Hari berganti dan Gavin tidak pernah bertemu Devon lagi. Baik di rumah, saat pemuda itu menunggui sang kakak. Devon tidak pernah terlihat. Sekalinya pulang sudah hampir pagi.
Hari ini saat akan berangkat sekolah, Gavin di kejutkan oleh ajakan untuk hang out bersama.
"Vin," ucap Devon menghampiri meja makan.
"Apa?" sahutnya polos.
Devon terlihat bersemangat, dia menyendok nasi goreng buatan si bibi dan melahapnya.
"Em, rasanya enak."
Gavin mengernyit, dia pikir ada sesuatu yang akan di sampaikan oleh abangnya itu.
"Kirain apa?"
"Eh, sampai lupa. Kemarin Zean di perbolehkan pulang dari rumah sakit makanya abang tinggal untuk menemaninya.
"Abang nginep di rumahnya gitu?" Gavin terkejut.
Wajah sang adik memperlihatkan ketidak sukaannya.
"Jangan salah paham, abang menginap karena orang tua Zeana kasihan melihat abang kemaleman. Semalam kan hujan, saat menunggu hujan reda udah sangat larut jadi terpaksa nginep."
"Alesan! Iya kan?" Gavin tampak bete.
"Nggak gitu, sumpah. dengerin dulu apa yang ingin abang sampein."
Gavin menoleh dengan enggan.
"Ya udah, apa?"
Devon memperbaiki posisi duduknya.
"Rencananya, abang mau ngajak kamu hangout bareng Zean, gimana?"
Mata Gavin melotot sempurna.
"Abang mabok ya, bareng Zeana! Yang benar saja."
"Iya, emang kenapa? Ada yang salah. Katanya udah nggak marah lagi, katanya nggak mau pisahin abang sama dia, kamu gimana sih?"
Gavin menghela napas panjang.
"Datanglah bersama, Rindu. Jika kau mau kita bisa double date, abang tahu kau menyukai gadis itu."
Gavin terperangah tidak menyangka Devon akan berkata demikian.
"Tapi, Bang," ucap Gavin ragu.
"Cobalah berbaik hati untuk memaafkannya, lupakan semuanya. Abang tahu, hal itu tidak mudah. Abang ingin hubungan kalian baik-baik saja sebelum abang pergi, abang ingin menitipkannya padamu."
"Emang dia barang, ogah! Abang bicaranya ngawur dari tadi."
"Vin, please sekali ini aja. Dua hari lagi abang akan berangkat. Abang hanya ingin menghabiskan waktu bersama kalian."
Gavin tidak bisa berkata-kata, keputusan Devon sudah bulat.
Mau tidak mau dia harus menuruti nya.
"Baiklah, kapan?"
Devon tersenyum lebar.
"Besok, besok kau libur kan?"
Gavin mengangguk dengan terpaksa.
"Ajaklah Rindu, agar kau tidak kesepian." Devon menyelesaikan makannya.
"Abang pergi, ingat ke sekolah nggak boleh ngebut!"
Pemuda itu pergi duluan meninggalkan Gavin termenung di meja makan.
Kesal, jengkel, berpadu jadi satu.
"Den, apa benar den Devon akan pergi. Rumah tambah sepi dong," ucap si Bibi.
Gavin mengangguk pahit.
"Mau gimana lagi, Bi. Dia keras kepala, mencintai gadis pun nggak beres."
"Den Gavin, nggak boleh gitu!"
**
Menuju ke sekolah Gavin tampak lemas saat tiba di parkiran. Andra dan Erika baru saja tiba. Mereka menatap Gavin yang tidak bersemangat.
"Lu kenapa pagi-pagi gini lepek banget, lu putus cinta?" tanya Andra merangkulnya.
"Apaan sih Ndra, gua lagi nggak mood untuk diajak bercanda."
"Masih pagi, Vin. Udah galau aja."
Gavin berjalan lebih cepat untuk menghindari mereka.
"Dia Kenapa? Tumben banget sikapnya ketus gitu," ujar Erika.
"Tahu! Berantem sama Rindu kali?"
Andra dan Erika memutuskan untuk tidak mengganggunya.
Rindu pun tiba di sekolah, gadis itu berjalan menuju kelas dan tidak sengaja berpapasan dengan Erika.
"Pagi, Ndu?" sapa teman baiknya itu.
"Pagi, mau kemana nih. Bentar lagi bel loh," ucap rindu mengingatkan.
"Mau ke kantin beli minum, eh kebetulan sekalian mau nanya nih. Lo sama Gavin lagi berantem, ya?" tanya Erika penasaran.
