Tiba di Mall. Gavin dan Rindu duduk di stand kedai ice cream. Mereka membeli ice krim sambil menunggu kedatangan Erika dan Andra. Keduanya telah akur, seolah melupakan kejadian sebelumnya.
"Wajah ibu lo sepertinya tidak asing, entah gua pernah melihatnya dimana," ucap Gavin memulai pembicaraan.
"Mama memang cantik, setiap yang melihatnya akan mengatakan hal demikian. Mereka juga sering berkunjung mencari cara agar bisa menyapa mama lagi. Hal itu, bukan hal yang baru."
Gavin melotot.
"Wow, nyokab lo lebih banyak memiliki penggemar ketimbang lo, Ndu."
Rindu mengerutkan alis tanda tak terima.
"Nggak juga, mereka rata-rata datang nanyain aku sekolah dimana?"
"What the hell!" Gavin terkekeh menertawakan ucapan gadis itu.
"Ish, maksudnya apa ketawa ngakak gitu! Kamu nggak percaya?"
Ice crim cokelat belepotan di bibir Rindu.
"Percayalah, ntar kalau gua bilang nggak. Lo malah pulang lagi."
"Ish, nyebelin banget sih."
Gavin mengeluarkan sapu tangan, lalu memberikannya kepada sahabatnya.
Rindu memandang Gavin dengan perasaan tanya.
"Apaan nih?" tanya nya.
"Buat bersihin mulut lo, cemong tuh. Makanya kalau makan ice crim, hati-hati. Isinya di nikmati, jangan dijadiin lipstik."
Rindu menyentuh bibirnya, benar saja. Noda ice crim banyak belepotan di mulutnya.
"Ih nyebelin banget sih."
Gavin tidak mengerti kenapa rindu begitu marah.
"Kan gua ingetin, kok malah bete?"
"Tahu, ah! Ngeselin tau nggak!"
Rindu meraih sapu tangan itu pada akhirnya, dia membersihkan mulutnya dengan hati-hati. Gavin hanya bisa menggeleng melihat suasana hati sahabatnya yang terlihat dongkol.
"Hay, sorry kita telat. Habis macet sih di jalan." Erika dan Andra menghampiri.
"Wih, asyik nih. Udah jajan aja."
Rindu menatap cemberut.
"Yuk ah, masuk. Bareng Gavin terus, yang ada tensi aku makin naik."
"Haha hahaha!" Andra tertawa terbahak-bahak.
"Diem lo, udah telat berani nertawain pula!"
"Sorry deh, Vin. Gue beneran terjebak macet sumpah."
"Iye gua maafin."
"Wee, ciwi-ciwi. Kalian mau nonton apa?" tanya Gavin sebelum tiba di bioskop.
"Film romance!"
"Horor!" Rindu dan Erika memiliki selera yang berbeda.
"Yang bener yang mana, wei?"
Seketika Rindu memilih mundur.
"Ya udah, horor aja nggak apa-apa."
Rindu mengalah, dia tak mau membuat mood yang lain berantakan hanya karena dia.
"Gini-gini, gimana kalau kita nonton dua-duanya aja?" Andra menengahi.
Rindu yang mendengar itu merasa tidak enak. Apalagi gavin telah mengeluarkan uang yang banyak untuk membelikan ibunya kue tart.
"Nggak deh, horor aja. Lagian aku juga belum pernah nonton film horor sebelumnya. Sepertinya bakal seru."
Rindu enggan berkeras, dia membaur dengan baik.
"Ya udah caow pesan tiketnya." Erika menggandeng tangan Rindu berjalan lebih dulu untuk memilih tontonan apa yang akan di pilih. Baru melihat posternya aja, gadis itu merasa gemetar.
"Ini kan kali pertama lo nonton horor, kita pilih yang ringan aja, ya," ucap Erika perhatian.
"Nggak masalah, jangan pikirin aku."
Beberapa pengunjung berkumpul memandangi sebuah poster, katanya film itu baru saja rilis. Temanya film Indonesia yang menceritakan seorang mahasiswa melakukan perjalanan ke sebuah desa.
"Wah, sepertinya itu yang lagi booming, lain kali aja kita nontonnya," tunjuk Erika.
Rindu menoleh, melihat Andra dan juga Erika memandang takjub pada poster yang sama.
"Kita nonton ini aja," ucap Rindu nekat.
"Lo yakin, serem banget loh."
