Keusilan Gavin berhenti saat melihat Rindu menangis. Gadis itu gemetar, dia tahu Gavin tidak akan mudah menyerah untuk percaya ucapannya.
"Rindu, kok nangis."
Rindu hanya diam, perlahan Gavin membawanya ketepian.
"Hey, ada apa? Devon menghampiri mereka.
"Ini, Bang. Rindu bilang nggak bisa berenang. Terus aku godain bawa dia ke tengah."
Devon menatap Gavin kecewa.
"Kenapa kau lakukan itu, Vin!"
Zeana sekali lagi berdecak. Rindu kembali menuai perhatian semua orang.
"Nggak apa-apa, Kak. Mungkin Gavin ngiranya aku bercanda." Melihat Rindu menggigil, Devon segera membuka jaketnya dan memakaikannya ke gadis itu.
Gavin dan Zeana tertegun melihat perhatiannya.
"Pakai ini, untuk sementara. Sebaiknya kita berteduh dulu. Dan, kau Gavin. Gendong dia ke rumah tadi."
Rindu gelagapan, dia menolak dan ingin jalan sendiri.
"Aku nggak mau, Kak. Aku bisa sendiri."
Devon menatap Gavin tegas, adiknya itu segera melaksanakan perintah dan berjalan ke gazebo sembari menggendong Rindu.
Tatapan keduanya bertemu. Rindu mengalihkan pandangannya tak ingin melihat wajah Gavin yang basah.
Di sampingnya.
Zean melipat tangan ke d**a. Dia menatap Devon tak percaya.
Setelah memastikan Gavin dan Rindu pergi, Zeana menahan langkah kekasihnya yang akan menyusul mereka.
"Kamu ngapain sih? Aku perhatikan dari tadi ngurusinnya mereka mulu. Kamu niat ajak aku liburan atau gimana?"
Devon terkesiap.
"Bukan gitu, Zean! Dia kedinginan masa kamu nggak lihat."
"Lihat! Sekalian lihat kamu yang penuh perhatian sama si Rindu itu."
Watak asli Zeana kembali terlihat.
Devon hanya tersenyum.
"Duh, cemburu ya?" godanya.
Zeana semakin kesal mendengar ucapan Devon.
"Tadi tuh, aku mau minta jaket kamu tapi nggak tega, takut kamu yang akan kedinginan."
"What!"
Zeana sampai melotot mendengarnya.
"Udah, jangan marah-marah terus dong. Lusa kan kita udah nggak sama." Devon terus merayu.
Zean akhirnya luluh dan ikut kembali ke Gazebo.
**
Tiba di tempat itu.
Rindu masih menggigil, jaketnya terganti dengan pakaian Gavin. Pemuda itu membawa baju ganti, dan menyerahkannya pada gadis itu. Pemandangan yang tersaji membuat Zeana naik darah.
"Bang, bawa handuk nggak?" Gavin menatap Devon lekat.
Rindu mendongak, tak sengaja menatap Zeana yang juga menatapnya. Raut wajah kakak kelasnya itu terlihat marah.
"Ehm, nggak perlu, Vin. Aku baik-baik saja, kok," Rindu tak enak melihat tatapan Zeana.
"Nggak apa-apa, kamu begini gara-gara kecerobohan aku."
Gavin merangkulnya dan menatap Devon sekali lagi.
"Bawa! Kebetulan, tadi nggak tahu kenapa, aku masukin ke tas. Tunggu bentar ya."
Biji mata Zeana hampir keluar dari kelopaknya. Devon benar-benar mengeluarkan handuk untuknya.
"Terimakasih, Bang." Gavin mengeringkan rambut Rindu dengan lembut. Lelaki itu sengaja memanas-manasi Zeana. Agar abangnya tahu jika gadis itu belum berubah.
"Udah siang nih, setelah dari sini, Abang mau jalan kemana lagi?" Gavin mengeluarkan minuman dan membaginya ke Rindu.
Gavin berusaha mengalihkan fokus Devon agar Zeana terabaikan. Wajah kecut wanita itu membuat Gavin bersorak di dalam hati.
"Ze, ditanya Gavin. Lepas dari sini, mau kemana lagi?" tanya Devon.
Zeana menatap kecut.
Meski dia bicara belum tentu Devon dan Gavin mendengarnya.
"Aku sih terserah Zeana saja, mau kemanapun nggak masalah."
Hatcih!
Rindu bersin dan langsung di bekap Gavin dengan handuk.
"Vin! Kamu mau bunuh aku ya!"
Devon lagi-lagi tertawa melihat tingkah mereka.
Hatcih!
