Setelah setengah jam, Gavin duduk di ruang tengah menunggu Devon akan menyusul namun abangnya itu terlalu sibuk dengan Zean.
Ting tung ting tung.
Suara bel berbunyi, Gavin tidak beranjak sama sekali. Gondok merajai hatinya. Bi Ira yang melihatnya hanya bisa menggelengkan kepala.
Ceklek, pintu terbuka. Tak lama bibi datang bersama dengan Agatha.
"Vin, kok melamun?" tanya gadis itu.
Gavin mendongak menatapnya.
"Eh lo ada apa?"
Agatha duduk si sofa tepat di samping Gavin.
"Sorry, deh. Gue mana tahu kalau lo juga akan sekolah ke luar negeri. Kata Erika, mungkin aja Rindu ngambek gara-gara gue bahas tentang LDR an. Gue kan nggak maksud ke arah sana, sumpah. Gua nggak maksud buat hubungan kalian jadi renggang.
Gavin terkekeh.
"Nggak masalah kali, itu aja lo pikirin. Rindu itu orangnya nggak melow-melow amat. Dia juga kuat dan memikirkan segalanya dari berbagai sudut pandang. Sebelum nyalain orang dia akan berpikir 10 kali untuk tersinggung."
"Gitu ya, hehehe." Agatha jadi canggung, Gavin begitu memuja kekasihnya.
"Oh iya, ini buku lo ketinggalan. Jangan sampai lo nggak belajar lagi karena ini."
Gavin menerimanya lalu meletakkannya di atas meja.
"Thank you, Tha."
Suara langkah terdengar riuh di lantai dua, Agatha spontan mendongak.
"Lo ada tamu ya? Kalau gitu gue cabut ya."
Gavin menggelengkan kepala.
"Nggak, Abang gua pulang dan ceweknya ada di atas. Orang yang nggak suka sama hubungan gua dan Rindu."
"What, si senior itu? Gue boleh dong tinggal untuk lihat wajahnya. Gue penasaran banget soalnya."
Gavin tertawa.
"Tinggal aja, syukur-syukur lu bisa bantu gua bully dia, eh mobilnya ada di luar, emang lu nggak kenalin."
Agatha tak pernah memperhatikan.
"Sorry gue telmi soal gituan."
Devon dan Zean turun dari lantai dua, posisi Agatha dan Gavin membelakangi, mereka fokus menonton ke arah televisi.
"Eh, gadis cat. Kamu di sini?"
Devon mengira dia adalah Rindu.
"Gadis Cat."
Agatha spontan menoleh saat bahunya di sentuh. Devon terkejut, ya dia bukan gadis yang dia kenal.
"Gavin, siapa dia?"
Gavin bangkit, begitu dengan Agatha.
"Ini abang lo, Vin?" tanya gadis itu.
Gavin mengangguk dan Zeana muncul dengan sedikit berantakan.
"Kenalin, dia sahabat gua, anak tetangga sebelah. Namanya Agatha, Tha, kenalin abang gua, Devon."
Devon terkesiap melihatnya, itu karena Agatha begitu cantik.
"Agatha," gadis itu menyalami lebih dulu.
"Devon."
Agatha melirik ke Gavin dan berbicara dengan isyarat, hal itu menganggu Devon dan Zeana namun Gavin tertawa terpingkal-pingkal karenanya.
"Pulang deh lo, sampai jumpa di sekolah."
Agatha melotot.
"Lo ngusir gue nih ceritanya?"
"Nggak, Abang gue di sini lo pasti risih. Atau entar malam deh, ke tongkrongan. Gua bawa makanan."
"Oke, setuju." Agatha memberikan tos dan pergi dari sana.
Suara pintu terdengar di tutup, itu artinya Agatha telah keluar. Gavin menyilangkan tangan ke d**a.
"Ehm, udah seneng-senengnya. Kalian menjijikan." Gavin tidak ragu mengatakan semua itu.
"Apaan sih, anak kecil kalau nggak tahu apa-apa nggak usah sok dewasa."
Devon menatap tegas.
"Heh, dewasa lo bilang? Yang seperti tadi di bilang dewasa. Kalian lucu."
"Vin,"
"Diem, Bang. Kemasi barang-barang lo dan segera balik ke Singapura. Gua nggak mau rumah ini di kotor-kotori oleh kalian."
Zean terperangah, tatapan Gavin seolah merendahkan.
"Jangan kurang ajar, Vin. Emang kami ngelakuin apa? Sampai kamu gini banget."