Rindu mengangguk asal.
"Yakin dong, sepertinya sih biasa aja. Cuman anak kkn kan?"
"Jangan deh, pilih yang lain," ucap Andra memikirkan gadis itu.
Rindu menggeleng.
"Nggak, pilih yang ini."
Gavin menarik Rindu ke sisinya.
"Janji nggak nyesel ya?"
Pandangan mereka bertubrukan.
"Apaan sih? Emang aku anak kecil!"
"Ya udah tunggu di sini." Gavin segera membeli tiket. Lelaki itu juga membeli popcorn dan minuman.
Andra menatap Erika sesaat lalu menghampiri langkah Gavin. Mereka meninggalkan dua gadis itu untuk mengobrol.
"Yang gue tahu sih ya, nih filemnya serem banget. Lo mesti kuat mental," Erika kembali mengingatkan.
"Apaan sih, posternya aja biasa gitu, udah ah. Yuk masuk."
Rindu menggandeng Erika dan menyusul Gavin dan Andra.
"Udah beli tiketnya?"
Gavin mengangguk dan menyerahkan minuman untuk Rindu.
"Udah mau mulai, yuk masuk."
Rindu menarik napas panjang lalu mengeluarkannya.
Tiba di dalam.
Andra dan Erika berada jauh di kursi depan, sedang Gavin memilih di tengah-tengah bersama Rindu.
"Eh kok mencar sih? Bukannya deketan."
"Hush," Gavin telah menemukan kursinya.
"Mereka pasangan kekasih, masa iya lu mau gangguin mereka?"
"Maksudnya!"
Gavin tidak menjelaskan lebih jauh. Pemuda itu menarik Rindu dan duduk di sampingnya.
"Nanti juga akan tahu."
Lampu seketika padam. Layar besar di hadapannya mulai memutarkan filem.
Rindu menatap ke sekitar. Pengunjung begitu ramai membuat ruangan itu sedikit sesak.
Rindu menatap takjub ke arah depan, tak ada yang salah dengan adegan pertama.
"Tengil ya," seru Rindu berkomentar.
Beberapa pengunjung mulai saling berpegangan, Rindu menatap aneh. Melihat hal itu adalah sesuatu yang berlebihan.
"Mereka ngapain?"
"Hush, perhatikan saja filmnya." Suasana mulai mencekam, Rindu mulai gemetar dan menutup mata secara perlahan. Bukannya melihat filmnya, Gavin malah tertarik dengan reaksi gadis itu.
Suara menyeramkan erdengar dari film yang berputar. Serempak penonton berseru dengan suara yang berbeda-beda.
"Wah,"
"Huh."
"Hey lihat itu."
Rindu konsisten menutup matanya. Dia membayangkan hal-hal yang mengerikan terjadi di depan sana. Karena gemas, Gavin mendekat tepat di samping wajah gadis itu.
"Hey, Rindu Sanjana," bisiknya.
Rindu membuka mata lalu menoleh.
"Waah!" teriaknya kencang. Popcorn di tangan Rindu berhamburan karena terkejut. Gavin melongo melihat apa yang terjadi.
"Woi berisik!" tegur yang lain.
"Apa-apaan sih, baru juga gitu udah teriak aja."
Rindu terperangah. Jantungnya berdebar tidak karuan. Gavin segera menariknya membawa Rindu dalam pelukan.
"Kamu ngerjain aku ya!" ucap Rindu kesal.
Gavin tersenyum, Rindu mendongak dan wajah mereka begitu dekat. Mereka saling terpanah melihat sorot mata masing-masing. Gavin tak pernah merasakan jantungnya berdegup tidak karuan.
"Ayo pergi!"
"Hah?"
Gavin bangkit dan menarik gadis itu keluar. Rindu sesekali menoleh melihat Erika dan filmnya. Suasana yang menegangkan itu membuat Rindu berjalan lebih cepat keluar dari bioskop.
Gadis itu melepaskan genggaman Gavin.
"Ih ngeselin!" Rindu memukul d**a pemuda itu gemas.
"Wow, wow. Lu kenapa?"
"Semua ini gara-gara kamu, segaja kan nakutin aku. Udah tahu suasananya serem pakai bisik-bisik segala," cerocosnya panjang lebar.
Gavin tertawa.
"Lo lucu banget, Ndu."
"Hah, puas."
Gavin meraih tangannya, namun Rindu menghentaknya sekali lagi.
