Karena ketidak hadiran Gavin di sekolah, para siswa dan siswi termasuk para guru menayakan perihal keberadaan pemuda itu kepada Rindu.
Lonceng telah berbunyi, semua murid masuk ke dalam kelas.
Rindu nggak ngeh jika Gavin tidak ada di sana, dia sibuk dengan koleksi buku barunya.
"Gavin kok nggak masuk, ya? Dia dimana?" celetuk salah satu murid yang baru saja memperhatikan.
"Hem, tanya aja sama Rindu mereka kan satu paket."
Bisik-bisik terdengar, Erika dan Andra pun begitu penasaran.
"Gavin nggak masuk? Lo udah hubungin ponselnya dia, Ndu?" tanya Andra memperingatkan.
Rindu membuka lembaran buku dengan santainya.
"Enggak, mungkin dia sedikit terlambat di jalan."
"Rindu, kok Gavin ngga masuk sih?" tanya salah satu murid.
"Ya nggak tahu, aku sama dia nggak tetanggaan," ucapnya.
"Ya, lo kan pacarnya, bisa aja kan ngabarin."
"Yaaah!" riuh terdengar ucapan para siswa dan siswi.
Rindu melihat jam tangannya, baru kali ini Gavin membolos dan tidak ada mengirimkan pesan atau surat.
Buku Hafzah memasuki ruangan.
"Anak-anak, buka buku kalian," ucapnya memulai pelajaran.
"Baik, Bu."
Setelah melihat semua bangku dan absen satu per satu. Bu Hafzah pun menyadari jika Gavin tidak berada di sana.
"Rindu, Gavin kemana?" tanya sang wali kelas.
Lagi-lagi gadis itu mendongak.
"Sepertinya tidak datang ke sekolah, Bu."
"Dia nggak izin?"
Rindu menggeleng.
"Oh, ya sudah."
Erika dan Andra meliriknya.
"Sabar, Ndu. Wajar lo di tanya gitu. Lo kan temen sebangkunya."
"Iya, tapi jengkel juga. Awas aja tu anak. Perasaan kemarin dia baik-baik saja deh."
Bu Hafzah menyampaikan materinya, anak-anak mempelajari dan langsung menyelesaikan tugas.
Bell sekolah berbunyi pelajaran pertama berlalu begitu saja, Erika dan andra mengajak rindu keluar
"Kantin, yuk. Dari pada di sini sendirian. Entar di culik neneh sihie loh."
"Apaan sih," Rindu terkekeh di tempatnya.
"Oke, bentar. Aku mau telepon Gavin dulu."
"Ehm, ciye yang lagi khawatir," Erika sengaja menggodanya.
"Bukan gitu, cuman aneh aja dia ngga masuk sekolah ngga ngasih kabar juga,"
"Oke, kita tunggu di kantin ya, bye bye!"
Rindu melambaikan tangan, dia segera mencari nama Gavin di ponselnya. Tak butuh waktu lama untuk menghubungi lelaki itu.
[Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah untuk .. tut tut tut.] Rindu menyudahi panggilannya.
Dia merasa gondok, bagaimana tidak. Gavin menonaktifkan ponselnya membuat Rindu semakin penasaran.
"Kemana sih dia nih, ada-ada aja deh."
Rindu kembali mencoba beberapa menit kemudian namun hasilnya sama saja.
"Auw ah, mending aku nyusul Erika ke kantin." Rindu segera bergegas dia menuju ke kantin dengan santainya. Di perjalanan, tiba-tiba dia dicegah oleh Geng Z.
"Eh apa-apa ini," ucap Rindu terkejut. Dia tampak panik da berusaha pergi dari sana.
Zean muncul dan berdiri di hadapannya.
"Santai aja kali, lebai banget, denger-denger Gavin nggak masuk sekolah, dia kenapa, sakit?"
Rindu menatap bingung.
"Nggak tahu," ucapnya jujur.
"Kok, lo nyebelin sih? Di tanya baik-baik juga."
Melihat perubahan sikap Zean, Rindu segera menghindar.
"Lo mau kemana? Jawab dulu pertanyaan kita,"
Temen-temen Zean kembali menahannya.
"Apa sih, kak. Aku benar-benar nggak tahu, ini juga udah nyoba telepon tapi nggak nyambung."
Zeana mengerutkan kening.
"Kok aneh, emang kemarin kalian kenapa? Berantem."
Rindu menggeleng.
"Terus kenapa dong?" Zean lama-lama gemas juga.
"Ya aku ngga tahu," Rindu bergegas pergi dari sana.
"Berani banget dia, minta di kasih pelajaran," ucap salah satu gengnya bersiap untuk mengejar.
"Eh, eh, jangan. Biarin aja, biarkan dia pergi."
Tasya dan yang lainnya tertegun, dia tak percaya ini.
"Lo, Zean kan? Lo beneran lepasin dia?"
Zeana mengangguk. Dia tak dapat menyerang Rindu semaunya lagi. Karena Devon mengambil nomor ponsel gadis itu. Zean tak mau, Rindu mengadukannya dan hubungannya dengan Devon kembali berantakan.
"Iya, biarin aja, kasihan. Kalian nggak lihat wajahnya melas gitu."
"Haha haha." Mereka tertawa, menganggap ucapan Zean adalah kebenaran.
"Iya sih, apalagi dia sendirian."