Kali ini Gavin menatap serius.
"Kamu nggak apa-apa kan? Apa kita pulang aja."
Rindu lebih bersyukur jika Gavin berpikir untuk membawanya pulang.
"Vin, Hatcih!"
Zeana tersenyum mengejek.
"Bang, kayaknya kami ikut liburannya sampai sini aja, deh. Kasihan Rindu. Besin mulu."
Devon melihat kondisi gadis itu, saat akan menyetujui keinginan Gavin. Zeana malah angkat bicara.
"Lah, kita baru sampai loh. Nggak asyik kan, kalau langsung cabut. Aku juga udah bawa makanan banyak banget. Belum jam berapa, duduk aja sih, nanti juga flunya reda."
Rindu menoleh ke Gavin dan sahabatnya itu mengusap kepalanya perhatian.
Devon merasa serbah salah. Gavin berdecih setidaknya dia melihat ketidak sukaan Gavin saat Zeana berkata demikian.
"Ya udah, kita makan siang aja dulu," ucap Devon mengalihkan suasana. Gavin teringat ponsel dan kamera Rindu Dia pun pamit untuk mengambilnya.
"Tunggu bentar ya, Ndu. Aku ambil barang kita dulu."
Gavin segera pergi dari sana. Zeana membuka bekal dan Devon membagikan piring.
"Ini ayam kecap menteg buatan si bibi, enak banget. Ini tuh favorit parah."
"Ini ikan bakar, cuman mungkin udah dingin. Ada saos, lalapan, nasi, kerupuk."
"Lengkap banget, emang sengaja request ya?" tanya Devon.
"Iya dong, namanya liburan kan mestinya ada persiapan."
Rindu merasa tersentil. Ya, dia tidak membawa apapun sebagai bekal.
"Rindu mau makan apa?" tanya Gavin meminta piringnya.
Gadis itu tertegun, dia masih bingung apalagi tatapan Zeana yang seolah ingin menerkamnya memperhatikan dari tadi.
"Nanti aja, Kak. Bareng Gavin."
Zeana memutar bola matanya, jengah mendengar suara Rindu yang sok sopan.
"Baiklah,"
Gavin akhirnya datang. Hal yang menakjubkan di lakukan pemuda itu adalah membawa sate.
"Taraa, lihat apa yang aku temukan di ujung sana!" ucapnya seolah baru saja mendapatkan harta karun.
"Apa, emang?" Semua orang menatapnya terutama Rindu.
"Taraaa, minta nasi hanget dong, Bang."
Devon segera menyendokkan nasi, lalu membaginya ke Rindu dan Gavin.
Sate baby gurita dan cumi di lengkapi saus kecap yang berlimpah membuat Rindu menatap takjub.
"Vin, beli dimana?" ucap gadis itu antusias.
"Tuh, disana. Aku belinya dua kantong doang, takut makanan yang lain bakalan mubasir."
Rindu dengan antengnya meraih baby guritanya.
"Em, enak banget. Tambah saos kayaknya enak."
Gavin segera melayaninya, makanan yang di bawah Zean oun terabaikan.
"Cobain deh, Bang."
Gavin menyerahkan satu porsi lagi pada Devon. Abangnya itu menerima dengan senang hati lalu menawarkannya dengan Zean.
"Aku alergi seafood, kamu lupa?"
Devon tertegun.
"Eh sorry, ya udah kamu makannya ini aja."
Zeana dongkol, hanya Devon yang melirik bekalnya. Gavin dan Rindu hanya mengambil nasi dan asik dengan sate mereka.
"Mulut kamu hitam, Ndu," goda Gavin di sela waktu makan.
Devon tertawa mendengarnya.
"Uuuh Gavin! Emang kamu nggak! Namanya makan cumi dan gurita ya itemlah!"
Devon tertawa terbahak-bahak melihat Rindu menyemprot adiknya.
"Ya siapa tahu lo malu, mau di bersihin dulu.
Rindu menatapnya tajam.
"Ngapain malu, kan nggak mungkin nih tinta cumi berubah warna putih. Aneh-aneh aja deh."
Devon yang mendengar itu, menoleh melihat Zeana. Kekasihnya makan dengan pelan, dia memiliki standarnya sendiri san tidak suka urak-urakan.
"Kita harus balik lain kali ke sini, Ndu. Jajanannya enak, tapi kita mesti bawa nasi dulu."
"Emang yang jual sate nggak jual nasi?" tanya Rindu serius.
"Jual,"
"Terus?"
"Ya, supaya kamu buatin bekal aja. Buat kesayangan."
"Idih ogah!"
Zeana benar-benar muak.