Sesuai dengan janjinya pada Agatha, Gavin keluar nongkrong saat malam sudah tiba. Pemuda itu tampak sibuk di dapur melihat lauk apa saja yang masih tersisa
"Kau mau kemana?" tanya Devon saat melihat adiknya membawa gitar.
"Ngamen," ucapnya singkat.
"Bi, tolong buatkan nasi bungkusnya tujuh bungkus."
"Baik, Den."
Davin melongo melihat apa yang dilakukan sang adik.
"Ngamen? Sejak kapan kau melakukan itu?"
Devon terkejut bukan main, apa kata kedua orangtuanya jika mengetahui hal ini.
"Sejak kita memiliki tetangga baru, abang kalau nggak tahu apa-apa mending diam aja."
Sikapnya yang dulu sangat menghormati Gavin pun berubah.
Bibi keluar membawa nasi yang di pesan majikannya.
"Terus nasi sebanyak itu untuk apa, Vin?"
"Untuk temen-temen Gavin, Bang. Gavin berangkat, nggak usah di tungguin. Oke."
Gavin pun cabut setelah mengatakannya.
"Eh, Vin. Abang belum selesai ngomong!"
Devon menghembuskan napas kasar, Gavin kini menghilang di balik tembok.
Bi Ira sang asisten rumah tangga berjalan mendekati Devon yang sedang dongkol.
"Biarkan saja, Den. Paling perginya hanya satu jam lebih."
Devon tak suka mendengar itu.
"Satu jam lebih? Yang benar saja,"
"Makanan tadi, di bawah den Gavin untuk anak-anak jalanan, Den. Den Gavin ikut mengamen bersama anak sebelah untuk mengumpulkan biaya sekolah untuk mereka.
Devon tercengang mendengar apa yang telah dilakukan sang adik.
"Bibi tahu dari mana?"
"Bibi dan Mang Salim pernah mengikuti den Gavin dan temennya. Mereka biasanya nongkrong di pertigaan. Aden kalau nggak percaya bisa periksa kesana."
Devon tak menunggu waktu lebih lama dan segera meluncur. Dia menggunakan motor milik adiknya karena mobil sudah di bawa Gavin.
Tiba di tempat yang dituju, Gavin benar-benar sedang ngamen di sana dan di temani dengan Agatha. Gadis cantik itu melantungkan lagu dan menarik perhatian pengguna jalan.
Beberapa anak kecil tampak membawa kantong plastik untuk meminta uang.
[Engkau hadir mengubah segalanya. Menjadi lebih indah. Kau bawa diriku setinggi angkasa.] Penggalan lagu itu mengalun merdu. Gavin tampak senang menjadi pengiring musiknya.
"Gadis itu, mereka ngamen." Devon tak percaya ini.
Lampu merah berganti hijau, para pengamen mundur dan membiarkan kendaraan kembali melaju.
"Wah, dapat banyak nih. Bisa beli makanan dulu," seru Dion salah satu anak pengamen asuhan Agatha.
"Kakak udah dong bawain makanan untuk kalian. Mending uangnya buat tabungan sekolah, biar pintar." Gavin menyerahkan makanan yang sudah di bungkus dari rumah.
"Wah, terimakasih kak. Makan enak lagi kita kalau kak Gavin yang bawain makanan."
Agatha merenggut.
"Oh, gitu. Kalau sama kakak nggak pernah makan enak?"
Dion dan teman-temannya spontan menoleh.
"Sama kak Agatha juga, hehehe." Anak-anak itu cengengesan. Gavin tertawa melihat tingkah mereka.
Kegiatan positif sang adik membuat Devon merasa malu. Agatha membawa warna lain, meski tidak selembut Rindu. Dia terlihat kuat dan memiliki kepedulian yang luar biasa.
"Gimana kakak lo? Masih di rumah?" tanya Agatha di sela-sela istrahat. Devon memakai helm besar, tak ada yang menyadari kehadirannya.
"Masihlah, emang lu pikir abang gua mau tinggal dimana kalau nggak di rumah, ada-ada aja lo."
"Ya kali bareng pacarnya, mereka sepertinya mesra banget tahu nggak."
"Iya kayak gigi dan karangnya, tu cewe jadi karangnya."
"Yaak, perumpamaan lo menjijikkan Gavin."
"Siapa suruh nanya-nanya!"
Devon menghela napas, tak di sangka dirinya akan menjadi pembahasan utama dalam pertemuan itu.