"Abang pikir aja sendiri,"
Tak ada sambutan atau wajah bahagia yang di bayangkan Devon. Dia merasa hancur, meski penghinaan itu tak berdasar. Mereka hanya berciuman dan Gavin eneg tak ingin menatapnya lagi.
Adiknya itu naik ke lantai dua untuk istrahat. Meninggalkan Devon dan Zeana yang tampak kikuk.
"Ehm, sayang," ucap Zean manja. Dia brusaha untuk mengendalikan lelaki itu.
Devon kehilangan moodnya saat tangan Zean mengalun di lehernya.
"Kamu pulang aja ya, aku mau bicara serius dengan Gavin."
Zean menghentakkan kaki ke lantai. Jengkel mendengar ucapan kekasihnya.
"Kamu tahu nggak sih, aku kangen."
Devon menutup mulut Zean, takut bibi atau seseorang yang lain mendengarkan.
Kekasihnya itu berubah agresif setelah di tinggalkan beberapa bulan.
"Zean, kau tahu Gavin sedang marah. Pulanglah, nanti akan ku temui."
Zean akan menciumnya namun Devon mundur satu langkah.
"Ish, aku kecewa sama kamu."
Bug!
Gadis itu berlalu pergi setelah memukul d**a bidang milik Devon.
Baru beberapa jam tiba di Indonesia, masalah sudah menghampirinya. Devon menghempaskan diri di atas sofa.
"Bi," panggilnya.
Bi Ira segera datang. Devon menatap wanita tua itu dengan seksama.
"Bi, Agatha itu?"
"Oh anak tetangga sebelah, Den. Kenapa?"
"Sepertinya Gavin dan Agatha akrab banget."
Devon mencari informasi.
"Oh iya, Den. Mereka sering belajar bareng, dan keluar bersama. Udah temenan akrab."
"Temen, lalu Rindu bagaimana?"
"Non Rindu jarang ke sini, Den. Lebih tepatnya den Gavin yang sering keluar. Den Rindu hanya datang saat aden minta tolong waktu itu."
Devon mengangguk paham.
"Oke, terimakasih Bi."
Devon bangkit dan naik ke lantai dua, Gavin sendiri sedang asyik bermain Play station di kamarnya.
Tok tok tok.
Devon muncul, mood Gavin berubah semakin berantakan karenanya.
"Maafkan abang jika sikap abang tadi buat kamu ilfeel. Abang Disni sampai tiga Minggu ke depan. Kau tahu liburan kali ini akan mendatangkan mama dan papa."
Gavin terkesiap mendengarnya.
"Besok mereka akan berangkat, abang sengaja datang lebih awal untuk merapikan kekacauan yang mungkin saja kau lakukan."
"Abang serius, mama bakal datang?"
Kesalahan Devon menguar begitu saja.
"Serius, abang udah ceritain soal Rindu. Siapa tahu kan beliau akan luluh dan biarin kamu sekolah di sini."
"Wah," Gavin terperangah.
"Untuk menembus kesalahan Abang, kau boleh membawa Rindu untuk makan malam bersama. Bagaimana?"
Gavin berpikir sejenak.
"Udah, nggak usah banyak mikir, mending sekarang kamu beres-beres."
Gavin melihat bekas cupang di leher Devon.
"Lalu bagaimana jika mama melihat itu?"
Gavin menunjuk ke arah leher Devon, abangnya pun bangkit dan menoleh.
"Leher lo! Sumpah gue jijik lihat abang deket-deket dia."
Devon menuju ke cermin dan melihat capnya.
"Gadis nakal, untung kamu nyadarin."
"Bang,"
"Vin, entar juga kalau kamu udah besar, kamu bakalan paham. Lagian kami tahu batasan. Zeana begini karena dia rindu, rindu yang kami rasakan kamu mana paham."
"Alah."
"Nggak percaya, sekarang abang nanya. Kamu sama Rindu udah pernah ciuman belum?"
Gavin terkesiap.
"Pertanyaan macam apa itu?"
Wajahnya memerah, dan sedikit salah tingkah.
"Aku serius, kalau belum pernah ciuman kamu mana tahu yang namanya rindu setelah nggak ketemu."
"Yak, Abang ngeres banget. Sana keluar! Gua aduin sama mama loh."
Devon tertawa melihat tingkah adiknya.
"Vin."
Brak!
Pintu tertutup keras, Gavin tiba-tiba merindukan Rindu.
Ciuman pertama mereka terkesan mendadak dan terburu-buru.
"Rindu sedang apa ya?"