"Jangan ngambek terus dong. Gua memang sengaja narik lo keluar."
"Maksudnya? Kamu nggak mau aku nonton gitu!"
Rindu di tarik dan di bawah ke tempat yang berbeda. Serial Drakor Snowdrop menjadi pilihan Gavin untuk tontonan selanjutnya. Gadis itu terpanah, dia tak menyangka Gavin menyiapkan tiket yang lain. Mereka mencari kursinya dan duduk dengan nyaman.
"Kau?"
Gavin mengangguk.
"Andra udah tahu, nanti kita bertemu di resto untuk makan-makan. Gua ngajak lo nonton, sebenarnya khusus untuk berdua, bukan ramai-ramai." Rindu terperangah.
"Lalu?"
"Hush, kita kesini untuk nonton kan?" Gavin menatap ke depan memperhatikan adegan demi adegan. Netra Rindu mulai berkaca-kaca, dia terhanyut dalam jalan ceritanya.
"Gentle banget Suho, selalu melindungi Yeong Ro di saat yang tepat," ucap Rindu pelan.
"Sama seperti gua ke elu kan."
Deg.
Rindu menoleh sesaat. Gavin memang ahlinya kalau soal bercanda.
Mengikuti filemnya sampai habis, Rindu nyesek karena pengakuan cintanya berada di akhir. Dan pengorbanan lelaki itu sampai tak terduga." Rindu menangis, beberapa penonton pun demikian. Akhir tragis dari drama itu membuat Rindu patah hati.
"Eh kok nangis?" Gavin mulai panik.
Rindu memeluknya erat. Gadis itu menenangkan hatinya di sana.
Beberapa pasangan melakukan hal yang sama. Gavin tak pernah melihat hal yang seperti itu sebelumnya.
"Rindu."
"Cinta mereka nggak bersatu, Vin. Lihat bagaimana ceweknya hidup dalam bayangan masa lalu."
Gavin memutar bola mata, entah kenapa kau cewe selalu cengeng.
"Dia mati tapi hidup di hati cewenya. Hal ini bukannya happy ending. Ada banyak kenangan yang mereka miliki."
Rindu menyeka airmatanya, hidung gadis itu memerah dan terlihat lucu.
"Ish, dasar nggak peka, nggak punya hati. Nyebelin, ngeselin!"
Rindu menyeka airmatanya dan berdiri pergi.
"Eh kok gua di tinggal."
Rindu menuju ke toilet, dia menatap dirinya dalam pantulan cermin. Nyesek banget karena nonton drama itu.
Beberapa pengunjung masuk ke toilet, mereka mengobrol seolah tak ada yang mendengarkan.
"Itulah pentingnya menyatakan perasaan dan menikmati waktu sebanyak mungkin. Kita nggak tahu setiap ending dalam hubungan berakhir seperti apa."
Rindu tertunduk. Dia segera keluar dan mendapati Gavin merentangkan tangan.
"Kamu ngapain?" tanyanya bingung.
"Mau meluk lo, gua tu peka, Ndu. Lo aja nggak nyadar."
"Peka kok, di omongin. Cowok aneh."
"What."
Erika dan Andra keluar. Wajah mereka terlihat tegang berbeda dengan Rindu yang melow.
"Akhirnya kamu keluar, aku butuh pundak."
Erika terkekeh melihat Rindu.
"Eh, kok nangis. Emang filemnya buat terharu sih."
Erika menyambut gadis itu.
"Kita nonton film yang lain. Nyeseknya apa lagi nonton sama batu."
Gavin kehilangan kata, ekspresinya tak tergambarkan membuat Andra berusaha menahan tawa.
"Ndu, nggak boleh ngomong gitu. Ya udah yuk keluar cari makan. Lo pasti leper habis nangis."
Mereka berjalan dan Gavin di abaikan begitu saja.
Andra menatapnya iba.
"Lu gimana sih, jadi cowo inisiatif dong. Lihat dia sedih di hibur. Lo pasti ngatain kan, gua tebak."
Gavin menatap Andra tenang.
"Perasaan gua nggak ngatain, gua cuman membicarakan fakta soal filemnya."
Andra tepok jidat.
"Nah itu, biarkan saja mereka mengasumsikan bagaimana. Lu cowo jangan banyak bicara atau doi makin kesel. Duh, kentara banget jomblo."
Gavin menatapnya kesal.
"Awas lo, Ndra!"