Ya, makanya cari pacar, Vin." Rindu terkesiap dengan ucapannya sendiri.
"Lo bilang apa barusan?" Gavin menatapnya kecewa.
"Nyari pacar," ulang Rindu.
Gavin menatapnya lekat. Tatapan pemuda itu tajam membuat Rindu sedikit terganggu.
"Kan ada elu, ngapain gua nyari yang lain."
Deg.
Gavin meraih tangannya dan menuntun Rindu ke ruang tengah.
Gadis itu bimbang antara bahagia atau merana.
"Mau nonton apa? Berhenti ngusulin hal yang nggak guna atau gua cium lo."
Rindu terbelalak.
Gavin membawa beberapa kaset, semuanya tipe yang mungkin di sukai Rindu, melihat genre bacaannya, gadis itu hanya berputar di komedi romantis.
"Vin, aku nggak mau nonton. Aku mau pulang saja," pintanya.
Sikap Rindu tampak aneh.
"Kenapa? Lo takut sama gua, tumben."
"B-bukan gitu, Vin. Cuman coba kamu bayangkan kalau seseorang tahu aku di sini, di rumah kamu berduaan."
"Kita bareng Bibi, ada Mamang. Pikiran lo kemana-mana tahu nggak."
"Tapi kan, Vin. Tetap saja."
"Ya, bilang aja kita pacaran, beres kan."
"Gavin!"
Pemuda itu kesal melihat Rindu yang nekat untuk pulang.
"Ya udah gua antar." Gavin berdiri dengan malas.
"Nggak perlu, Vin. aku bisa sendiri."
Gavin terhenyak. Dia merasa serbah salah.
"Lo kenapa sih? Gua salah apa sampai lo nggak mau di anterin pulang."
"Lo punya gebetan iya?" cecarnya.
Rindu menggeleng lemah.
"Enggak, mama aku akan bilang apa jika yang nganterin adalah orang yang aku jenguk. Nggak masuk akal kan."
Alasan Rindu begitu tepat sehingga Gavin tak bisa apa-apa.
"Udah ya, entar yang ada makin sore. Aku pergi, jaga diri baik-baik. Ingat, besok jangan sampai nggak masuk sekolah lagi." Rindu berusaha tersenyum di depannya.
"Sok tua!"
Rindu tersenyum mendengarnya.
"Bye Gavin."
Gadis itu pergi, kebersamaan yang terjalin buyar seketika.
"Ach!" ucapnya geram.
Gavin memikirkan tentang persahabatan mereka. Pemuda itu telah menyampaikan perasaannya berulang kali meski di balut dengan candaan tapi Rindu tak pernah sekalipun meresponnya.
**
Waktu berlalu dan hari berganti. Ke esokan harinya, Gavin kembali ke sekolah sesuai janjinya pada Rindu.
"Hey, Bro. Kemarin kemana aja?" sapa Andra saat bertemu di parkiran.
"Gua nggak enak mood, wkwkwk."
"Deh ilah, pake nggak enak mood segala. Laguan lu,"
"Suka-suka dong. Kemarin nggak ada kehebohan kan?" ucap Gavin mencari tahu.
"Nggak ada sih, cuman lu yang nggak masuk, sampai Rindu di tanyain sama satu kelas."
Gavin cengengesan.
"Lah kalian kenapa tanya dia. Gua kan nggak satu komplek sama tuh anak."
"Rindu juga bilang gitu," ucap Andra membuat Gavin kecewa.
"Eh, gara-gara lo juga, Zean dan Gengnya pakai cegat Rindu demi nanyain lo dimana."
Gavin terkesiap.
"Terus?"
"Ya, untung aja dia bisa kabur. secara gua dan Erika udah di kantin duluan."
Gavin kini mengerti kenapa Rindu begitu kesal. Jika dia nggak datang ke sekolah.
"Lo kalau sakit atau nggak enak mood kabarin kita aja, jadi pas guru nanya kita bisa jawab." Gavin mengangguki ucapan sahabatnya itu.
"Oke, sob."
Mereka berjalan bersisian menuju ke kelas, di sana Rindu dan Erika saling berbincang.
Pandagan Gavin dan Rindu saling bertemu, mereka terlihat sangat canggung satu sama lain. Andra dan Gavin pun segera datang, lalu bergabung seperti biasanya.
"Eh, Gavin. Kemarin lo kemana sampai nggak masuk?" tanya Erika mewakili teman-temannya.
"Gua telat bangun, jadi gua ketiduran karena abang gua baru aja berangkat ke Singapore. Gua begadang, terus kebablasan. Mau nekat ke sekolah yang ada gua di hukum berdiri di tengah lapang, jadilah gua mendekam di kamar seharian."
"Wah, sueg lo!"
Mendengar alasan Gavin Rindu pun merasa bersalah.
"Enak banget dia bisa bolos sesuka hati, nah gua. Yang ada di ceramahin panjang lebar," seru teman sekelasnya.
"Sama aja," sahut Gavin menyimpan tasnya di atas meja dengan santai.
