Rindu sangat senang, melihat struck p********n sudah di lunasi oleh Gavin. Dia bukan gadis yang matre, namun jika di tawari dengan senang hati dia akan menerima. Rindu menenteng paper bagnya dengan senyum mengembang. Perjalan pulang terasa menyenangkan, Rindu menghabiskan waktu untuk membaca salah satu komik koleksinya.
"Ehm," Gavin berdehem berharap mendapatkan perhatian gadis itu.
Namun, sayangnya Rindu sangat fokus, dia sesekali tersenyum dan cekikikan sendiri.
Hingga tanpa dia sadari. Mobil Gavin telah tiba di depan rumahnya.
"Enak ya, punya buku baru aku malah di cuekin."
"Apaan sih, fokus aja nyetirnya agar kita nggak ketabrak."
Gavin terbelalak mendengar ucapannya.
"Udah nyampe tuan putri, mau aku bawa pulang ke rumah aku?"
Rindu mendongak, dia melihat ke sekeliling dan tersenyum konyol.
"Eh iya, udah sampai. Ya udah, thank you ya, Vin,"
"Gitu doang?" ucap pemuda itu tak rela.
"Terus, mau apa lagi kan udah sampai."
Gavin menghelas napas panjang.
"Kamu kenapa sih? Aneh banget."
"Enggak, lupain aja," ucapnya mengacak rambut Rindu.
"Ih, awas ya berani sekali lagi. Rambutku tu jadi kusut kayak mommy Singa kalau lagi marah."
Gavin tertawa terbahak-bahak.
"Emang pernah lihat momy singa lagi marah-marah?"
Rindu mengangguk mantap.
"Oh ya, dimana?" tangannya.
"Di komik lah," ucapnya mantap.
Gavin terlihat bodoh karena menanyakannya.
"Dasar konyol!"
Gadis itu tertawa lalu keluar dari mobil. Dengan sedikit kuwalahan melambaikan tangan pada Gavin.
"Bye!"
"Bye."
"Sampai jumpa di sekolah." Gavin terhentak. Dia tak membalasnya dan memilih pergi dari sana.
Kepergian Devon membuat Gavin merasa kesal. Dia merasa kehilangan semangat dan enggan pulang ke rumah.
Bayangan kesepian yang hanya di temani oleh bibi membuatnya terpaku.
"Ngapain gua pulang cepet, mending nyari tempat nongkrong."
Setengah jam berlalu.
Mama dan papanya menghubungi lewat vc. Gavin berada di taman saat panggilan itu masuk ke ponselnya.
Klik. Panggilan di angkat.
[Hay, Vin. Apa kabar sayang?]
Wajah Gavin tampak sedih. Di seberang sana, mama dan papanya terlihat bahagia menunggu kedatangan putra mereka.
[Mama mau denger kabar apa?] ucapnya jutek.
[Eh, kok mukanya kok kayak gitu. Mama denger kamu udah punya pacar ya? Kok nggak kenalin ke mama.]
Gavin mengerutkan kening.
Rupanya Devon telah bercerita banyak tentang kehidupan sang adik.
[Nggak ada, jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan. Gavin tahu mama nelpon hanya untuk memastikan apa anak kesayangan Mama beneran berangkat atau tidak. Iya kan?]
Kedua orangtuanya tersenyum. Gavin tidak berubah masih suka jealous.
[Mama dan papa menelpon untuk memastikan apa kamu baik-baik saja. Mama akan pulang jika memiliki kesempatan.]
Gavin berdecak. Kedua orangtuanya selalu sibuk dan dia hanya di titipkan pada bibi. Dengan keberangkatan Devon menyusul ke Singapore. Gavin tidak yakin orangtuanya akan memikirkan nasibnya.
[Ya udah deh, Ma. Bentar lagi bang Devon akan mendarat. Mama sama papa pasti di bandara kan?]
[Iya, tapi kan]
[See u, Ma.]
Panggilan terputus, lebih tepatnya di putuskan oleh Gavin.
Dia duduk termenung menikmati matahari terbenam. Entah kenapa hatinya tak ingin beranjak. Apalagi suasana taman begitu sepi. Gavin seolah mendapatkan tempatnya sendiri. Bebas mengeluarkan uneg-unegnya.
"Harusnya kau menungguku, Bang? Apa sesulit itu untuk bersabar dua tahun lagi." Gavin benar-benar kecewa.
"Kau pergi begitu saja, apa kau merasa senang. Aaacchhh!" teriaknya.
Lelaki itu meninggalkan taman saat malam mulai larut.
Tring. Notif pesan membuyarkan keheningan.
Pesan masuk datang dari Devon.
[Vin, Abang sudah sampai. Jangan berkeliaran di luar. Cepat pulang.]
Dia menangis, foto Devon bersama kedua orangtuanya terpampang di layar.
Gavin mengabaikannya. Dia tidak membalas pesan itu. Baginya untuk apa peduli toh dirinya sudah tidak di awasi lagi.
Ting.
Satu pesan masuk datang dari orang yang sama.
[Bibi nyariin, khawatir. Kamu dimana? Jangan pulang terlalu larut.]
Gavin menghela napas, mau tidak mau dia harus kembali ke rumah.
Tepat pukul 22:30 wib.
Mobil Gavin terparkir di halaman. Bibi yang menunggunya sedari tadi segera menghampiri untuk membukakan pintu.