"Enggak kok, kami baik-baik aja. Emang kenapa?" Rindu menatapnya lekat.
"Enggak ada sih, cuman dia kayaknya lemes banget. Di ajak ngobrol eh malah di cuekin, enggak kayak biasanya. Kirain kalian berantem."
Rindu menggelengkan kepala.
"Oke deh, aku cek bentar. Thank you, Erika," Rindu melambaikan tangan.
"Sama-sama."
Pembawaan Rindu dan Gavin jelas berbeda, satunya ceria dan satunya kelewat sensitif.
Tiba di kelas, Rindu benar-benar mendapat Gavin yang tampak aneh.
"Hai, selamat pagi," sapanya.
Gavin mendiamkannya dan sibuk dalam pikirannya sendiri.
"Kamu sakit, ya? tanyanya yang disambut gelengan kepala dari Gavin.
"Terus kenapa, dong?"
Rindu duduk tepat di sampingnya.
"Zeana sudah kembali dari rumah sakit,"ungkapnya.
"Syukurlah, itu berita bagus. Lalu, kenapa kau begitu sedih?"
Hanya Rindu yang mampu membuat Gavin berbicara dengan leluasa.
"Bang Devon, dia minta kita untuk pergi bersama menemani mereka liburan."
"Apa?"
Rindu tertegun, hal itu terdengar aneh apalagi mereka tidak begitu akrab.
"Bagaimana, kamu mau kan?"
Rindu tidak langsung menjawab ajakan Gavin. Pemuda itu menatapnya lekat, Rindu bahkan berpikir lagi dan lagi sebelum memutuskan.
"Kok diem sih? Aku butuh jawabanmu, Ndu."
Rindu menghadap pada Gavin, suasana di kelas sedang sepi.
"Ya, aneh aja, Vin. Untuk apa aku ikut dengan kalian. Aku dan kak Zeana jelas tidak akur, dan bang Devon. Kami baru bertemu dua kali. Kamu ngarang, ya!"
"Nggak, ngapain! Aku hanya tidak ingin menjadi kambing congek jika datang sendiri."
"Nah, kan! Jadi kau memanfaatkan aku, begitu!" Rindu menatapnya kesal.
Gavin menggelengkan kepala sekali lagi.
"Tidak, bukan begitu. Sumpah! Bang Devon sendiri yang meminta agar aku mengundangmu juga."
Rindu tidak percaya ini.
"Ayolah, Rindu. Temani aku, emosiku bisa saja meledak setiap waktu jika.menemuinya sendiri."
"Kau sungguh rumit," Rindu menghela napas.
"Apa maksudmu?"
"Ya, kalau nggak suka. Nggak perlu datang. Bereskan. Dari pada datang tapi berpura-pura bahagia."
Gavin bangkit, segera kursi berderit karenanya. Rindu menatapnya heran.
"Kau mau kemana?"
"Mencari udara segar, aku begini juga bukan hal yang mudah. Bang Devon akan ke Singapore dua hari lagi. Dia ingin masalah antara aku dan Zeana kelar,"
Rindu merasa bersalah melihat raut wajah Gavin yang semakin tertekan.
"Baiklah, kapan kita pergi? Aku akan menemanimu."
Gavin kembali duduk di kursinya.
"Besok, gimana?"
"Besok? Aku belum izin sama mama." Rindu meringis.
Gavin dengan lembut mengusap kepala gadis itu.
"Pelan-pelan saja, ngomongnya baik-baik dan bilang kita tidak akan bermalam."
Rindu ragu, tidak mudah meminta izin pada orangtuanya.
"Akan aku pikirkan nanti."
"Rindu!"
"Apa?"
Gavin dan Rindu saling menatap. Erika dan Andra yang baru masuk menatap keduanya.
"Sepertinya mereka memang lagi bertengkar,"
Erika setuju dengan ucapan kekasihnya.
"Hey kalian! Masih pagi, ntar kangen loh. Malam minggu nih," ucap Andra menggoda.
"Diam!" ucap Rindu dan Gavin kompak menggebrak meja.
"Eh buset, ngeri amat." Satu ruangan menatap heran ke arah Rindu.
"Apaan sih, lu. Emang ini kelas milik kalian. Biasa aja, kalau mau berantem di luar. Di taman kek, di mesengger kek," celetuk salah satu siswa.
"Nah, terus lu kirim tu emot marah ratusan kali. Nggak usah ganggu ketenangan please deh."
Rindu menatap kesal pada Gavin.
"Gara-gara kamu sih!"