"Bukannya lo tinggal sendiri?" tebak Andra.
"Iya, tapi gua bangun karena di siram air se gelas dan hampir di hajar pakai raket listrik."
"Waduh, sadis parah!"
Rindu melotot mendengarnya.
"Berani banget Art lo ngelakuin itu."
Gavin tersenyum konyol melihat wajah Rindu yang dongkol.
"Mau gimana lagi, untung sayang. Kalau nggak heh, nggak tahu tu orang gua apain."
Rindu terkesiap, dia akan protes tapi bel keburu berbunyi.
Ting ting ting ting.
Semua murid kembali duduk di kursinya, Rindu menoleh ke Gavin, tetapi pemuda itu mengabaikannya.
"Awas kamu ya!"
Bu Hafzah memasuki kelas, melihat Gavin sudah kembali membuatnya tersenyum.
"Gavin, nanti jam istrahat ke ruang guru bentar, Ibu mau bicara," ucap sang wali kelas.
"Baik, Bu."
"Dan untuk semuanya, kita kedatangan murid baru pindahan dari kota Makassar. Namanya Agatha. Agatha silahkan masuk." Bu Hafzah mempersilahkan.
Satu kelas mendadak heboh melihat murid baru yang bergabung dengan kelas mereka.
"Selamat pagi semuanya, saya Agatha Christie, salam kenal."
"Hay, Agatha salam kenal juga."
Agatha gadis yang manis, kulitnya putih dan rambutnya panjang. Dia telihat sangat lembut, berbeda dengan gadis lainnya yang muda bersosialisasi. Ada rasa minder di hati Rindu saat melihat gadis itu.
"Baiklah, anak-anak. Semoga kalian bisa berbaik hati dengan teman baru kalian ya," ucap Bu Hafzah lembut.
"Pasti, Bu." Para siswa berebut untuk duduk bersama dengan Agatha.
"Duduk di sini aja bareng gua, nih temen gua, gua lempar ke belakang."
Agatha tersenyum.
"Suwe lu, masa iya lu mau lempar gua, lu tu yang pergi biar Agatha duduk di samping gua."
"Hush! Anak-anak kalian diam. Jangan berisik!"
Agatha masih kesulitan mencari tempat, tidak ada bangku yang kosong di bagian depan. Gavin pun menunjukkan tempat tepat di belakangnya.
"Nih bangku kosong, nggak ada penghuninya. Tapi, itu. Lo nya sendirian."
Andra dan Erika menoleh. Agatha tersenyum dan segera mendekati Gavin.
"Hay, gue Agatha. Terimakasih atas tempatnya."
Gavin mengangguk pelan. Rindu merasa sedikit risih, sebelumnya Gavin selalu cuek dengan orang sekitar. Tapi, berbeda dengan anak baru itu. Gavin memberinya pengecualian.
"Oke anak-anak, silahkan di buka bukunya."
Serentak semua murid membuka pelajaran yang di sebutkan bu Hafzah. Hanya Agatha yang tampak celingak-celinguk karena belum menyiapkan apa-apa.
"Anak-anak, bisa pinjamkan buku pelajaran kalian pada Agatha, yang punya teman sebangku. Kalian kongsi dulu ya."
Seketika para siswa heboh.
"Saya aja, Bu. Saya bisa pindah dan belajar bareng sama Agatha."
Andra sampai-sampai menoleh untuk melihat wajah cantik anak baru itu. Erika merasa cemburu melihatnya.
Gavin melihat ekspresi Rindu, tangannya di tekuk seolah menahan sesuatu.
"Nggak perlu berebut, biar Agatha aja yang bergabung dengan Rindu dan Gavin."
"Ha!" Baik Rindu dan Gavin sama-sama terkejut.
"Kenapa, ada apa Rindu?"
Rindu tertegun, dia merasa sedikit panik.
"Enggak, Bu."
Gavin yang melihatnya, menyapu pundak Rindu dengan pelan.
"Agatha silahkan pindah ke depan," ucap Bu Hafzah.
"Baik, Bu."
Gadis cantik itu beranjak. Dia berdiri dan akan segera duduk di dekat Rindu.
"Em, Bu. sepertinya akan sempit bagi kami untuk duduk bersama. Agatha di belakang aja, dia bisa minjem buku kami untuk sementara," usul Gavin lalu menyerahkan buku Rindu.
"Boleh, terserah kalian saja bagaimana mengaturnya."
Agatha terperangah sesaat melihat Gavin menyerahkan buku rekan sebangkunya.
"Vin, itu kan buku aku. Kenapa nggak nyerahi buku kamu aja?" protes Rindu.
"Lo mau dia makai buku gua?" Kalau dia makai buku gua mending gua juga pindah bangku. Makanya gua bagi buku lu, agar lo nebeng ke gua."
"Dasar jelek!" umpat Rindu kesal.
"Ach, sakit Ndu."
Senyum Gavin mencuri perhatian Agatha si anak baru. Hanya pemuda itu yang tidak mencoba untuk meliriknya.