"Den, makan dulu ya. Bibi udah siapin makanan kesukaan den Gavin."
Pemuda itu tidak bicara, dia hanya menatapnya lelah.
Gavin berjalan dan langsung naik ke kamar, dia mogok bicara dan mendiamkan semua orang.
"Kenapa, Bi?" tanya si mamang setelah menutup pagar.
"Sepertinya masih ngambek, semoga besok pagi udah lebih baik."
"Semoga saja, kalau den Gavin marah tu nyeremin."
Para ART pun istrahat dengan tenang setelah memastikan tuan muda kembali ke rumah.
**
Ke esokan harinya, Gavin bangun terlambat. Bibi sudah berdiri di depan pintu menggedor kamarnya kuat tapi dia tak peduli.
Dor dor dor!
"Den, den Gavin nggak sekolah? Udah jam 7 loh."
Lelaki itu menarik selimut, hari ini berpikir untuk tidak kemana-mana.
"Den!"
Ponselnya ikut berdering. Devon menelpon untuk membujuknya bangun.
"Den, buka pintunya!" Gavin menutup telinganya dengan bantal.
Notif pesan masuk secara bersamaan.
Gavin tahu Devon tengah panik sekarang.
"Den!"
Ceklek
Pintu terbuka dan Gavin belum juga bersiap.
"Ada apa sih, Bi? Berisik banget tau nggak!" ucapnya kesal. Si bibi terperangah.
"Loh, den Gavin kenapa belum bersiap? Hari ini kan harus masuk sekolah."
Pemuda itu menatap jam tangannya.
"Bibi cerewet banget, aku memang nggak niat masuk hari ini."
Wanita paruh baya itu terkejut.
"Tapi kan, Den?"
"Udah sih, Bi. Stop! Walau aku nggak masuk seminggu juga bang Devon nggak mungkin datang kan. Jangan buat moodku makin kacau."
Brak!
Pintu di tutup kasar.
Gavin menonaktifkan ponselnya.
Si bibi shock, bagaimana tidak. Anak asuhnya itu tak pernah berbicara kasar sebelumnya.
Telepon di lantai bawah tak hentinya berdering, Devon merasa khawatir. Dia terus menghubungi rumah memastikan keadaan adiknya.
Si Bibi berjalan terburu-buru untuk mengankat panggilan itu.
[Hallo, Bi?] ucapnya bersemangat saat bibi mengankat panggilannya.
[Ha-hallo, Den.] Bibi tampak gugup takut mendapatkan omelan.
[Bi, kenapa ponsel Gavin nggak aktif ya, apa dia masih tidur?]
Keringat dingin membasahi kening.
[Bu-bukan, Den.]
[Lalu?]
Si bibi sedikit gemetar. Dia takut majikannya akan tahu dan menyalakannya.
[Den Gavin katanya mau libur aja, Den. Dia nggak mau sekolah. Mungkin kelelahan.]
[Apa?] Suara kaget tak percaya terdengar di ujung sana.
[Memangnya dia dari mana? Sampai kelelahan.]
[Nggak tahu, Den. Ini bibi udah bangunin malah di suruh jangan berisik.]
[Baiklah. Terimakasih, Bi.]
Panggilan terputus.
Bibi dan tukang taman ketar-ketir, mereka di beri amanah untuk menjaga Gavin namun belum sehari kepergian sang kakak. Pemuda itu malah berulah.
"Aduh, Mang. Gimana? Den Gavin beneran nggak keluar kamar."
Si Mamang hanya mengedikan bahu.
"Mau gimana lagi, di paksa pun, malah kita yang akan mendapatkan masalah."
"Kau benar."
Mereka kembali bekerja, Bibi kembali ke dapur dan Mamang kembali ke pos.
Hari mulai beranjak. Matahari bersinar terik. Waktu makan siang kini tiba, Gavin masih stay di dalam kamar. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia akan keluar dan bergabung di meja makan.
"Bi, den Gavin belum keluar juga?" tanya si Mamang saat mengambil kopi hitam di dapur.
"Belum, ini lagi nungguin. Mau di bangunkan, takut. Nggak di bangunkan khawatir."
Si Mamang hanya bisa ikut prihatin.
"Kalau den Gavin tidak keluar juga sampai sore, gimana?"
Bug.
Si Bibi memukulnya keras.
"Atuh kamu jangan nakut-nakutin. Bukannya nyari solusi malah nambah pikiran."
Si Mamang segera berlalu sebelum bibi mengomelinya.
Telepon kembali berdering, Si Bibi meringis. Takut yang menelpon adalah majikannya.
Bibi mau tidak mau mengankat panggilan itu.
[Hallo, kediaman keluarga Ardian di sini.]
[Hallo, Bi. Ini saya Devon.]
Si Bibi bernapas lega.
[Aden, Gavinnya belum keluar juga. Saya takut untuk menggedor pintunya,] ungkapnya.
[Jadi, sampai detik ini Gavin belum sarapan maupun makan siang, Bi?]
Si Bibi mengangguk seolah Devon dapat melihatnya.
[Iya, Den.]
[Baiklah, kalau ada apa-apa tolong kabari saya.]
Devon tidak marah sama sekali membuat si bibi merasa tenang.
[Baik, Den.]
Panggilan pun di tutup. Si bibi terus menatap ke lantai dua. Pintu Gavin tertutup rapat dan dia tak bisa apa-apa.