"Tapi, kalau di lihat-lihat abang lo cakep juga, lebih cakep dari lo malah."
Devon terkekeh nendengar pengakuan Agatha.
"Sialan lo! Mata lo buta ya."
"Haha haha!" Agatha tertawa lepas. Gavin merenggut melihatnya.
"Andai aja dia nggak ketemu Zean, udah pasti kalian udah gua jodohin."
"Dih, apaan. Dia ganteng juga belum tentu gue mau. Selera gue jauh. Setidaknya kebiasaannya bisa ngikutin gaya lo," Agatha blak-blakan, tak di pungkiri dia memang mengagumi kepribadian Gavin.
"Gua! Eh, jangan sampai naksir lu. Tahu kan gue ini labelnya siapa."
Agatha tertawa sekali lagi.
"Tahu, maksud gua pribadi lu, Vin. Setidaknya dia memaklumi kegiatan gua ini. Ngapain gua pacaran kalau dia ngekang dan larang-larang, dih ogah banget."
"Oh iya, gua hampir lupa lo kan emang aneh ya."
"Sialan lo!"
Gavin gantian menertawakannya.
"Nggak apa-apa, siapa tahu kan nanti bakal ketemu jodohnya di jalanan ini, turun dari mobil mewah dan ngasih lo cincin berlian."
"Halu lo kejauhan, Vin. Hadeh."
Mereka kembali tertawa, Devon terkesima melihat gadis itu, gadis yang ingin di jodohkan Gavin dengannya.
"Ada-ada aja. Anak kemarin sore mau di jodohin sama aku. Yang benar saja."
Devon kembali ke rumah, saat Gavin dan Agatha bangkit untuk mengamen, dalam perjalanan dia memikirkan sang adik. Gavin tampaknya bisa di percaya apabila di tinggalkan sendirian. Namun, resikonya adik lelakinya itu akan membuat papa mereka marah jika mengetahui kelakuan Gavin saat ini.
Tiba di rumah, lelaki itu memarkirkan motornya dan masuk ke ruang tengah.
"Udah pulang, Den? Cepet banget." Bi Ira datang membawakan minuman.
"Udah, Bi. Oh iya Bi, papa sama mama mungkin akan segera datang."
"Benarkah?"
"Ya, jadi tolong jangan ceritakan soal kegiatan Gavin yang suka keluar untuk mengamen. Papa nggak akan suka dan mungkin beliau akan murkah."
Bibi Ira terkejut mendengarnya.
"Baiklah, Den. Bibi mengerti."
Dalam keheningan Devon terus menunggu, waktu berlalu tapi sang adik tak juga kembali.
Pukul 23:30 dini hari.
Gavin akhirnya kembali. Wajahnya terlihat lelah namun sorot matanya tampak berbinar.
"Abang belum tidur?" tanya pemuda itu dan duduk di samping sang kakak.
"Bagaimana caranya aku tidur sedang kau berkeliaran di luar sana."
Gavin tertawa dan membuka sepatunya.
"Besok kan libur, Bang. Nggak apa-apa kali begadang dikit doang."
"Apa Agatha juga tinggal sampai jam segini?"
Gavin terkesiap mendengarnya, dia melihat kunci motor di atas meja.
"Abang kok tahu? Abang ngikutin Gavin, ya."
"Iya, mau gimana lagi. Vin, abang saranin. Sebaiknya kebiasaan kamu ini diubah. Papa kalau tahu semua ini bakalan marah besar tahu nggak."
"Apaan sih, nggak jelas banget. Emang aku ngapain, ngerusuh enggak. Berantem juga enggak, apalagi ngeparty. Udah deh, stop dengan aturan nggak jelas."
"Tapi kamu ngamen, Vin. Kamu ngerti nggak sih."
Gavin tak habis pikir.
"Auh ah, gua capek." Gavin segera bergegas naik lantai dua untuk istirahat.
"Vin, tunggu dulu dengar penjelasan abang."
Gavin tidak menoleh sama sekali, dia merasa kesal. Apa yang dia lakukan pasti selalu dibatasi, meski dia menganggap semuanya benar. Kedua orang tuanya belum tentu demikian.
Bi Ira menyaksikan perdebatan mereka, dia tahu ucapan Devon adalah benar. Tapi, perasaan Gaving juga sangat rapuh.
"Jangan terlalu keras padanya, Den. Kasihan."
"Kalau begitu nasehati dia, Bi. Bibi tahukan, kalo papa marah bagaimana?"
Serbah salah itu yang di rasakan Devon.