4. Pertemuan Kembali
Rachel berjalan cepat ke rumah sakit tempatnya bekerja, masih merasa gelisah setelah kejadian semalam. Dai berlari menembus kerumunan orang-orang di sekitar jalan Avenue yang selalu pada di pagi hari yang sibuk. Ini adalah hari pertamanya bekerja sebagai seorang dokter magang, takkan ia biarkan kemacetan mengganggu mobilitasnya menuju rumah sakit impiannya.
Begitu dia masuk, Rachel berdiri gugup di depan meja resepsionis, siap untuk memperkenalkan diri. Namun seorang perawat justru malah menyambutnya dingin, "Apa kau dokter magang?"
"Iya, Suster." Rachel tersenyum ramah yang dibalas dengan lirikan tajam dan sinis dari wanita yang terlihat beberapa tahun lebih tua darinya. "Dokter muda, ya? Cuma menyusahkan saja!" katanya sinis.
Seketika Rachel menegang begitu mendengarnya. Tapi, ia bersikap tenang, seolah tak mendengarnya.
"Ambil jasmu dan mulai bekerja. Banyak sekali pasien yang harus kau urus hari ini."
"Ba-baik," Rachel segera menaruh tasnya dan mengambil jas yang diberikan suster judes itu padanya. Ia mengenakan jas seragam itu dengan penuh kebanggaan. Memandang pantulan dirinya dari pintu kaca yang membiaskan penampilannya yang luar biasa.
"Jangan diam saja. Ini daftar pasien yang harus kau periksa." Suster bernama Aurel yang terbaca dari label di seragamnya menyerahkan tumpukan dokumen pada Rachel.
Rachel mulai larut dalam pekerjaannya yang melelahkan.
Di luar ruang UGD, Daniel berdiri tegap, matanya terus memperhatikan bayangan Rachel yang sibuk merawat pasien di dalam. Hatinya terasa berat, dihantui oleh campuran emosi yang sulit dipahami. Malam sebelumnya masih segar dalam ingatannya—kehangatan yang mereka bagi, tetapi juga kebingungan atas kepergiannya.
Dendam membara dalam pikirannya, ia harus membalaskan dendam pada wanita itu. Tunggu saja, Daniel membalikkan tubuhnya, pergi meninggalkan Rachel yang sibuk dengan para pasiennya.
***
Hari pertamanya bekerja sungguh melelahkan. Pasien rumah sakit yang kunjung berhenti, datang silih berganti, bahkan Rachel dan beberapa dokter magang lainnya kesulitan untuk beristirahat, sedangkan dokter senior memanfaatkan situasi mereka dengan bersantai.
Pukul setengah dua belas malam, Rachel akhirnya berhasil menyelesaikan semua pekerjaannya. Waktunya ia pulang ke apartemennya yang sederhana, setelah ia melarikan diri dari rumah ayahnya yang kejam.
Dalam kegelapan malam yang hening, Rachel berjalan sendirian melewati jalan setapak menuju rumahnya. Langkahnya berat karena lelah setelah hari yang panjang di kantor. Tiba-tiba, dia merasa ada yang menguntit dari belakang. Ia mempercepat langkahnya, mencoba untuk tidak panik meskipun hatinya berdegup kencang.
Tiba-tiba, sekelompok pria muncul dari sudut gelap. Pakaian mereka hitam dan misterius, begitu pula wajah mereka, sengaja ditutup masker hitam agar Rachel tidak mengenalinya. Rachel merasa detak jantungnya berhenti sejenak. "Tanpa ragu, mereka meraih lengannya dan mencoba menyeretnya pergi.
Rachel berteriak keras, berjuang sekuat tenaga untuk membebaskan diri. Tangan dan kakinya bergerak liar, mencoba memukul dan menendang dengan segala kekuatan yang ada. Salah satu dari mereka berhasil melampirkan lengan dan mengikatnya di belakang punggungnya.
Saat itu, suara langkah kaki mendekat dengan cepat. Dalam sekejap, cahaya kilat senter membelah kegelapan, menyorot wajah-wajah yang terkejut dari penculik tersebut. Seorang pria muda, tetapi berpostur besar, melompat dari balik semak-semak dengan gesit. Dengan gerakan cepat dan pukulan yang keras, dia mengirimkan beberapa penculik terjatuh ke tanah.
"Rachel, cepat! Ikut aku!" serunya sambil melangkah maju dan melepaskan ikatan tangan Rachel dengan pisau lipat yang tersembunyi di saku jaketnya. Rachel tidak membuang waktu. Dia berlari setinggi yang dia bisa, mengikuti pria itu yang menuntunnya melewati semak-semak dan jalan kecil.
Penculik yang tersisa berusaha mengejar mereka, tetapi mereka terlalu lambat. Dalam beberapa menit, mereka mencapai jalan yang lebih terang dan ramai. Pria yang telah menyelamatkannya membalikkan kepalanya, memberikan senyuman singkat kepada Rachel sebelum melanjutkan perjalanan mereka yang cepat menjauh dari bahaya.
Rachel masih gemetar ketika mereka akhirnya sampai di tempat yang aman. Dia menatap pria itu dengan penuh rasa terima kasih, tetapi juga ingin tahu siapa dia.
"Apa yang terjadi padamu?" tanyanya, suaranya lemah karena masih terkejut.
"Aku melihat mereka menguntitmu dan mengikuti dari jauh. Beruntung aku tiba tepat waktu," jawabnya, mata pria itu tetap waspada meskipun bahaya telah berlalu.
Rachel mengangguk, tidak bisa menahan rasa syukurnya. "Terima kasih, sungguh. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau tidak datang."
Pria itu tersenyum lembut. "Tidak perlu berterima kasih. Sekarang aku datang untuk mengambil sesuatu yang kau rebut dari semalam."
"Semalam?" Alis Rachel mengerut dalam. Dipandanginya lelaki penyelamatnya itu. Wajah tampan yang dingin, mata biru yang indah, di bawah temaramnya cahaya bulan malam itu Rachel bergidik karena penyelamatnya adalah lelaki yang ia tinggalkan semalam. "Kau?" Rachel meragu sejenak sebelum akhirnya dia mengenali siapa lelaki itu.
"Jangan bilang kau sudah melupakanku, Nona."
Ditelannya salivanya dalam-dalam, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk melarikan diri.
Dan itu yang dilakukannya lagi malam itu.
"Jangan kira kau bisa kabur lagi dariku, Rachel. Kau sudah mencuri sesuatu yang berharga dariku," gumam Daniel memandangi punggung wanita itu yang perlahan menjauh.
"Si-al!" Daniel memaki karena sosok Rachel mendadak hilang di kejauhan. Ia pun mulai mengejarnya, tapi sayangnya dua pria berpakaian serba hitam menghentikan langkahnya.
"Siapa kalian?"
Dua pria itu menghampirinya dan mulai menyerang, merasa posisinya tidaklah aman, Daniel pun melawan. Sial, dia lupa kalau musuh yang sedang ia hadapi seorang yang licik, Daniel terjatuh saat seorang pria lainnya yang bersembunyi di balik pepohonan menghajar bagian belakang kepalanya.
Seketika Daniel jatuh terjerembap di tanah. Kepalanya terasa sangat sakit. Pandangannya menggelap.
"Si-al," umpatnya sebelum ia kehilangan kesadarannya dan pingsan.
***