Rindu tiba di kantin dengan tergesa-gesa, wajahnya pucat napasnya ngos-ngosan. Setelah mendapati Erika dan Andra, Rindu segera duduk di samping kedua sahabatnya itu.
"Eh, ada apa? Lo, kok kayak di kejar sama hantu sih?"
Rindu meneguk salivanya dengan susah payah.
"Nih, minum dulu." Erika menyerahkan minumannya.
Glek glek glek. Rindu menghabiskan minuman yang sisa setengah itu.
Andra dan Erika saling menatap.
"Aku di cegat sama gengnya kak Z."
"Apa?" Erika terkejut sedang Andra langsung berdiri mendengar pengakuannya.
"Dia ngapain lo, Ndu? Bilang biar gua yang hadepin."
Rindu menggeleng.
"Nggak jadi di apa-apain, keburu aku lari."
"Sialan, tu orang nggak boleh di biarin." Erika dan Rindu segera menahan Andra.
"Eh, jangan buat keributan, Ndra. Dia nggak ngejar juga."
"Tapi kan, Ndu?"
"Aku baik-baik aja kok, pokoknya kalian kalau kemana-mana kita bareng ya! Ngeri banget berpapasan dengan mereka."
Erika tersenyum mendengarnya.
"Kan tadi udah di ajakin, tapi lo mau nelpon Gavin. Gimana dia? Apa dia sakit?"
Rindu mengedikan bahu.
"Entahlah, ponselnya nggak aktif."
Rindu menggapai minuman botol yang lain.
"Apa kita jenguk aja pas pulang sekolah, gimana?" usul Andra.
Erika dan Rindu saling menatap.
"Boleh, itu ide yang bagus."
Mereka tersenyum bersama.
"Ndu, sana pesan keburu bel loh. Lo kan belum makan."
"Aku kenyang, kalian makan aja."
"Oh oke." Sementara Erika dan Andra menikmati makanannya. Rindu mendapatkan pesan dari Devon.
Tring. Pesan masuk di ponselnya. Erika dan Andra menatap Rindu.
"Mungkin Gavin," tebak mereka bersamaan.
Rindu membuka layarnya dan melihat nomor baru tertera disana.
"Bukan," ucap Rindu pelan.
[Hay, Gadis Cat. Ini aku Devon. Boleh nggak kakak minta tolong?]
Rindu menatap isi pesan itu lama.
"Devon."
[Boleh kak, tapi eh. Namaku Rindu] tulisnya di sertai emot senyum datar.
[Tahu, memang sengaja manggilnya gadis cat. Gavin sedang ngambek dan tidak keluar kamar. Bibi merasa kewalahan. Mungkin jika kau datang membujuknya dia akan luluh.]
Rindu terbelalak melihat itu.
"Ngambek, dih kayak anak kecil aja," batinnya tak percaya.
[Nanti aku dan temen-temen memang rencananya mau ngejenguk dia kak.]
[Jangan! Jangan sampai mereka melihat keadaan Gavin yang berantakan. Rindu, kakak hanya meminta tolong padamu. Minta tolong pada Zean hanya akan membuat Gavin semakin kesal.]
Rindu bimbang apalagi temen-temennya sudah memutuskan untuk pergi.
[Mau ya, Gadis Cat. Tolong cek keadaannya untuk kami.]
"Ada apa, Ndu!" tanya Erika.
Rindu sedikit terkejut membuat teman-temannya tertawa.
"Kamu kenapa sih? Udah nggak ada si nenek sihir di sini. Masih kagetan aja."
Erika tersenyum mendengar candaan Andra.
"Em, gini. Ternyata Gavin memang sengaja nggak masuk, jadi bukan karena sakit."
"Lo tahu dari mana?" cecar Andra.
Rindu ragu untuk menjelaskannya.
"Dari Bang Devon, kakaknya Gavin. Jadi kita nggak usah kesana."
Teman-temannya hanya mengangguki ucapan Rindu.
"Eh, nggak apa-apa kali kalau kita sekedar jengukin aja. Buat mastiin."
Rindu menggeleng.
"Katanya dia nggak mau di ganggu."
"Waduh kacau, emang ada masalah apa?"
Rindu berhenti bicara, takut akan kebablasan dan membongkar semuanya.
"Nggak tahu."
Ting.
Satu pesan datang dari Devon.
[Tolong kabari aku jika kau akan pergi, aku tahu dia melakukan ini sebagai tindak protes agar aku kembali. Tapi, itu tak mungkin, Ndu. Aku udah daftar kuliah di sini.]
Rindu memikirkan ucapan Devon lalu tangannya membalas dengan ringan.
[Baiklah, Kak. Aku akan mampir nanti.]
"Jangan-jangan terjadi sesuatu lagi sama dia, Gavin tu nggak biasanya seperti ini. Ninggalin pelajaran untuk masalah yang sepele."
"Em, sebenarnya kemarin kak Devon baru aja ke Singapura. Gavin sepertinya lelah bantuin packing dan segala macam. Makanya nggak masuk. Kalian nggak usah khawatir, mungkin besok udah masuk."
"Semoga aja kalau gitu."
Rindu bernapas lega, akhirnya dia menemuka alasan yang tepat untuk membuat temen-temennya percaya.
"Aku bilang apa sama mama," Rindu kembali pusing dengan masalahnya. Dia harus kembali ke rumah dulu sebelum berangkat ke rumah Gavin.
"Ah, ini melelahkan," ucapnya.
Erika dan Andra lagi-lagi menatapnya.
"Eh, maaf."